Bahasa Indonesia, bahasa yang selama ini kita gunakan sehari-hari ini tengah dirayakan. Ya, bulan Oktober memang menjadi momentum bagi Bahasa Indonesia agar semakin dicintai masyarakatnya. Namun, apakah bangsa ini masih mencintai Bahasa Indonesia?
Saya berani menyatakan bahwa bangsa ini semakin tidak mencintai Bahasanya sendiri. Dapat kita dengar, percakapan di kalangan anak muda seakan tidak afdol jika tidak menyelipkan kata berbahasa Inggris didalamnya. Selain itu, kecintaan terhadap bahasa sendiri nyatanya tidak dipupuk sejak dini karena para orang tua saat ini mengutamakan anaknya fasih berabahasa asing ketimbang Bahasa Sendiri.
Kurangnya kecintaan bangsa ini pada Bahasa Indonesia didasari ketidaktahuan akan makna, filosofi, dan perjuangan para terdahulu dalam menyempurnakan “alat” komunikasi bangsa Indonesia ini. Dalam Bulan Bahasa ini pula, kecintaan masyarakat Indonesia terhadap Bahasa Indonesia harus dipupuk dengan mengenal Bahasanya sendiri. Bukankah untuk mencintai sesuatu, kita perlu mengenalnya terlebih dahulu?
Kita patut berterima kasih pada Kerajaan Sriwijaya yang telah menyebarkan bahasa melayu ke seluruh penjuru Nusantara. Menurut penuturan Sutan Takdir Alisjahbana dalam buku Sedjarah Bahasa Indonesia, bahasa melayu nyatanya menjadi induk atau akar dari Bahasa Indonesia yang sekarang kita gunakan.
Kerajaan yang berjaya pada abad ke-9 hingga 10 ini lah yang berhasil menyebarkan bahasa melayu ke seluruh penjuru Nusantara, bahkan juga wilayah lain di Asia Selatan. Oleh karena itu, penyebaran bahasa Indonesia relatif mudah karena hampir semua wilayah di Indonesia pernah terjamah oleh bahasa melayu.
Di periode berikutnya, pemuda-pemuda kita terdahulu telah mengukuhkan bahwa Bahasa Indonesia lah yang mereka gunakan untuk mempersatukan Indonesia. banyak yang tidak menyadari, Bahasa Indonesia ini bukan sekedar bahasa. Bahasa Indonesia ialah alat perjuangan untuk menyatukan bangsa ini.
Melalui sebuah ikrar yang kita kenal sebagai ‘Sumpah Pemuda’ , komitmen awal untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dimulai. Ikrar itu juga sebagai tanda perlawanan terhadap penyebaran Bahasa Belanda yang kala itu wajib diajarkan di sekolah rakyat. Bayangkan bila ikrar itu tidak terucap, akankah kita bercakap dengan Bahasa Belanda?
Perlu waktu yang begitu lama agar Bahasa Indonesia dapat sempurna seperti saat ini. Bahkan sebelum Indonesia merdeka, cita-cita menyempurnakan Bahasa Indonesia telah hadir. Pada tahun 1942, founding fathers kita mendirikan Komisi Bahasa Indonesia.
Komisi Bahasa Indonesia lah yang mengemban tugas dalam menyusun tata bahasa normatif, penyesuaian kata-kata modern, hingga menyusun aturan kebahasaan. Lalu badan ini terus berubah seiring zaman hingga akhirnya sekarang berubah menjadi Pusat Bahasa. Inilah yang perlu diketahui oleh masyarakat Indonesia, bahwa menghadirkan mutu bahasa yang berkualitas bukanlah perkara yang instan.
Founding fathers kita tentu sadar keberagaman yang ada di Indonesia juga menyangkut aspek kebahasaannya. Itu juga yang menjadi urgensi para founding fathers Indonesia untuk merumuskan bahasa yang dapat merekatkan seluruh suku bangsa yang ada di negeri ini.
Menurut data Badan Pengembangan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Kebudayaan, bahasa daerah yang berhasil diindetifikasi jumlahnya mencapai 652 bahasa. Jika bahasa Indonesia tidak hadir di tengah-tengah kita saat ini, bangsa kita mungkin akan menjadi kotak-kotak yang terisolasi satu sama lain karena kendala bahasa. Tidak hanya itu, Indonesia juga harus bersyukur menjadi satu dari segelintir Negara yang memiliki bahasa sendiri.
Sebagai salah satu Negara bekas jajahan, tentunnya pengaruh Negara penjajah masih dapat kita nikmati hingga saat ini. Kita tidak dapat menampik jika infrastruktur, teknologi, hingga kesenian Indonesia ada yang mendapat pengaruh Belanda dan Jepang. Untungnya, pengaruh itu tidak sampai pada aspek kebahasaan.
Indonesia merupakan satu dari sedikit Negara bekas jajahan yang tidak berbahasa bekas penjajahnya. Meski Belanda mengusai Indonesia mengusai Indonesia sampai tiga dekade, Bahasa Belanda nyatanya tidak sampai menempel di pikiran rakyat Indonesia kala itu.
Berbeda dengan beberapa Negara jajahan Belanda lain seperti Suriname dan Belgia yang ikut berbahasa Belanda karena wilayahnya dijajah oleh Negara tersebut. Sekali lagi, kita patut berterima kasih kepada founding fathers kita yang dengan gigih memperjuangkan Bahasa Indonesia. implikasinya, kini Indonesia dapat mudah dikenali karena Bahasa Indonesia menjadi identitas bangsa ini.
Hal ini pula yang harus dipahami oleh pejabat ketika sedang berdialektika di kancah internasional. Alih-alih menggunakan bahasa asing, gunakan lah Bahasa Indonesia sebagai identitas Negara kita. Hal ini bahkan telah diatur dalam pasal 32 Undang-Undang nomor 24 tahun 2009 Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.
Di dalam pasal itu, jelas tertera bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum nasional atau internasional. Forum internasional itu dapat menjadi kesempatan menonjolkan salah satu identitas bangsa, yakni Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia bukanlah sekedar bahasa. Bahasa Indonesia merupakan symbol dari para terdahulu dalam menolak infiiltrasi budaya asing di zaman kolonialisme. Lebih dari itu, bahasa Indonesia ialah perekat yang mempersatukan bangsa kita. sudah sepantasnya, simbol perjuangan para terdahulu ini tetap kita gunakan, pahami, dan cintai.
Mari kita hilangkan perspesi “keren” ketika mengucapkan sepatah kata berbahasa asing. Bila kita tahu seberapa keras perjuanagan bangsa ini mewariskan Bahasa Indonesia, percayalah bahwa Bahasa Indonesia itu sepuluh kali lebih “keren” ketimbang bahasa asing.