Sabtu, April 20, 2024

Benarkah Data Lebih Berharga dari Minyak?

Giri Lumakto
Giri Lumakto
Digital Ethicist, Educator | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital dan Teknologi | Alumni AAI STA Queensland Uni of Technology, 2019 | Awardee LPDP, 2016 | University of Wollongong, Australia | Mafindo Researcher | Kompasianer of The Year 2018 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | Email: lumakto.giri@gmail.com

“Data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita, kini data lebih berharga dari minyak. Karena itu kedaulatan data harus diwujudkan hak warga negara atas data pribadi harus dilindungi. Regulasinya harus segera disiapkan tidak boleh ada kompromi!!” — Pidato Kebangsaan Presiden Jokowi, 16 Agustus 2019.

Data kini lebih berharga daripada minyak, benarkah demikian? Mendefinisikan berharga sendiri bisa dalam kerangka objektif dan subjektif. Secara objektif, berharga sendiri memiliki makna bervaluasi, dilabeli harga, atau bisa ditera secara finansial. Sedang ironisnya, berharga dalam kerangka subjektif berarti tak mampu divaluasi, dilabeli harga, dan ditera secara finansial.

Perspektif Objektif

Dalam laporan Statista, valuasi big data secara global mencapai 49 miliar USD di 2019 (>700 triliun IDR). Dengan prediksi valuasinya di tahun 2027 mencapai 2 kali lipat dari tahun 2019 (103 miliar USD). Sedang pada tahun 2011, valuasi big data hanya 6,7 miliar USD. Dengan kata lain, valuasi big data naik dari tahun ke tahun.

Harga minyak dunia cenderung volatil atau menyesuaikan berbagai faktor. Dengan harga minyak terendah ada pada 35 USD per barrel di 2014. Sedang harga minyak OPEC basket adalah 62.92 USD per barrel di bulan Juni 2019. Dengan prediksi OECD, harga minyak diproyeksi mencapai 270 USD per barrel pada 2020. Namun di tahun 2019, proyeksi harga tersebut masih lesu didapat.

Volatilitas minyak dunia begitu tidak terduga menyebabkan harga turun naik. Dengan krisis berlimpahnya supply sehingga harga pun anjlok 2014. Namun tidak dengan ‘pasar’ big data sejak 2011 yang secara global yang meningkat stabil.

Tak heran ke 5 mogul besar teknologi begitu kuat secara ekonomi. Pada Juli 2019, Apple mendapat market capitalization pertama tertinggi yaitu, 567,75 miliar USD. Disusul oleh Alphabet (induk perusahaan Google) dengan nilai 546,49 miliar USD. Lalu berikutnya Microsoft (445,14 miliar USD), Amazon (366,95 miliar USD), dan Facebook (364,26 miliar USD).

Sedang perusahaan minyak Exxon menempati urutan ke 6 dengan market cap sebesar 366 miliar USD. Disusul perusahaan holding multinasional Berkshire Hathway dengan market cap 355,6 miliar USD. Sedang pada 2016, Exxon pernah menduduki peringkat ke 4 walau dengan valuasi market cap serupa tahun ini.

Secara finansial, eksploitasi data oleh ke 5 mogul teknologi begitu menguntungkan. Karena faktanya, market share tertinggi big data terfokus pada software (45%). Didukung akses internet yang makin cepat, Artificial Intelligence (AI), dan Internet of Things (IoT). Pasar big data masih akan tumbuh dan menguntungkan secara eksponensial.

Secara demografis, populasi dunia menyumbang begitu data setiap saat. Dari 7,6 miliar lebih populasi manusia dunia di 2019. Lebih dari 5,1 miliarnya adalah pengguna smartphone. Ada kenaikan 100 miliar pengguna baru dari tahun 2018. Dan dari tahun ke tahun, secara umum terjadi peningkatan 10% pengguna internet global.

Secara berurutan, penetrasi tertinggi pengguna internet ada di Amerika Utara, Uni Eropa, Amerika Selatan, Oceania, Asia, dan Afrika. Dengan users dunia baru bertambah 11 akun per detik. Pertumbuhan demografi digital ini dipengaruhi screentime yang meningkat dengan rata- rata 6 jam 42 menit. Dengan platform sosial media menguasai screentime yaitu YouTube (rata-rata 21 menit) dan Facebook (rata-rata 11 menit).

