Sabtu, April 20, 2024

Dari Joker ke Joker

Farid Ma`ruf
Farid Ma`ruf
Penikmat film. Tenaga Kependidikan sekaligus mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Banjarmasin.

Belakangan ini media sosial diramaikan oleh cuitan warganet tentang film Joker. Mulai dari peringatan bagi orang tua agar tidak membawa anak-anak untuk menontonnya, sampai dengan pro kontra di balik asumsi bahwa film ini akan mengakibatkan stres yang mendalam dan memicu pergeseran pola pikir masyarakat.

Keramaian tidak berhenti di situ, yang terbaru adalah munculnya narasi “orang jahat adalah orang baik yang tersakiti” yang, tentu saja, juga muncul pasca menonton film Joker, di mana tokoh utama film tersebut diceritakan sebagai orang dari kasta terendah dalam strata sosial sebuah kota, yang telah terlalu banyak menelan kepahitan dunia, yang pada akhirnya menjadi justifikasi atas apa yang terjadi berikutnya.

Namun, tulisan ini tidak ingin mendiskusikan perilah kontroversi film Joker dalam konteks penonton Indonesia (yang bisa jadi juga merupakan tema yang menarik jika dibahas). Alih-alih, sebagai penikmat film, saya lebih tertarik untuk membuat ulasan perbandingan antara dua versi tokoh Joker dari dua film DC yang paling banyak dibicarakan dalam kurun satu dekade ke belakang.

Mereka adalah: Joker dari film The Dark Knight (2008) yang diperankan oleh Heath Ledger, dan Joker dari film standalone-nya berjudul Joker (2019) yang diperankan oleh Joaquin Phoenix. Berikutnya, untuk memudahkan dalam pembahasan, penyebutan kedua versi Joker tersebut akan kita bedakan dengan menyematkan tahun rilis dari film yang ia muncul di dalamnya.

Joker (2008) muncul sebagai villain, lawan dari tokoh utama yakni Batman. Joker (2019) muncul sebagai tokoh utama, yang terkesan ingin dijadikan sebagai anti-hero, atau necessary evil, mengingat plot cerita yang hampir keseluruhannya memihak pada justifikasi-justifikasi atas tindakan Joker di sepertiga akhir film.

Jika berangkat dari sana, mungkin tidak adil membandingkan kedua tokoh ini berdasarkan konteks kemunculannya atau fungsinya dalam menggerakkan cerita. Namun, jika kita beralih kepada sudut pandang citra Joker yang  berusaha dibangun oleh sutradara sebagai tokoh yang identik dengan representasi keresahan publik, anarki dan kekacauan, maka kita akan mampu terlihat kekurangan dan kelebihan dari keduanya.

Jalan yang diambil oleh kedua sutradara dalam membangun penokohan kedua versi Joker tersebut sangat berbeda. Christopher Nolan yang menyutradarai film The Dark Knight memilih untuk tidak bersentuhan sama sekali dengan masa lalu Joker. Menurutnya, jika kita tahu dan mengerti latar belakang dari Joker, maka kemunculannya akan menjadi “less terrifying”, kurang mengerikan.

Kendati demikian, penokohan Joker dalam The Dark Knight tidak lantas hitam-putih dan kontras terhadap tokoh Batman yang altruis. Penonton tetap dibuat bersimpati kepada Joker dalam konteks perjuangan yang disuarakannya. Kita dapat melihat logika di balik pesimisme Joker dalam melihat dunia (dalam hal ini: Gotham City).

Penduduk kota Gotham membenci Joker berkat aksi-aksi berdarah yang dilakukannya, mulai dari penyanderaan sampai dengan pembunuhan. Tapi hal itu tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap persepsi penonton terhadap tokoh Joker beserta aksi dan motifnya. Penonton masih dapat memaklumi tindakan-tindakan tersebut atas nama pesimisme dan kebencian pada kepalsuan.

Nolan menanamkan persepsi di kepala kita dengan begitu apik tentang tipisnya batasan antara benar dan salah. Melalui sebuah adegan percakapan antara Joker dengan Batman, Nolan mengisyaratkan bahwa keduanya tidak berbeda secara prinsip. Keduanya sama-sama berada di ruangan paling gelap dalam bangunan tua yang bernama kemanusiaan.

