Semenjak akhir abad 20, kemunculan statsiun televisi swasta mulai menjamur di Indonesia. Sejalan dengan itu, berbagai perusahaan menjadikan televisi sebagai salah satu corong untuk mengenalkan produknya kepada masyarakat. Terbatasnya slot iklan dan rentang perhatian penonton yang semakin pendek membuat pengiklan harus merumuskan formula agar pesan dapat tersampaikan dengan efektif dan efisien.
Menarik bagaimana iklan produk rumah tangga punya pola yang serupa antar produknya. Iklan Jaz1 dan Mr Muscle misalnya. Keduanya menampilkan sosok wanita yang tengah berjibaku membersihkan noda. Singkatnya, muncul visual pria yang datang dan mendikte apa yang tokoh wanita lakukan untuk memecahkan masalah.
Berbagai iklan produk rumah tangga sebenarnya tidak hanya menjual produk. Pengiklan juga menjual nilai yang coba ditanamkan pada masyatakat. Nilai itu tidak lain pemanfaatan kode-kode sosial dengan perspektif gender. Jika diperhatikan lebih jauh, iklan dalam produk rumah tangga selalu menampilkan peran gender dan mengasosiakannya dengan stereotip yang telah lama tumbuh di masyarakat.
Perwujudan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada laki-laki mau pun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya (Astuti, 2016). Konstruksi sosial dan budaya itu yang menimbulkan anggapan-anggapan yang berkembang di masyarakat seperti laki-laki itu gagah, pemimpin, keras, disiplin, bekerja di arena publik dan lebih pintar.
Sementara perempuan identik dengan sifat yang halus, pandai merawat rumah, lembut, dan lebih cocok bekerja di dalam rumah. Citra ini lah yang dilanggengkan oleh iklan produk rumah tangga di televisi Indonesia.
Iklan sejatinya menjadi alat komunikasi penyampaian pesan produk melalui bahasa dan simbol. Di sisi lain, iklan menjadi kebutuhan karena ia adalah makanan pokok bagi kelangsungan produksi siaran. Tanpa iklan, televisi akan mengalami kesulitan dalam menghadapi di bisnis media massa.
Dalam lingkaran industri massa, televisi menyuguhkan produk-produk industri berupa komoditas konsumerisme. Iklan berperan besar dalam memanipulasi arena permainan tanda yang disajikan untuk memperdaya khalayak (Anwari, 2018).
Iklan bukan lah tujuan, melainkan jalan. Tujuannya ialah menghasilkan budaya konsumerisme kepada khalayak media massa. Jika ditinjau lebih jauh, televisi menjadi salah satu media massa yang mampu mengantarkan berbagai pesan itu kepada khalayak.
Produk rumah tangga yang menjadi salah satu kebutuhan sehari-hari juga gencar dipromosikan lewat media televisi. Umumnya, iklan produk rumah tangga menampilkan sosok perempuan sebagai pemeran utamanya. perempuan dalam iklan produk rumah tangga juga mendominasi durasi dari iklan tersebut. Selain itu, keseluruhan cerita iklan biasanya diisi dengan kegiatan ibu rumah tangga sehari-harinya.
Di balik itu, iklan produk rumah tangga nyatanya kental dengan nuansa peran gender yang konservatif. Iklan seakan melanggengkan budaya kolot yang mengakar di Indonesia. Menilik catatan sejarah, budaya Jawa menyebut wanita dengan kanca wingking. Kanca wingking bermakna wanita sebagai taman belakang, artinya wanita hanya punya kuasa mengurus sesuatu di balik layar rumah tangga seperti mencuci dan mengurus rumah tangga.
Hal ini lah yang juga terlihat dalam iklan produk rumah tangga. Aktivitas rumah tangga itu semuanya dilakukan oleh wanita. Ada nilai yang coba disampaikan bahwa wanita akan diakui hanya ketika dirinya melakukan pekerjaan rumah tangga yang baik. Hal ini dapat dilihat dari iklan pelembut pakaian SoKlin. Dalam iklan ini, nampak bahwa sosok suami dari pemeran utama menampakan tanda-tanda senang karena istrinya yang mengurus pakaiannya dengan baik.
