Jumat, Maret 29, 2024

Hitung Mundur Otsus Papua

Bagus Pradana
Bagus Pradana
Peneliti lepas dari Bantul

Otonomi Khusus bagi pulau paling timur Indonesia akan berakhir pada tahun 2021 mendatang. Setelah itu belum ada yang tahu langkah apa yang akan diambil Presiden Joko Widodo.

Sebelumya, status Otonomi Khusus (Otsus) diberlakukan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2001 melalui penerapan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Alasan utama penerapan Otonomi Khusus di Papua adalah untuk menjamin keadilan dan pemerataan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat di Papua.

Tetapi, banyak yang tidak puas dengan alasan tersebut, bahkan sering beredar anggapan pemberlakukan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua hanya sebagai bentuk kompensasi atas berbagai upaya pemisahan diri dari rakyat Papua yang semakin memanas pasca reformasi 1998.

Mari kita tengok kebelakang sebentar bagaimana rakyat Papua menyuarakan aspirasinya pasca reformasi 1998? Bagaimana Otsus hadir dan diterapkan di Papua? Bagaimana pandangan Rakyat Papua tentang Otsus? Apakah Otsus berhasil merealisasikan visi pemerataan pembangunan yang menjadi spirit utama kebijakan ini?

***

Otonomi Khusus Papua lahir di Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, yang ditunjuk oleh Sidang Umum MPR guna menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid yang tersandung sejumlah kasus bernuansa politis.

Pemerintahan Abdurrahman Wahid dinilai oleh Majelis Sidang MPR terlalu kompromis terlalu kompromis terhadap usaha-usaha yang mengarah pada tindakan makar di Papua. Keterlibatannya dalam Kongres Rakyat Papua II menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.

Serangkaian operasi militer akhirnya dilakukan kembali oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk meminimalisir potensi gerakan separatis yang disinyalir mulai mengonsolidasikan dirinya di Papua.  Pada 6 Oktober 2000 sedikitnya 30 orang tewas dan puluhan orang luka-luka dalam kerusuhan yang terjadi di Wamena (Suarapapua.com.)

Kerusuhan tersebut bermula saat aparat militer melakukan Razia terhadap upacara pengibaran Bendera Bintang Kejora di Wamena yang akhirnya meluas hingga berujung pada perusakan dan penjarahan toko yang dilakukan oleh rakyat Papua kepada para pendatang.

Ditengah tensi pertentangan antara Rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia yang kembali memanas, banyak orang menganggap celah diplomasi telah tertutup dan tidak ada kata dialog lagi bagi rakyat Papua.

Namun, dimotori oleh J.P. Solossa selaku Gubernur Papua, Nathaniel Kaiway Ketua DPRD Papua, August Kafiar, dan Frans Wospakrik, serta tokoh-tokoh pemuda Papua lain dengan inisiatif sendiri menyiapkan Draf Akademik Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus. Mereka ingin memanfaatkan celah diplomasi memperjuangkan hak rakyat Papua secara legal formal melalui usulan pengajuan Otonomi Khusus (Pulungan, 2003 dan Widjojo, 2012)

Rancangan UU Otsus yang dihimpun oleh para tokoh muda Papua ini sedikit banyak telah menjamin pengakuan hak dan afirmasi identitas dari Orang Asli Papua (OAP), menjamin pelaksanaan pemerintahan lokal di Papua secara penuh. Serta meminimalisir bocornya pendapatan daerah di Papua terutama pada sektor Pertambangan, Migas, dan Hasil Hutan ke luar Papua.

Pada 21 November 2001, secara resmi Presiden Megawati mengesahkan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Undang-undang ini diharapkan mampu mewujudkan kesejahteraan dan perdamaian di Papua.

Dalam penerapannya, pemerintah Papua akan mendapatkan suntikan dana pembangunan dalam jumlah besar dari Pemerintah pusat, yaitu terdiri dari Dana Alokasi Khusus (DAK) sejumlah Rp.1,38 Trilyun yang akan meningkat setiap tahunnya.

Dana tersebut ditujukan sebesar-besarnya untuk pelaksanaan percepatan pembangunan di Papua. Dengan jumlah dana sebesar itu, diharapkan Pemerintah Papua mampu mewujudkan visi dan misi Otonomi Khusus Papua.

