Orang yang bernalar sehat pada umumnya tak akan sulit untuk menerima ketentuan bahwa pertanyaan tentang sesuatu tentu harus sesuai dengan watak sesuatu yang hendak ditanyakan itu. Kalau tidak, maka pertanyaanya akan menjadi sia-sia.
Satu pertanyaan diajukan untuk melahirkan jawaban. Kalau pertanyaan tak memiliki jawaban, dan kalaupun dijawab jawabannya tidak akan benar, pertanyaan seperti itu tentu tidak layak dan tidak ada gunanya untuk diajukan.
Misalnya kalau Anda punya satu buah motor yang biasa Anda gunakan untuk berkendara di jalan raya. Kemudian, di suatu waktu, ada orang yang bertanya: Mengapa motor itu tidak berjalan di atas air? Atau, dengan pertanyaan yang lebih gila: Mengapa motor itu tidak bisa berenang sampai ke dasar laut layaknya ikan-ikan?
Mungkin Anda juga akan tertawa tatkala menyimak pertanyaan semacam itu. Karena dia mengandaikan berlakunya sesuatu kepada sesuatu, sementara sesuatu itu sendiri tidak bisa menerima pemberlakuan sesuatu itu.
Yang namanya motor ya pasti hanya beroperasi di darat. Yang beroperasi di laut itu hanya kapal, perahu, dan pastinya juga motor laut (kalau memang ada). Adapun motor yang kerap kita jumpai di jalanan sudah pasti tidak akan bisa. Karena itu tak ada gunanya kita mengajukan pertanyaan tersebut.
Pertanyaan semacam itu adalah pertanyaan yang sia-sia. Karena dia mengandaikan berlakunya sesuatu kepada sesuatu tetapi watak dari sesuatu itu sendiri tidak bisa menerima pemberlakuan sesuatu itu.
Contoh lain yang lebih mudah. Di hadapan Anda ada sebuah anjing. Dan setiap anjing, kita tahu, hanya bisa menggonggong. Kemudian ada pertanyaan gila datang: Mengapa anjing itu tidak bisa berkokok?
Anda dan saya pasti akan sepakat bahwa pertanyaan ini bukan pertanyaan yang tepat. Karena dia mengandaikan berlakunya suatu sifat kepada suatu subjek, sementara subjek itu sendiri memang tidak bisa menerima pemberlakuan sifat itu.
Saya tahu permisalan ini tidak sepenuhnya tepat. Tapi ada satu poin yang hendak saya tegaskan melalui dua contoh ini. Poin yang dimaksud ialah: Pertanyaan tentang sesuatu layak diajukan kalau memang pertanyaan tersebut sesuai dengan watak dan karakter sesuatu yang hendak ditanyakan.
Kalau tidak, maka pertanyaan semacam itu hanya akan berujung dengan kesia-siaan. Pertanyaan yang tidak berguna, yang kalaupun dijawab hanya akan menghabiskan waktu belaka.
Pertanyaannya sekarang, boleh tidak kita bertanya: Di mana Tuhan? Bagi anak kecil mungkin pertanyaan itu merupakan pertanyaan yang wajar. Tapi bagaimana kalau yang mengajukan pertanyaan ini adalah orang dewasa?
Kita harus ingat bahwa, dalam percakapan sehari-hari, pertanyaan yang diawali dengan kata di mana (dalam bahasa Arabnya aina) itu pada umumnya ditujukan kepada sesuatu yang bertempat. Dengan kata lain, ke-di-mana-an itu meniscayakan adanya kebertempatan.
Di mana buku saya? Buku Anda ada di dalam tas. Pertanyaan itu sah, karena buku merupakan sesuatu yang bertempat. Dan semua makhluk di dunia ini tidak akan bisa lepas dari yang namanya tempat. Sekarang saya bertempat di atas lantai, laptop yang saya gunakan bertempat di atas meja.
Di sampingnya ada sebuah selimut, dan selimut juga bertempat di atas lantai. Karena itu, saya bisa mengajukan pertanyaan yang diawali dengan kata “di mana” kepada benda-benda itu. Karena semuanya adalah sesuatu yang bertempat dan bisa menerima kebertempatan.
Pertanyaannya: Apakah Tuhan bertempat? Keyakinan yang sahih akan berkata tidak. Sebab, kalau Tuhan bertempat, itu artinya Tuhan butuh kepada tempat. Dan kalau sudah butuh namanya bukan Tuhan lagi.