Hanya, kedua tokoh ini menempuh jalan yang berbeda: pesimisme melawan optimisme. Di adegan lain juga terdapat monolog dari Joker yang mengatakan: “This is what happens when an unstoppable force meets an immovable object (inilah yang terjadi ketika kekuatan tak terbendung menabrak benda yang tak bergeming)”.

Ide demi ide itu ditanamkan dengan sedemikian rupa ke dalam benak kita, dan berhasil. Hal inilah, bagi saya, yang menjadikan film ini demikian kuat secara teknik penceritaan (story telling).

Christopher Nolan, melalui filmnya yang lain berjudul Inception, berpendapat bahwa idea atau gagasan, ide, pemikiran, merupakan “the most resilient parasite”. Saya meyakini, premis ini pula yang mendasari logika yang mengiringi kemunculan tokoh Joker di dalam film yang digarapnya.

Nolan berusaha meyakinkan penontonnya bahwa idea, dan hanya idea sendiri, sudah cukup untuk menggerayangi pemikiran penonton guna menghasilkan justifikasi sepihak di dalam kepala mereka tentang tokoh yang dia perkenalkan secara perlahan melalui pembangunan karakter. Itu semua berhasil dilakukan tanpa perlu mengulik masa lalu Joker untuk menemukan potongan demi potongan tragedi guna menggiring penonton dalam membuat justifikasi.

Di sisi lain, Todd Phillips, yang menyutradarai film Joker (2019) merayu simpati penonton dengan cara menyeret masa lalu Joker ke inti cerita. Secara tidak langsung, Phillips berpendapat bahwa dengan memahami masa lalu Joker sebagai rakyat yang tertindas, kita menjadi tahu motif tindakannya, justifikasi atas perbuatannya; sehingga penonton dapat melihat area abu-abu di balik kenyataan dunia. Cara ini juga bekerja, mengingat respons penonton dari seluruh dunia yang menghiasi lini masa media sosial.

Di dalam film, Joker pada akhirnya mendapat banyak dukungan publik atas tindakannya karena dianggap mewakili aspirasi yang selama ini tertahan, sekaligus menginisiasi meledaknya sebuah gerakan.

Cara bercerita yang dipakai oleh Phillips dalam film Joker (2019) tidak membuat penonton sibuk untuk berpikir dan menganalisis, cukup dinikmati saja sembari melabuhkan simpati yang mendalam bagi tokoh utamanya.

Premis-premis yang sederhana menjadi senjata utamanya dalam menyemai asumsi untuk akhirnya menuai persepsi yang tepat dari penonton tentang social commentary yang berusaha kita kemukakan. Dan, sejauh pengamatan saya, usaha itu berhasil membuat kita, penontonnya, berpikir kembali tentang realitas.

Teknik yang dipilih oleh Phillips itu pula, saya pikir, yang menjadikan film ini begitu mudah dicerna dan mengakibatkan stres di benak para penontonnya (berdasarkan banyak pengakuan warganet di media sosial). Tidak hanya bagi orang dewasa, tapi film ini juga dirasa terlalu mudah untuk dicerna oleh anak-anak.

Mengatakan bahwa film ini terlalu mudah untuk dicerna secara cerita, tentu saya tidak sedang mendiskusikan tentang adegan kekerasan, melainkan tentang gagasan yang disampaikan.

Semakin sederhana sebuah logika, semakin mudah dia untuk dicerna. Dari sini saya bisa memaklumi kekhawatiran banyak pihak tentang film ini. Memang dibutuhkan kedewasaan untuk menangkap pesannya; mengingat film, sejak awal kemunculannya, tidak pernah ditujukan hanya untuk menyuguhkan hiburan, melainkan media penyampai pesan.

Selamat menonton dan selamat menikmati.

Farid Ma`ruf
Farid Ma`ruf
Penikmat film. Tenaga Kependidikan sekaligus mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Banjarmasin.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.