Namun, sangat disesalkan penerapan Otonomi Khusus di Papua harus tercoreng dengan satu peristiwa yang sangat memilukan hati rakyat Papua.Tepatnya pada hari pahlawan 10 November 2001, Pemimpin Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay ditemukan tewas di Jayapura, disinyalir beliau menjadi korban dari rangkaian Operasi Militer TNI (Tirto.id.)

Lebih disayangkan lagi, sang pembunuh hanya dihukum ringan dan diangkat sebagai Pahlawan oleh kalangan Militer Indonesia kemudian hari.

Tak hanya itu, entah angin apa yang datang, pemerintah Indonesia juga secara tiba-tiba mengeluarkan kebijakan Inpres No. 1 Tahun 2003 per tanggal 27 Januari 2003, guna memberlakukan kembali UU No. 45 Tahun 1999 sebagai landasan Pembentukan provinsi baru yaitu: Provinsi Papua Barat (Pulungan, 2003.)

Kebijakan tersebut menyebabkan rakyat Papua terpecah menjadi dua kubu, antara yang pro dan kontra pemekaran, mereka saling serang, puncaknya adalah kerusuhan Agustus 2003 yang terjadi di beberapa daerah di Papua.

Nasi telah menjadi bubur, pemekaran daerah di Papua pun telah disahkan oleh pemerintah, rakyat Papua pun telah terpecah suaranya. Papua harus siap melaksanakan Amanat Otonomi Khusus.

***

Tidak ada yang memungkiri bahwa Otsus Papua adalah kebijakan yang lahir dari perjuangan rakyat Papua yang berdarah-darah.

Lantas muncul pertanyaan: Apa urgensinya ketika Otonomi Khusus diberlakukan di Papua? Apa yang dituju pemerintah melalui Otsus, pembangunan daerah kah atau hanya sebatas upaya Counter Insurgency semata?

Disinilah kita perlu mencermati tren manuver politik dari pemerintah Indonesia ketika menghadapi kerawanan sosial atau potensi disintegrasi pasca reformasi 1998, terdapat skema kebijakan penanggulangan konflik yang tidak berubah pola penerapannya.

Selalu ada dua jalur yang akan diambil pemerintah, pertama adalah Operasi Militer dengan taktik yang fleksibel, tergantung seberapa besar ancamannya. Kedua adalah Paket Kebijakan Alternatif.

Sebelum melaksanakan strategi ini biasanya pemerintah akan menawarkan opsi diplomatis, yaitu: Dialog. Namun bila dialog telah mentok, pemerintah menawarkan Paket Kebijakan Alternatif pilihan alternatif dengan kadar dosis yang sesuai kebutuhan, yaitu: Pemekaran Daerah dan yang paling ekstrim adalah Otonomi Khusus.

Hingga saat ini terdapat tiga provinsi yang menyandang status Otonomi Khusus yaitu Aceh, Papua, dan belakangan Papua Barat (setelah mekar pada 2003.) Kedua daerah tersebut memiliki beberapa kesamaan diantaranya: memiliki track record konflik yang panjang serta keduanya berada di daerah terluar Indonesia.

Sebelumnya ada Timor Timur, Provinsi Ke 27 yang telah lepas dari Indonesia. Ketika pemberontakan Fretelin terjadi di Timtim, tawaran “Otonomi Khusus” juga sempat diberikan pemerintah sebagai strategi peredaman konflik pada tanggal 27 Januari 1999. Hasilnya, rakyat Timtim terpecah belah, konflik menjadi horizontal, sama persis ketika rakyat Papua dipecah dengan pemekaran.

Ada sebuah analogi yang sering dipakai oleh para pengkritik Otsus Papua, yaitu tentang “seorang anak yang menangis dan dibelikan permen oleh Ayahnya agar ia berhenti menangis.

Setelah itu mari kita belajar untuk meramal agar kelak tidak terkejut, pertanyaannya adalah: Strategi politik apa yang akan diambil oleh Presiden Joko Widodo ketika di tahun 2021 UU Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat benar-benar berakhir? Dan itu berarti dua tahun lagi.

Bagus Pradana
Bagus Pradana
Peneliti lepas dari Bantul
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.