Lulusan UI gaji 8 Juta? Kok sedikit sekali? Wah, tidak menghargai kerja keras untuk bisa masuk di UI dan lulus dari UI kalau seperti itu? Atau, walaupun fresh graduate, tapi kan lulusan UI, tidak pantas kalau hanya dapat gaji 8 juta.
Narasi itu sedang ramai diperbincangkan. Saya mengetahuinya dari berbagai platform. Responnya macam-macam. Yang paling banyak adalah nyinyir atas hal nyinyir yang awalnya berasal dari instastory itu.
Di satu sisi sebenarnya ada unsur tidak salahnya juga si orang yang mengeluh sedikitnya gaji 8 juta itu. Jika dia hidup di Jakarta, kelihatannya gaji segitu bisa dianggap pas-pasan. Apalagi lulusan dari sebuah universitas dengan grade tertinggi di Indonesia. Malu dong lulusan UI hidupnya susah, pas-pasan.
Tetapi kalau dilihat dari sisi attitude jelas tidak tepat. Untuk menapaki jenjang karir saya kira hal pertama yang ditanamkan di hati adalah penerimaan. Penerimaan ibarat kunci untuk membukan pintu karir. Setelah masuk pintu, barulah kesempatan – kesempatan untuk mengembangkan karir terbuka lebar.
Kalau penerimaan atas suatu hal saja tidak dimiliki. Alih-alih jenjang karir berkembang, yang ada berhenti di tempat, jalan di tempat.
Itu bukan nasehat, motivasi atau apalah. Itu sekadar ocehan orang medioker lho ya.
Jika berfokus kepada gengsi ke-aku-an si lulusan UI, sudah pasti tak akan pernah bisa menerima gaji awal 8 juta. Tetapi jika menggunakan semacam perbandingan lain bisa jadi penerimaan akan muncul.
Saya, mendengar masalah gaji, jadi ingat gaji saya ketika dulu awal-awal menjadi guru honorer. Dulu, setelah lulus kuliah rencana pertama saya memang mencari pengalaman mengajar. Dan hal paling mungkin yang bisa diupayakan di wilayah sekitar saya adalah menjadi guru honorer.
Tidak usah saya katakan di awal menjadi guru honorer gaji saya berapa. Jika dibandingkan gaji 8 juta yang dianggap sedikit itu bisa dikatakan berpuluh – puluh kali lipat di bawahnya.
Bisa dibayangkan atau tidak? Tidak bisa kan? Ya, karena memang gajinya abnormal.
Sebelum mendaftar, saya sudah mempersiapkan mental. Dari berbagai obrolan, saya pernah mendengar bahwa kebanyakan standar gaji guru honorer yang ada di wilayah saya memang sekecil itu. Daripada menganggur, tak bekerja apa-apa, mubadzir waktu, tenaga, pikiran dan biaya yang sudah dipakai untuk kuliah, saya ambil saja kesempatan itu.
Jika dihitung – hitung dengan logika normal, layaknya orang hidup di zaman ini, jelas tidak cukup. Namun, patokan saya bukan cukup dan tidaknya. Motivasi tambahan yang saya berikan kepada diri saya kira–kira seperti ini “walaupun gaji sekecil itu, saya yakin tak akan membuat saya mati kelaparan.”
Nyatanya sampai sekarang masih hidup. Selain itu, semenjak bekerja menjadi guru honorer bergaji sangat kecil itu sampai sekarang dengan gaji yang sudah agak bertambah (walau masih tetap kecil) saya juga tidak pernah meminta kepada orangtua.
Kalau masalah tinggal bersama orangtua memang iya. Lagipula apa salahnya? Tempat kerja juga dekat rumah masa kecil saya itu. Kalau saya ngontrak, atau ngekos nanti orangtua saya malah sakit hati. Dikira tidak mau tinggal sama orangtua. Dikira saya sedang bermasalah dengan orangtua.
Mau dibilang lebay, atau apa terserah. Yang pasti penerimaan saya atas gaji abnormal itu membuahkan semacam, jika meminjam istilah dari agama yang saya anut bisa disebut, berkah. Dan terbukti, kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sampingan ternyata terbuka lebar. Saya ditawari pekerjaan oleh beberapa orang yang kenal saya karena saya menjadi guru honorer.
Dari gaji pokok guru honorer yang abnormal dan pekerjaan sampingan itu bagi saya yang tinggal di D.I Yogyakarta, wilayah Kabupaten Bantul, saya kira sudah cukup untuk menikmati hidup sebagai anak muda. Ngopi- ngopi sama kawan, nonton bioskop sama pacar, sesekali piknik sama kawan atau sama pacar. Bisa dikatakan cukup menyenangkanlah.
Jika penghasilan saya itu mau diperbandingkan dengan yang lebih tinggi, sebenarnya tak usah jauh-jauh dengan si lulusan UI yang mengeluh itu, dengan tukang parkir pasar dekat rumah saya pun jauh sekali.
Dan perbandingan yang terakhir tentu terasa lebih menyakitkan. Bayangkan, seorang tukang parkir, tak perlu kuliah, tak perlu mikir berat bisa mendapatkan penghasilan sekitar 60 persen dari gaji 8 juta yang dikeluhkan itu.
Saya, yang kuliah, mikir berat, beban kerja berat gajinya bahkan jauh dari 60 persen dari 8 juta tersebut. Jika memperbandingkan dengan orang yang mendapat gaji lebih tinggi dari yang saya dapatkan kemudian saya pikir berat-berat, yang ada tentu stres dan stres.
Oleh karenanya saya mau mengatakan. Kepada Si lulusan UI yang mengeluh dengan gaji awal 8 juta, percayalah itu gaji yang besar. Apalagi untuk ukuran fresh gaduate. Entah kamu hidup di Jakarta atau tidak kalau yang diutamakan adalah gengsi, gaji seberapa pun akan terasa kecil. Maka, mengeluh karena mendapat gaji awal 8 juta itu aneh. Saya yang dulu ketika awal menjadi guru honorer gaji jauh di bawah UMR aja biasa–biasa saja kok!