Jumat, Oktober 11, 2024

Benarkah PRRI dan Orde Baru yang Menghancurkan Minangkabau?

Randi Reimena
Randi Reimena
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Andalas. Bergiat bersama Lab. Pauh 9, sebuah ruang riset dalam bidang ilmu sastra dan humaniora.

Pertanyaan tentang kenapa Minang tidak seperti dulu lagi, telah menjadi beban tersendiri bagi orang Minang. “Dulu” di sini mengacu pada masa-masa kejayaan orang Minang. Masa-masa itu terutama dikenang sebagai saat di mana begitu banyak orang ternama asal Minang memiliki pengaruh besar di tingkat nasional, dengan segala potensi serta kecanggihannya. Namun kini berbeda adanya.

Sejarawan Taufik Abdullah melihatnya sebagai akibat birokratisasi Orde Baru. Birokrasi yang terpusat, dibayangkannya seperti jaring laba-laba raksasa yang menebarkan wabah dekadensi dari Jakarta sampai ke desa-desa paling pelosok.

Lewat jaring-jaring birokrasi itu, Orde Baru menanamkan nilai-nilai baru yang mengubah mentalitas orang Minang. Dari mental independen ke mental pegawai. Greedy State itu, lanjut Taufik, telah menjerumuskan Minangkabau ke dalam spiral of stupidity.

Sementara sosiolog Mochtar Naim melihat persoalannya berakar dari dampak “okupasi” pusat pada masa PRRI. Pandangan seperti ini adalah bagian dari versi sejarah daerah tentang PRRI.

Versi ini memandang bahwa PKI yang berhasil menghasut tentara dan Sukarno untuk menggempur Minangkabau, memanfaatkan momen tersebut untuk mengambil alih struktur pemerintahan penting dalam masyarakat Minangkabau: Nagari. Nagari jatuh ke dalam cengkraman PKI dengan segala keburukannya. Dengan begitu, Minangkabau dirusak langsung di dasar. Menurut versi ini, semenjak itulah Minangkabau kehilangan harga diri dan kebanggaan.

Dua model analisa seperti di atas, mewakili kecenderungan umum di kalangan intelektual (asal Minangkabau) dalam memandang persoalan tersebut: Yang melihat Orde Baru sebagai faktor utama; serta yang melihat Sukarno dengan Demokrasi Terpimpin serta PKI di belakangnya sebagai penyebab utama.

Orde Baru terang tidak bisa dibenarkan. Penjahat kemanusian mesti diadili sesuai aturan hukum. Begitu juga dengan Demokrasi Terpimpin, yang tidak serta merta dapat dibenarkan hanya karena ia korban Orde Baru. Tetapi. terlampau menekankan dua rezim tersebut sebagai penyebab segala mara dan karenanya terpaksa memangkas-mangkas sejarah, hanya akan menuruti kehendak historiografi resmi Orde Baru: melihat sejarah sepotong-sepotong.

Jika kita lihat sedikit lebih ke belakang, maka perkaranya menjadi lain lagi. Dua model analisa di atas, diam-diam mengandaikan bahwa setelah kemunculan generasi emas Minangkabau, di bawahnya telah menanti generasi baru yang siap meneruskan peran pendahulunya dan menjaga nama besar Minangkabau, tapi generasi itu terbenam akibat PRRI dan 30 tahun pemerintahan otoriter Orde baru. Benarkah proses regenerasi alamiah seperti itu nyata adanya?

Apa yang terlewat dari dua model analisis tadi adalah, jarak antara berakhirnya PRRI dengan munculnya para orang besar minangkabau pada paro kedua abad 1920-an, hampir mencapai setengah abad. Sementara itu dalam rentang waktu tersebut telah terjadi beberapa kali perubahan penting yang serba cepat: Pendudukan militer Jepang, Revolusi, dan periode 1950-an.

Elit-elit Minangkabau, yang dijadikan simbol kebesaran seperti Hatta, lahir pada suatu kurun di masa peralihan abad 20. Kurun ini memiliki beberapa ciri penting yang membedakannya dengan periode-periode sejarah lainnya. Di antaranya ialah keterbukaan terhadap berbagai gagasan, bagaimana gagasan-gagasan tersebut didiskusikan serta diperdebatkan, dan berbagai gerakan politik sebagai praktiknya.

Dalam kurun waktu setelahnya (1930-an sampai pendudukan Jepang) ciri seperti tersebut telah hilang. Pemerintah kolonial yang telah memukul gerakan komunis, dan kemudian menghajar gerakan islam politik,  menciptakan suatu gelanggang kosong, dimana generasi Minangkabau  yang lebih baru tumbuh besar. Generasi ini memiliki selisih usia 20 tahun dengan generasi Hatta atau Tan Malaka. Namun selisih 20 tahun tersebut memiliki arti penting.

