Jumat, Maret 29, 2024

Bagaimana Gerakan Anti-Feminis Memahami Feminisme?

Dewi Setya
Dewi Setya
Penulis dan Peneliti lepas di isu ekonomi politik, feminisme dan gerakan sosial. Saat ini turut bergiat di lembaga Combine Resoursce Institution sebagai staff advokasi.

Rasanya menggemaskan dikala sumber berbagai literatur bisa lebih mudah diakses, ada saja kelompok-kelompok yang masih suka berprasangka terhadap suatu wacana, alih-alih mempelajarinya.

Gerakan menolak feminisme adalah salah satunya, baik yang secara gamblang mengelola kelompok dengan nama anti-feminis atau pun dengan kedok hijrah-hijrahan. Pada intinya sama, memahami feminisme secara kerdil dengan antitesa agama.

Jama’ah hijrah semacam itu besar kemungkinan hanya melihat feminisme sebatas wacana di media populer, bukan dalam lensa pengetahuan. Padahal, seringkali artikel media populer memang lebih mengemas propaganda ketimbang analisis, sebab ruang penulisan yang terbatas.

Feminisme bagi kalangan ini pun sekedar dipahami sepenggal-sepenggal, misalnya hanya diketahui bahwa feminisme membebaskan tubuh seksi perempuan terumbar, atau istri yang hengkang dari ranah domestik demi pencapaian karier pribadi.

Pengetahuan feminisme secara paling dasar bisa dimulai dari istilah seks dan gender. Seperti yang telah banyak diulang-ulang oleh-biasanya LSM-LSM dalam pelatihan-gender mengacu pada ciri sifat maskulin dan feminin dengan kesepakatan bahwa maskulin merupakan sifat gagah, otonom, perkasa sementara feminin adalah sifat lembut dan santun. Sementara seks adalah jenis kelamin, jantan atau betina.

Semestinya, antara sifat dan jenis kelamin tidak diidentikkan satu sama lain. Sayangnya, konstruksi sosial menyepakati bahwa jantan identik dengan maskulinitas dan betina identik dengan femininitas.

Sejalan dengan itu, masyarakat juga memiliki konsensus sosial bahwa jantan memiliki kuasa lebih tinggi dalam segala lini perikehidupan. Dari sinilah, dominasi yang disebut patriarki itu membudaya. Ini berdampak pada kesejahteraan hidup perempuan dan si jantan yang tidak maskulin kedepannya. Kesenjangan relasi itulah yang jadi momok bagi kelompok pejuang perempuan (feminis) ketika itu.

Akan tetapi, bukan berarti feminisme sebagai aliran pemikiran memiliki keseragaman cara dalam analisanya mengenai sumber ketidakadailan relasi. Yang perlu diketahui oleh sahabat-sahabat hijrah, sesungghnya ada berwarna-warna rupa feminisme yang tidak menutup kemungkinan jika satu sama lainnya juga tidak saling menyepakati.

Bahkan peristilahan ‘feminisme’ sendiri sempat diperdebatkan di kalangan gerakan perempuan Amerika di awal kelahirannya. Feminisme sendiri lahir dalam konteks Eropa dan Amerika yang saat itu baru lepas dari otoritas gereja-yang memberangus akal dan pengetahuan.

Pasalnya, perempuan-perempuan di Eropa dan Amerika mengalami ketersingkirian dan bahkan penindasan secara turun temurun akibat dari pengaruh warisan budaya dan hukum Romawi.

Karena muncul di era rennaisance, tentu saja gerakan-gerakan feminisme mendapat pengaruh dari filsafat pemikiran yang berkembang jor-joran di masa itu. Lambat laun, gerakan ini menjadi sebuah aliran pemikiran yang disebut feminisme. Perkembangan feminisme berlanjut dengan mengadopsi banyak sosiologi kritis, tentu saja dipadu dengan persoalan konteks sosial di setiap masanya.

Berbagai literatur sekunder biasanya memulai gagasan feminisme dari feminisme liberal, di mana karya Marry Wollstonecraft menjadi pembukanya. Pandangan ini merefleksikan ketertindasan perempuan dalam hal akses ke ruang publik, seperti hak politik (suffrage) dan pendidikan. Ada pun, kelompok feminisme radikal memahami ketertindasan perempuan terefleksi dalam seluruh tatanan budaya akibat tubuh perempuan yang memiliki fungsi biologis.

