Jumat, Maret 29, 2024

Buzzer Bising Bikin Pusing

Lutfi Awaludin Basori
Lutfi Awaludin Basori
Freelance Journalist

Istana mulai risih. Buzzer-buzzer media sosial yang kerap membela pemimpin yang didukungnya disebut mulai keterlaluan, merusak dan menimbulkan rasa kebencian. Istana mengatakan butuh dukungan positif bukan yang menghancurkan. Sikap istana ini diambil setelah ramai di media sosial perihal buzzer istana menyebar kabar bohong untuk mempengaruhi opini dan sikap publik.

Di dunia internasional buzzer banyak digunakan oleh pemerintah atau partai politik untuk menaipulasi opini publik melalui media sosial. Di luar sana buzzer disebut sebagai “Cyber Troops”. Yaitu, aktor pemerintah atau partai politik yang bertugas memanipulasi opini publik melalui media sosial. (Bradshaw dan Howard 2017a).

Ada juga yang mengartikan buzzer sebagai individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan menarik perhatian dan membangun percakapan yang bergerak dengan motif tertentu.

Buzzer tak bergerak sembarangan, mereka membangun strategi lebih dulu, mengumpulkan alat dan teknik propaganda untuk memanipulasi. Di antaranya mereka akan membombardir ujarakan kebencian, menggertak, melecehkan target dengan akun robot terus menerus. Target mereka biasanya adalah lawan politik, jurnalis dan masyarakat luas.

Di sejumlah rezim otoriter banyak negara, propaganda media sosial telah digunakan sebagai alat kontrol informasi paling strategis. Pemerintah otoriter menugaskan buzzer untuk membentuk opini publik dan menyebarkan propaganda. Di waktu bersamaan Pemerintah juga mengawasi, menyensor dan membatasi ruang media sosial.

Secara umum di seluruh dunia, buzzer digunakan untuk:

1. Menekan hak asasi manusia;

2. Mendiskreditkan lawan politik;

3. Menghindari perbedaan politik.

Bahkan lebih dari 40 negara menggunakan propaganda media sosial dengan buzzer untuk membentuk opini masyarakat. Buzzer biasanya bekerjasama dengan organisasi masyarakat, kelompok peretas, influencer media sosial dan sukarelawan yang seideologi. Gerakan mereka sukar ditelusuri sebab secara sembunyi dan terang-terangan disetujui oleh Pemerintah setempat.

Di Indonesia sendiri, penelitian Oxford pada 2019 menyebut buzzer digunakan oleh tokoh politik dan partai melalui jasa privat contractor. Metode penyebarannya menggunakan akun manusia dan robot.  Dalam berinteraksi dengan pengguna media sosial, buzzer menggunakan berbagai macam cara, antara lain:

1. Menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro-partai;

2. Menyerang oposisi atau melancarkan kampanye kotor;

3. Mengalihkan pembicaraan atau kritik isu-isu penting;

4. Membuat polarisasi; dan

5. Menyerang atau melecehkan pribadi lawan.

Dari lima metode kerja buzzer itu, yang terjadi di Indonesia menurut peneliti Oxford yaitu menyebarkan propaganda pro pemerintah atau pro partai, menyerang oposisi atau melancarkan kampanye kotor, dan melecehkan pribadi lawan. Namun bukan tak mungkin para buzzer di Indonesia kini juga sering mengalihkan pembicaraan atau kritik isu-isu penting dan membuat polarisasi. Bukankah para Pilpres 2019 telah terbukti ada polarisasi di masyarakat?

Dalam hal strategi komunikasi, kegiatan buzzer menggunakan berbagai macam cara, di antaranya adalah memanipulasi media dan disinformasi; melaporkan akun secara massal; strategi berbasis data; trolling, doxing atau pelecehan; memperkuat konten dan media sosial.

Di Indonesia penelitian Oxford menyebut buzzer bekerja dengan memanipulasi data dan memperkuat konten media sosial. Namun beberapa kali juga terjadi doxing, pelecehan dan penganceman kepada mereka yang berlawanan pandangan.

