Jumat, Maret 29, 2024

Bedanya Radikalisme dan Fanatisme Agama, Jangan Ngawur!

Dedi Sahara
Dedi Sahara
Belajar di Lingkar Studi Filsafat Nahdliyyin (LSFN), Asosiasi Psikoanalisis Indonesia (API), dan menjadi redaktur Apresiasi di Buruan.co. Meminati kajian filsafat, psikoanalisis, dan sastra.

Akhir-akhir ini, seringkali terjadi kekeliruan—yang dalam fase tertentu—sangat fatal. Salah satunya ialah pemahaman tentang istilah radikal yang selalu diidentikan dengan fanatisme agama. Tentu, penyematan istilah itu cenderung bermasalah, karena maknanya sangat jelas berbeda.

Secara etimologis kata radikal sendiri berasal dari bahasa Latin, “Radix”, yang berarti “akar”. Dalam KBBI artinya “mendasar” (sampai pada hal yang prinsipil). Mungkin bila dimaknai pada sikap seseorang, berarti orang itu memiliki pengetahuan yang sangat mendasar dan menyeluruh. Dan kebanyakan ilmuan atau filsuf memiliki karakter seperti ini: radikal.

Dalam terminologi politik, istilah “radikalisme” mengacu pada individu atau gerakan yang memperjuangkan perubahan sosial atau sistem politik secara menyeluruh. Dari sini, kita dapat membedakannya dengan istilah fundamentalisme yang secara leksikal memiliki arti yang hampir mirip, tetapi dalam terminologi politik berbeda: fundamentalisme merupakan kepercayaan dan gerakan agama yang ortodoks atau konservatif, dan tentu reaksioner.

Dengan demikian, sangat sukar dipahami apabila istilah radikal atau radikalisme menjadi peyoratif; bermakna negatif dan reaksioner. Padahal, para pendiri bangsa ini, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan lainnya, merupakan orang-orang yang radikal, dan bukan orang-orang yang fanatik, terutama dalam pengertian fanatisme agama. Sebagaimana dengan Felix Shiauw, yang mengklaim dirinya radikal, tapi faktanya adalah fanatik dan dekaden.

Lalu, apa ukuran radikal? Sederhana, ukurannya adalah memiliki kejelasan dalam hal pemikiran, logis, substansial, dan sistematis. Seorang yang radikal mampu memahami setiap persoalan sampai ke akar-akarnya, sehingga dapat memberikan jawaban yang jelas, relevan, dan menyeluruh. Tanpa terjebak pada penalaran yang dangkal atau irasional. Karena itu, radikal memiliki makna yang cukup positif dan progresif.

Implikasinya dalam hal politik, radikalisme menjadi penting dalam kondisi tertentu: menuntut perubahan secara mendasar dan menyeluruh dari kondisi atau sistem politik yang korup, eksploitatif, atau kapitalisitik. Sedangkan hal-hal yang seharusnya ditolak adalah suatu bentuk intoleran atau dehumanisasi. Ini yang biasanya terjadi pada golongan fundamentalisme atau yang kerap dikenal dengan fanatisme agama.

Fanatisme agama selalu mengandaikan ke-murni-an atau purifikasi agama yang pada kenyataannya mustahil, karena sejarah dan realitas terus bergerak. Golongan fanatisme agama cenderung menganggap dirinya lebih murni atau suci, saleh dan benar sendiri, tanpa dibarengi nalar kritis.

Kelompok fanatisme agama merupakan segerombolan orang-orang konservatif yang berupaya untuk terus memelihara nilai-nilai terdahulu yang mereka anut, menghadirkan monumen masa lalu ke masa sekarang. Menolak setiap potensi kemajuan atau perubahan sosial yang berkeadilan, seperti keadilan untuk perempuan dalam RUU PKS yang gencar mereka tolak, misalnya.

Jargon-jargon seperti Back to Quran, Khilafah, NKRI Bersyariah, Hijrah, dan lain sebagainya, yang sering kita dengar itu, merupakan ciri dari pemikiran mereka yang mandeg.

Karena, persoalannya jelas, apakah dengan kita kembali pada ke-murni-an teks (Back to Quran) atau dengan Khilafah ala kelompok fanatisme agama itu, dapat menjawab permasalahan umat Islam saat ini yang begitu kompleks, yang meliputi kondisi sosial-ekonomi-politik hari ini?

Jika bisa, sejauh mana? Atau bagaimana menafsirkan, menjelaskan, dan mempraktikan nila-nilai dalam ayat-ayat al-Quran yang mulia sesuai dengan kondisi realitas yang tak lagi sama pada saat turunnya ayat-ayat al-Quran itu? Bisa jadi ke-murni-an teks yang menjadi pegangan iman, barangkali tak lagi memiliki jaminan apapun kecuali delusi, karena tak mampu menjawab problem kekinian.

Namun, tentu sebagian dari kita pun mafhum, bahwa fenomena itu tidaklah hadir dari ruang hampa, tapi berkaitan dengan kondisi sosial-politik dan ekonomi yang timpang. Kemunculannya merupakan respon dari ketidakpuasan atas kondisi yang dipenuhi ketidakdilan dalam berbagai sektor kehidupan, dari sistem pemerintahan yang korup akibat ulah segilintir elit-elit politik dan oligarkis yang culas. Dan apabila ditilik dari sejarah agama-agama, fenomena tersebut bukanlah sesuatu yang baru.

Dalam Islam, misalnya, fenomena fanatisme agama telah terjadi sejak masa kekhalifahan Ali ra. Pada masa khalifah Ali ra., muncul golongan Khawarij yang konon merupakan akar dari fanatisme agama hingga saat ini. Kaum Khawarij inilah yang pertama kali memunculkan wacana tentang mendirikan “hukum Allah” hingga berani mendustakan Imam Ali dan melabelinya sebagai “kafir”. Sinting, bukan? Sudah jelas.

Peristiwa yang diabadikan di dalam literatur-literatur Islam itu, dikenal dengan Perang Siffin, yang mengakibatkan terbunuhnya beribu-ribu kaum muslim. Suatu tragedi berdarah dalam sejarah umat Islam, sebelum tragedi Karbala yang memilukan itu.

Sebab itu, sebagian umat Islam hari ini harus mulai waspada, mawas diri, agar tidak terjerumus kedalam kejumudan fanatisme agama. Harus mulai membekali diri dengan pengetahuan agama yang tepat, yang sanadnya jelas tersambung kepada Rasulullah Saw.

Harus mulai membiasakan diri dengan tradisi keilmuan, sains, atau filsafat, agar dapat menghadapi tantangan zaman. Sebagaimana yang dikatakan Imam Ali, “Orang terbaik adalah orang yang memahami zamannya”.

Jika hanya mengandalkan kajian-kajian sepintas melalui medsos atau YouTube, mengandalkan tekstual belaka, tanpa diiringi dengan nalar kritis atau pembacaan dialektis, khawatirnya akan mudah terjaring kedalam fanatisme yang dangkal. Dan akhirnya, akan mudah menjadi seseorang yang gemar teriak-teriak kafir, khilafah, atau NKRI Bersyariah.

Dedi Sahara
Dedi Sahara
Belajar di Lingkar Studi Filsafat Nahdliyyin (LSFN), Asosiasi Psikoanalisis Indonesia (API), dan menjadi redaktur Apresiasi di Buruan.co. Meminati kajian filsafat, psikoanalisis, dan sastra.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.