Clifford Geertz pernah menulis “The Theatre State” yang barangkali banyak orang abai pada pandangannya itu. Mengapa abai? Ya, karena banyak orang sering hanya fokus pada karya kontroversialnya saja saat membuat diskursus trikhotomi dalam “The Religion of Java”. Karena itu, “The Theatre State” tak banyak dibahas orang.
Banyak juga orang yang salah melihat Geertz. Sering melihat hanya sebagai peneliti, akademisi, atau seorang antropolog. Pandangan ini tidak sepenuhnya salah, tapi sangat tidaklah lengkap.
Tak banyak pula yang tahu bahwa Geertz seorang ahli dalam dunia intelijen. Ia memiliki kemampuan itu. Soal ini, banyak orang gagal faham melihat sosok Geertz. Melihat Geertz yang hanya dari satu sisi sehingga sisi lain tak terungkap. Geertz memang sering dan sengaja mengaburkan sesuatu pada laporan-laporan atau tulisannya, tapi hal itu tidak mengurangi kejelian dan kecermatannya dalam melihat fenomena.
Apa pasal? Lihatlah, hasil riset Geertz dan kawan-kawannya dalam “Proyek Modjokuto” kemudian menjadi pijakan kebijakan AS terhadap Indonesia. Kemana arah politik Indonesia, bisa dilihat dari karya-karya yang lahir dari proyek tersebut seperti riset village, market, Cina, family hingga religion. Di Indonesia, tidak banyak yang membaca secara utuh proyek tersebut. Saat ini dunia memang telah berubah, tapi Geertz juga telah membekali kita dengan konsep perubahan sosial.
Kesalahan lainnya, adalah ketika menyebut Modjokuto, yang selalu terlintas hanya Geertz. Padahal yang melakukan penelitian di Modjokuto bukan hanya Clifford Geertz. Sedangkan pada karya, yang selalu diingat tentang Geertz selalu hanya “The Religion of Java”. Padahal banyak karya-karya Geertz lain yang sangat bernas. Karya yang menunjukan intelijensianya.
Misal, kecermatannya dalam melihat dunia pertanian, yang kemudian melahirkan karya “Involusi Pertanian” adalah bukti ketajamannya. Kalau kita mau jujur, kemajuan yang dicapai dalam dunia pertanian kita adalah kemajuan yang jalan di tempat. Membumbung tinggi tapi tak kemana-mana. Mirip seperti gelembung balon udara.
Bagaimana dengan karya The Theatre State? Sama saja, banyak yang tidak memperhatikannya dengan baik. Padahal apa yang menjadi proyeksinya kini tampak di depan mata kita. Menunjukkan kelasnya sebagai futurolog juga.
Lihatlah media sosial kita yang lebih banyak mempertontonkan kepura-puraan. Karena itu, media sosial kita lebih disebut dengan dunia maya, sesuatu yang sangat kontras dengan dunia nyata. Manusia sering tertipu hanya dengan apa yang terlihat. Terutama dari apa yang dilihat dalam dunia maya, yang dikira dunia nyata.
Banyak orang yang tertipu dengan sosok tampilan seseorang dalam dunia maya media sosial. Dikiranya, semua terjadi secara alami. Padahal nyata, bahwa yang tampak pada dunia media sosial seringkali merupakan sebuah desain. Geertz menyederhanakannya dengan kata “sandiwara”.
Ini artinya, peran-peran manusia dalam dunia sosial tidak terlepas dari sebuah skenario lakon, yaitu seseorang berperan melakukan apa yang pada gilirannya akan sampai pada target tertentu. Ada wayang, ada dalang, dan ada cerita lakon.
Lihat saja, ketika hoax begitu marak dan tak terkendali, hal itu bukan tanpa sebuah skenario. Hal ini menunjukkan terjadinya perang dalam memenangkan opini publik. Siapapun yang mampu memenangkan opini publik, ia adalah sumber kekuasaan. Kekuasaan adalah mata air kekayaan.
Oleh karenanya, Geertz sudah membukakan pintu dan membekali kita pisau untuk melihat fenomena, harusnya kita tidak mudah terkecoh. Keahliaan Geertz dalam dunia intelijen ini jangan hanya diketahui, tetapi juga harus dipelajari dan diperkuat secara metodologi.
Orang-orang yang tampak besar dan hebat dipanggung belum tentu sama dalam kesehariannya. Ini mirip dengan cerita banyak laki-laki, tampak begitu gagah kalau bicara poligami. Jika cerita, tampak seperti macan atau singa. Tapi giliran pulang ke rumah, tiba-tiba berubah menjadi meong. Lucu.
Apalagi kalau kegagahannya hanya dilihat dari berfoto dengan orang besar, biasanya hal itu lebih banyak berfungsi untuk numpang tenar. Ingin menjadi besar dengan menjadi penumpang gelap dan gak bayar. Besar dengan cara instan.
Karena itu, mulai saat ini kita tak perlu terpesona dengan sosok-sosok panggung. Yakinlah, itu tidak ada yang alami. Untuk bisa membedakannya, lihatlah mereka dari jarak yang lebih dekat. Lihatlah kesehariannya, termasuk perilakunya keseharian. Lihatlah juga apa saja karya-karyanya untuk ummat. Sebab tanpa sebuah karya, sebenarnya dia sedang berpura-pura dalam kebesarannya, seperti gelembung tadi. Besar tapi hanya berisi angin.
Di luar sana, banyak mereka yang berkarya di ruang-ruang sepi. Mereka berkarya tanpa panggung. Dan merekalah yang sebenarnya orang-orang besar itu.