Berdasarkan kapasitas, buzzer dibagi dalam empat kelas, yaitu:

Pertama kelas minimal, yang baru dibentuk dengan minimal sumberdaya dan hanya memiliki beberapa aplikasi dan platform media sosial. Mereka beroperasi hanya di dalam negeri.

Kedua kelas rendah, kelas ini melibatkan kelompok kecil yang biasanya aktif ketika pemilihan daerah atau pemilihan umum. Kapasitas tim rendah dan biasanya hanya menggunakan beberapa strategi dan robot untuk menyebar propaganda. Mereka hanya beroperasi di dalam negeri.

Ketiga kelas menengah yang melibatkan tim yang susunanya lebih konsisten dan strategi yang membayar staf untuk mengontrol informasi. Kelas ini berkoordinasi dengan sejumlah orang berpengalaman dengan sejumlah strategi dan platform untuk memanipulasi media sosial. Mereka juga beroperasi di luar negeri.

Keempat kelas atas yang melibatkan tim dalam bentuk besar dengan dana besar untuk perang psikologis dan informasi. Bahkan ada dana untuk penelitian dan pengembangan, serta menggunakan banyak tehnik. Tim ini tak hanya bekerja saat kampanye pemilihan tapi terus terlibat untuk membentuk opini di media sosial.

Peneliti Oxford menggolongkan Indonesia dalam kelas minimal. Namun yang dirasakan saat ini buzzer di Indonesia seperti sudah dikelas atas atau menengah. Sebab Pemilu telah usai tapi buzzer tetap bekerja seperti kala pemilihan berlangsung.

Selama tiga tahun terakhir, kegiatan buzzer di Indonesia disebut tak kurang menelan biaya antara 1 Juta hingga 50 Juta Rupiah.

Di Indonesia, buzzer tak melulu digerakkan oleh uang, ada juga buzzer yang bergerak secara pribadi karena faktor ideologis. Ada tiga karakter yang wajib dimiliki buzzer.

1. Memiliki jaringan Luas (Punya akses ke informasi kunci/ penting)

2. Memiliki kemampuan Produksi Konten:

– Mampu mengemas informasi.

– Cakap menggunakan media sosial.

– Memiliki latar belakang jurnalistik.

3. Persuasif (Engaging)

Buzzer tak bergerak sendiri kecuali mereka yang didasarai ideologi. Bagi buzzer bayaran, ada agensi yang melakukan perekrutan. Agensi ini berperan penting mempertemukan permintaan dan penawaran, antara buzzer dan klien (korporasi/partai/tokoh politik).  Ada tiga macam perekrutan yang dilakukan untuk mendapatkan buzzer. Petama melalui seleksi berjenjang, kedua pendekatan personal, dan ketiga membuka lowongan.

Ini artinya buzzer bayaran bergerak profesional. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk menyenangkan kliennya. Mereka terstruktur, masif dan terorganisir. Memiliki metode, strategi dan sasaran yang jelas. Hal ini yang membedakan buzzer bayaran dengan buzzer ideologis. Buzzer bayaran lebih berbahaya.

Bila Istana saja sudah bising dengan dengungan para buzzer, lalu bagaimana dengan masyarakat? Dan jika terus dibiarkan, kelakuan para buzzer ini akan membuat bias informasi. Akibatnya masyarakat akan berada dalam kegamangan informasi. Masyarakat tak tahu lagi mana fakta mana disinformasi.

Fakta polarisasi yang terjadi pada masa pemilihan beberapa tahun terakhir harusnya sudah cukup sebagai bukti untuk menertibkan buzzer. Bila polarisasi semakin lebar, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan pecah, hanya gara-gara buzzer.

Namun, bagaimana Pemerintah dapat menyelesaikan persoalan ini jika laporan peneliti Oxford valid bahwa Pemerintah, Partai dan politikus adalah klien para buzzer. Artinya Pemerintah termasuk bagian dari masalah.

Maka benar saja apa yang disampaikan seorang kawan, “Media sosial kebanjiran sampah informasi dan kita harus pintar-pintar memilahnya”.

*Sumber Gambar : www.stripes.com

Lutfi Awaludin Basori
Lutfi Awaludin Basori
Freelance Journalist
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.