Menurut saya, generasi inilah yang membawa perubahan penting dalam masyarakat Minangkabau atau yang kelak dinilai sebagai degradasi, kematian intelektual, dan sebagainya.

Beberapa memoar yang ditulis oleh tokoh dari generasi ini, menunjukkan bahwa mereka, yang besar dalam gelanggang kosong tersebut, mulanya adalah bagian dari keluarga pamong praja atau elit tradisional yang telah diasingkan oleh pemerintah Belanda dari gagasan-gagasan subversif seperti marxisme atau islam-politik yang non-kompromis.(3)

Mereka mengalami masa awal remaja tanpa ada tanda-tanda yang menunjukkan ketertarikan akan suatu ideologi tertentu. Persentuhan dengan tatanan sosial kulit putih yang rasis, hanya menjadi bahan renungan tanpa ada niat untuk menantang tatanan tersebut. Dan tiba-tiba mereka telah berada dalam suasana rezim totaliter.   

Dalam tempaan fasisme Jepang yang sebentar tapi intens itu, energi mereka dikerahkan untuk membentuk otot, kepatuhan total, serta sikap memusuhi apa-apa yang tidak dianggap Asia menurut Jepang.

Semua dilaksanakan dalam skala besar dan jangkauan yang luas sampai ke pelosok desa, dan semua itu dilakukan dalam suatu isolasi wilayah yang memutuskan hubungan mereka dengan dunia luar. Pada saat itu mereka berusia 16 atau 17 tahun, sangat berbeda dengan Hatta misalnya, yang pada usia yang sama telah mendapat panggung di dunia luar.

Generasi ini pula yang menjadi pemain utama selama revolusi, dan muncul sebagai tokoh-tokoh dengan pengaruh kuat sejak paro kedua 1950-an.  Kemunculan mereka pada kurun waktu ini, ditandai pergeseran orientasi dalam masyarakat Minangkabau: Bergesernya orientasi nasionalis ke orientasi daerahsentris serta merebaknya sentimen-sentimen anti-pusat dan anti-Jawa.

Pada saat-saat menjelang PRRI, mereka bahkan telah menjadi semacam pumpunan jala yang menarik arus balik besar-besaran yang belum ada presedennya dalam sejarah modern Minangkabau. Politisi nasional asal Minang yang lebih tua menyingkir dari Jakarta, segera pulang kampung untuk bergabung dalam aliansi perlawanan terhadap Jakarta. Diikuti oleh perwira militer yang berada di luar Minang. Dan, ini yang penting juga untuk diperhatikan, para pelajar dari generasi yang lebih baru yang juga ikut bergabung. Yang meninggalkan studinya di kota di luar minang untuk pulang kampung.

Seandainya aliansi yang rupanya rapuh tersebut memenangkan pertempuran, apakah itu artinya orang Minang dapat menjaga maruwahnya? Dan menjamin munculnya generasi intelektual yang berbobot? Jawabannya membutuhkan ruang untuk tulisan yang lebih panjang dan penelitian jauh lebih dalam.

“Pagaruyung sudah rompak, jalan ke Tanjung Simalidu, ke Teluk Bayur dan ke Bukit Duabelas, telah terbuka!” seru Hamka pada 1946. Namun kaum yang diserunya itu, lebih memilih mengurung diri dan berdiam dalam lembah di ketinggian Bukit Barisan.

Referensi:

[1] Pandangan Taufik Abdullah dalam Tantangan Sumatera Barat Mengembalikan Keunggulan Pendidikan Minangkabau, Gusnawirta Taib, ed. (Jakarta: Citra Pendidikan, 2001) 

[2] Mochtar Naim dalam Minangkabau yang Gelisah,  Latief Dt Bandaro et.al. ( Bandung: Lubuk Agung, 2004) hal. 39-50.

[3] Saya menyimpan beberapa memoar dan biografi dari generasi ini. Memoar dan biografi ini tidak diterbitkan untuk kepentingan komersial, namun bisa diakses di pustaka Gedung Juang Padang.

Sumber foto: Aiko Kurasawa, Masyarakat dan Perang Asia Timur Raya (Kobam, 2016)

Randi Reimena
Randi Reimena
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Andalas. Bergiat bersama Lab. Pauh 9, sebuah ruang riset dalam bidang ilmu sastra dan humaniora.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.