Pecahnya perang dunia yang mengakibatkan perempuan-perempuan Eropa menggantikan laki-laki di ranah produksi (sebagai buruh pabrik, membuat perempuan menyadari ketertindasan pun terjadi di wilayah produksi ekonomi, di mana upah perempuan dinilai lebih kecil sehingga muncul gagasan feminisme marxist.

Seiring waktu, feminisme dipengaruhi oleh filsafat post-modern karena ketidakpuasan dengan analisis-analisis tersebut. Psikoanalisa Freud yang mengkaji tahapan biologi individu sejak lahir yang dilanjutkan Luce Irigay. Feminis esensialisme yang disumbang oleh Simone De Beauviour mengamati ketidakutuhan perasaan diri perempuan.

Julia Kristeva lihai melihat ketertindasan bersumber dari teks-teks (wacana). Hingga ketika kapitalisme merebak dan menumbuhkan budaya populer, gagasan post-feminisme pun muncul mengamati ketertindasan perempuan dalam jagat industrialisme. Anne Brooks dan Angela McRobbie menjadi rujukannya.

Tapi, feminisme juga semakin menemukan persoalan baru dan bertemu dengan filsafat-filsafat yang semakin berkembang. Chandra Mohanty membuat artikel Under the Western Eyes, memberitahu feminis sedunia perihal ketertindasan perempuan di negara post kolonial memiliki corak berbeda dari rumusan intelektual Eropa.

Judit Butler bahkan mendobrak semua analisis biner perempuan-laki-laki, feminis-maskulin dengan mengatakan, “gender itu cair, kelamin pun demikian”. Analisisnya dipengaruhi banyak filsafat post-modern, psikoanalisa dan fenomenologi.

Melalui Butler, rumusan teori Queer pun muncul dan feimisme tak lagi hanya membahas ketimpangan permpuan-lelaki melainkan juga memperjuangkan isu LGBTIQ (Lebian, Gender Bisexual, transgeder, Intersex, dan Queer). Majalah National Geographic edisi Januari 2017 meluncurkan edisi bertajuk Revolusi Gender, merumuskan 9 jenis kasus kategori gender. Butler menemukan konteksnya disini.

Lantas, bagaimana feminisme merumuskan metodologinya dalam kerangka disiplin keilmuan sosial?

Sama halnya dengan sosiolog kritis, Feminisme dianggap lemah secara metodologi oleh kalangan positivis. Ini karena akar feminisme adalah emansipatoris (telah memihak) sementara syarat metodologi (oleh kalangan positivis), ilmu itu harus netral.

Dalam kasus studi Ilmu Hubungan Internasional, Tickner dan Ackerley (2006) memilih tidak memiliki standar tunggal dalam kebenaran metodologi feminis, karena beranggapan bahwa riset soal feminisme merupakan perjalanan/penggalian arkeologis.

Namun, feminisme memiliki perspektif yang mengikut pada perkembangan ilmu filsafat dan sosiologi. Maka, para imuwan sosial feminis lebih suka menyebut “epistemological perspective” ketimbang metodologi. Sementara Hansen (2010) membuat peta feminisme sebagai disiplin ilmu dalam tiga kategorisasi rational, standpoint dan post-strukturalis disertai masing-masing ontologi, epistemologi dan metodologinya.

Memahami feminisme (sebagai pengetahuan) secara kanonik, membuat kita sadar bahwa feminisme memang sama-sama meperjuangkan keadilan dalam relasi umat manusia (perempuan dan laki-laki dan bahkan dengan jenis identitas seks lainnya yang di luar binaritas itu). Masing-masing perspektif memiliki fokus persoalan yang dikaji, satu dan lainnya bisa saling melengkapi. Tetapi, bisa juga saling menanggapi.

Misalnya, feminisme liberal yang dalam satu titik tidak bisa disepakati oleh feminisme marxis. Inti perjuangan feminis liberal pada kebebasan individu, sementara feminis marxis pada persamaan kelas.

Dengan memahami feminisme sebagai disiplin ilmu begini, sahabat hijrah bisa menunjukkan penolakannya secara lebih spesifik pada pemikiran feminisme yang mana dan apa musababnya?

Saya yakin, ruang-ruang dialog ilmiah berkenan menanggapinya, bukan dengan emosi, tetapi dengan diskusi.

Dewi Setya
Dewi Setya
Penulis dan Peneliti lepas di isu ekonomi politik, feminisme dan gerakan sosial. Saat ini turut bergiat di lembaga Combine Resoursce Institution sebagai staff advokasi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.