Meski melakukan pekerjaan rumah tangga, iklan produk rumah tangga umumnya tetap memperhatikan penampilan dari pemeran utamanya. sosok wanita dibalut dengan pakaian modis dan tata rias yang tidak lumrah untuk dikenakan sehari-hari di rumah. Hal ini dapat diasosikan dengan anggapan wanitas ebagai “barang seni” yang indah.
Hal ini pula yang semakin melanggengkan stereotip bahwa wanita harus menjadi sosok yang sempurna untuk mengurus rumah tangga dan menemani pasangan di ruang publik. Masih dari iklan pelembut SoKlin, ada adegan yang tidak banyak ditampilkan dalam iklan produk rumah tangga yang lain.
Adegan tersebut ialah ketika wanita tampil di ruang publik. Diceritakan bahwa setelah mengurusi rumah tangga, pemeran utama iklan ini tampil prima menemani pasangannya. Kejadian ini juga muncul dalam iklan pembersih perkakas yang menampilkan bahwa wanita dapat tampil di ruang publik dengan syarat pekerjaan rumahnya telah selesai dengan sempurna. Dengan demikian, media massa menjadi salah satu corong stereotype seperti ini terus ada di masyarakat.
Selain itu, tubuh wanita juga tidak ketinggalan menjadi korban objektivikasi dalam iklan produk rumah tangga. Hal itu dapat dibuktikan dengan pemeran iklan yang didominasi wanita yang berkulit putih, dan putih diartikan sebagai gambaran kebersihan atau kesterilan. Dengan pemilihan pemeran seperti ini, iklan juga punya potensi mendiskreditkan wanita dengan ciri fisik yang tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat kebanyakan.
Hal ini didikung dengan pernyataan Winship dalam buku cultural studies menyatakan iklan tidak hanya menawarkan barang-barang sebagai perempuan, tetapi juga hubungan personal yang membentuk posisi subjek yang menampatkan perempuan dalam kerja domestic yang patriakal, yakni pengasuhan, mengurus rumah tangga, bersolek, dan mengejar laki-laki (Djamereng, 2018).
Bias gender juga nampak dari kemuculan tokoh tambahan dalam iklan produk rumah tangga. Ada perbedaan besar kemuculan tokoh problem solver yang muncul sebagai laki-laki dan perempuan.
Pada iklan Harpic misalnya, tokoh itu diperankan oleh Darius Sinatria yang datang dan memecahkan masalah kotoran di toilet. Cara Darius memecahkan masalah kotoran itu secara instruktif. Artinya, Darius hanya memberikan perintah kepada tokoh perempuan untuk membersihkan kotoran.
Segala proses pembersihan itu dilakukan oleh tokoh wanita lain yang ada dalam iklan itu. Hal ini membuyktikan adanya supremasi pria yang tidak mau untuk ikut campur atau terlibat dalam pekerjaan wanita.
Hal itu berbanding terbalik dengan iklan Vanish yang dibintangi oleh Dona Agnesia. Iklan pembersih pakaian itu memunculkan Dona Agnesia sebagai tokoh yang punya solusi atas kerisasuan para wanita terhadap noda di pakaian. Namun, perbedaannya ialah Dona Agnesia memaparkannya dengan demonstrasi.
Artinya, pekerjaan mencuci itu dilakukan langsung oleh Dona Agnesia. Hal ini menunjukan bahwa wanita masih terkurung dengan stereotype sebagai tokoh yang bertanggungjawab terhadap urusan rumah tangga. Fenomena ini pula yang menjadi salah satu penghalang wanita dalam berkiprah di ruang publik.
Media massa sebagai saluran penyampaian pesan melalui berbagai simbol menjadi salah satu cara nilai-nilai patriakal ini ditanamkan ke masyarakat luas. Sudah saatnya, konsumen media massa saat ini harus lebih kritis dalam menanggapi terpaan konten media massa. Menjadi konsumen yang cerdas menjadi satu-satunya jalan agar masyatakat Indonesia tidak semakin terbenam dalam budaya kolot seperti ini.