Pengaruh dan pertumbuhan finansial dan politik big data berbeda jauh dengan kondisi minyak global. Tingginya harga akan merusak daya beli, terutama oleh negara-negara dalam OECD. Contohnya selama 6 tahun setelah 1979, harga minyak dunia turun signifikan akibat tingginya harga. Walau harga tinggi ini tidak begitu signifikan untuk Uni Eropa.

Produksi tinggi minyak pun mengganggu harga. Sejak 2016, US sudah memproduksi dan  mengeksplorasi minyak. Di akhir tahun 2019, US akan mengekspor  1,1 miliar barrel lebih banyak daripada impornya. Begitupun dengan  produksi minyak Kanada. Dan prediksi EIA (Energy Information Agency) di US memprediksi produksi minyak akan terus meningkat sampai 2027 dengan capaian 30 miliar barrel per hari.

Perspektif Subjektif 

Semakin besar perusahaan teknologi. Maka semakin besar data yang dikumpulkan. Data yang didapat secara online bisa berupa teks, foto, audio, video, lokasi, sampai perilaku. Dan ditangan ke 5 mogul teknologi ini data users dunia dikuasai.

Namun, untuk mengumpulkan begitu banyak data bukan hal yang mudah. Dibutuhkan waktu, tenaga manusia, dan dana membangunnya. Saat eksploitasi data users untuk komersialisasi semakin rumit, machine learning pun menjadi pilihan.

Saat kita membeli mobil listrik Tesla sebagai contoh. Selain kita membayar untuk pembuatan (fisik) dan pengembangan (riset) mobil tersebut. Kita pun membayar Tesla mengolah, mempelajari, dan mengembangkan data yang kita unggah. Data ini berupa aktivitas berkendara, perilaku lalu lintas sekitar, sampai memetakan rintangan. Hal ini menjadi nilai manfaat mobil Tesla agar kita tetap selamat saat berkendara otonom.

Akses pada dunia digital kian tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari kita. Sehingga data pun dikomodifikasi atau dikomersialisasi dengan beragam cara. Jangan anggap kita membuat akun Facebook semata-mata gratis. Kita sejatinya menukar data pribadi, perilaku online, sampai lingkar pertemanan dengan retargeting iklan yang begitu personal dan persuasif.

Pola filter bubble juga mempengaruhi dinamika sosial. Saat lingkar pertemanan kita dipetakan (baca: dipenjara) secara homogen. Maka terbentuklah ruang gema (echo chamber). Yang efek jangka panjangnya adalah polarisasi politik dan ideologi users.

Sehingga tak jarang disinformasi, ujaran kebencian, sampai radikalisasi menjadi pembenaran kelompok tertentu. Disharmoni sosial di banyak negara pun terjadi akibat hal-hal tersebut.

Dalam geopolitik, dinamika big data dunia digital pun berkuasa. Revolusi Iran di tahun 2009 dilakukan secara gerilya via Twitter. Demonstrasi Tahrir Square di Mesir tahun 2011 juga bergema via Twitter dan Facebook. Skandal Cambridge Analytica melalui eksploitasi 80 juta dijalankan di Facebook. Yang dampaknya ‘meracuni’ Pilpres US tahun 2016 dan Brexit di tahun 2017.

Sehingga, data benarlah berharga. Baik dimaknai secara angka dan statistik maupun sosial dan politik. Pertanyaan kini yang menggelayut di pikiran kita adalah. Mampukan Indonesia berdaulat mengelola data 170 juta lebih rakyatnya? Padahal isu penjualan data privasi oleh Dukcapil saja belum menjadi penting bagi banyak orang.

Giri Lumakto
Giri Lumakto
Digital Ethicist, Educator | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital dan Teknologi | Alumni AAI STA Queensland Uni of Technology, 2019 | Awardee LPDP, 2016 | University of Wollongong, Australia | Mafindo Researcher | Kompasianer of The Year 2018 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | Email: lumakto.giri@gmail.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.