Yang butuh itu biasanya makhluk, bukan Sang Khalik. Karena Tuhan tidak bertempat, dan tidak butuh kepada tempat, maka tidak ada relevansinya bagi kita untuk mengajukan pertanyaan tentang ke-di-mana-an Tuhan.
Mengapa? Karena, sekali lagi, pertanyaan yang diawali dengan kata “di mana” itu hanya sah diajukan kepada sesuatu yang bertempat. Sementara Tuhan tidak bertempat dan tidak butuh kepada tempat. Karena Dialah yang sesungguhnya menciptakan tempat dan menciptakan segala sesuatu yang bertempat.
Namun, adakalanya kata di mana itu juga digunakan untuk menanyakan kedudukan—sekali lagi kedudukan—bukan kebertempatan. Karena itu, salah satu hadits populer—yang dikenal dengan sebutan hadîts al-Jâriyah—yang mengisahkan Rasulullah Saw bertanya kepada seorang budak perempuan dengan pertanyaan aina Allah (di mana Allah), mestinya kita pahami dengan makna yang kedua ini.
Hadits yang sering dijadikan dasar argumen oleh kelompok Salafi-Wahabi itu sejujurnya termasuk hadits Ahad, yang tidak bisa dijadikan dasar dalam persoalan akidah. Tapi, kalaupun hadits itu kita terima, kata aina (di mana) dalam hadits tersebut tidak bermaksud untuk menanyakan tempat (makân), melainkan menanyakan tentang kedudukan (makânah).
Dalam al-Quran, kita juga menemukan kata aina dengan pemaknaan seperti ini. Perhatikan ayat berikut:
“Dan (ingatlah), pada hari ketika Kami mengumpulkan mereka semua kemudian Kami berfirman kepada orang-orang yang menyekutukan Allah: “Di manakah sembahan-sembahan kamu yang dulu kamu sangka sebagai (sekutu-sekutu) Kami itu?” (QS: [6] 22).
Kata aina—yang diartikan dengan kata di manakah—dalam ayat tersebut hendak menanyakan kedudukan. Kedudukan sesuatu yang oleh orang-orang musyrik dijadikan sebagai sekutu-sekutu Tuhan. Dalam percakapan sehari-haripun kita juga biasa menggunakan kata di mana dengan pemaknaan seperti ini.
Di mana kepedulian pemerintah ketika ada sebagian rakyatnya yang hidup miskin-sengsara? Di mana peranan seorang guru ketika melihat murid-muridnya nakal dan tak mampu menjunjung tinggi etika?
Kata di mana dalam pertanyaan tersebut, dan pertanyaan-pertanyaan serupa lainnya, tentu tidak bermaksud untuk menanyakan tempat, melainkan kedudukan. Dan dengan maksud seperti ini tentu boleh-boleh saja pertanyaan tentang ke-di-mana-an itu diajukan. Tuhan Mahatinggi, Mahakuasa, Mahakasih, Maha adil, dan Tuhan ada di atas segala-galanya. Kita juga sering mengucapkan itu.
Namun, penting diingat bahwa ketinggian yang dimaksud bukan ketinggian tempat. Di atas yang dimaksud juga bukan berarti bahwa Tuhan berada dalam satu arah. Keberarahan dan kebertempatan adalah sesuatu yang harus dinafikan dari Tuhan.
Ketika dikatakan Tuhan Maha Tinggi, ketinggian yang dimaksud adalah kedudukan, bukan tempat. Ketinggian yang dimaksud adalah ketinggian maknawi, bukan ketinggian jasadi-inderawi.
Karena itu, mungkin tidak salah jika kita bertanya tentang ke di-mana-an Tuhan kalau yang kita maksud dari pertanyaan itu ialah kedudukan. Namun, pada umumnya, pertanyaan seperti itu hendak menanyakan kebertempatan.
Orang-orang yang mengajukan pertanyaan itu sudah kadung terkurung dalam pengalaman-pengalaman inderawi. Mereka menyaksikan segala sesuatu itu bertempat dan tidak lepas dari yang namanya tempat.
Karena segala sesuatu yang berada di sekelilingnya itu bertempat, maka dia pun membayangkan Tuhan sebagai sesuatu yang bertempat. Padahal seharusnya Tuhan disucikan dari kebertempatan itu.
Berhubung Tuhan tidak bertempat, maka tidak perlu kita bertanya tentang ke-di mana-an Tuhan. Karena ke-di-mana-an, pada umumnya, meniscayakan kebertempatan. Demikian, wallâhu ‘alam bisshawâb.