Sabtu, April 20, 2024

Anti Intelektualisme Semakin Merebak di Ruang Publik?

M. Fatah Mustaqim
M. Fatah Mustaqim
Sehari-hari menulis dan bekerja mengurusi peternakan. Pernah belajar di FISIPOL UGM, juga pernah bergiat sebagai sukarelawan partikelir di WALHI Yogyakarta dan di komunitas kepenulisan Omah Aksara Yogyakarta.

Dewasa ini ruang publik kita cenderung masih menjadi belantara liar yang gaduh. Pola komunikasi di ruang publik, terutama di media sosial masih dipenuhi sikap anti-intelektual, insinuasi, argumentum ad-hominem bahkan hingga guilty by association (mendakwa kesalahan dengan mengaitkan masalah personal).

Selain itu, sebagian di antara kita semakin kehilangan akurasi dalam menyikapi berbagai pemberitaan sehingga begitu mudah memposting informasi tanpa menyaring dan memverifikasi tingkat kebenaran dan urgensinya. Juga begitu banyak klaim kebenaran, saling berebut benar dan cenderung kurang terbuka menerima kebaikan bersama.

Ruang publik kita cenderung masih dipenuhi sikap reaktif daripada komunikatif. Kita belum mampu membangun ruang publik yang rasional dan beradab. Seringkali keterbukaan informasi di era demokrasi saat ini justru menimbulkan paradoks ketika proses diskursus kurang memantik dialog dan kesadaran akan nilai-nilai publik.

Maka tidak jarang diskursus di ruang publik menjadi penuh prasangka, ujaran kebencian dan hoax yang merebak demikian cepat sehingga begitu banyak disinformasi dan distraksi terhadap berbagai persoalan publik.

Prasyarat komunikasi di ruang publik yang mestinya dilandasi nilai publik (public value) berupa rasionalitas dan etika komunikasi cenderung tertutup oleh verbalisme dan sikap anti-intelektual. Juga oleh kecenderungan menggeneralisir berbagai persoalan tanpa melihat duduk persoalan.

Oleh karena itu sikap anti intelektual dengan mudah merebak dalam era post truth saat ini di mana preferensi suka tidak suka (like and dislike) lebih didahulukan daripada pertimbangan rasional, imparsial dan objektif.

Begitu banyak sikap anti-intelektual yang bisa ditemukan di ruang publik mulai dari penyitaan dan pembakaran buku-buku kiri hingga kecenderungan mendistorsi substansi persoalan dengan berapologi mengalihkan pokok persoalan pada suatu yang tidak relevan.

Sikap apologi yang mendistorsi substansi kritik dapat kita temukan pada kasus kebakaran hutan dimana kritik terhadap persoalan kebakaran hutan yang terus terulang justru dibalas dengan teknikalisasi persoalan, dengan caption foto dan testimoni video petugas yang berjibaku memadamkan api di hutan seolah kritik itu tidak penting karena yang penting turun langsung ke hutan memadamkan api.

Padahal pokok persoalan kebakaran hutan erat kaitannya dengan kebijakan politik, proses struktural, penegakan hukum dan lain sebagainya yang tentu saja harus dikritisi.

Kecenderungan berapologi mendistorsi substansi persoalan juga biasa kita temukan pada sikap sebagian orang yang sinis terhadap aksi massa atau demonstrasi dengan alasan mengganggu ketertiban umum, membikin macet, tanpa melihat duduk persoalan bahwa aksi massa hanyalah akibat dari aspirasi publik yang tersumbat dan tidak menemukan saluran apapun untuk disuarakan selain turun ke jalan.

Dan yang paling membikin saya muak tentu saja adalah sikap apologi dari seorang yang mengatakan bahwa “kalau ngritik harus disertai solusi dong, jangan cuma kritik saja tanpa solusi, mengkritik harus konstruktif.”

Apologi tersebut tentu saja tidak memahami proposisi kritik di ruang publik bahwa kritik ya kritik tidak harus disertai solusi karena yang wajib mencari solusi adalah mereka para pengurus publik, yang dibayar rakyat yang mengkritik.

Apologi tersebut juga menandakan masih banyaknya sikap feodal dan anti-kritik yang tidak memahami esensi negara demokrasi dimana publik yang memiliki kedaulatan atas negara memiliki hak untuk mengkritik dan sama sekali tidak ada kewajiban untuk memberi solusi dan memuji hasil kerja dari otoritas publik yang dibayar dan diberi fasilitas publik.

Paradoks Demokrasi

Kita pun semakin kehilangan parameter dalam menyikapi berbagai arus informasi di ruang publik. Berbagai persoalan privasi, berita-berita receh dan banal, yang menjangkau ruang publik justru begitu mudah mengalihkan perhatian kita pada persoalan urgen. Persoalan-persoalan receh yang hanya menjadi riak kecil dari “persoalan gelombang” yang lebih besar telah mengalihkan pandangan kita pada persoalan mendesak yang mestinya lebih diperhatikan.

Akibatnya, meminjam diksi ungkapan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) bahwa resolusi pandang kita dalam menilai berbagai persoalan di ruang publik menjadi semakin rendah. Kita semakin kehilangan parameter dalam mendudukan berbagai persoalan publik secara proporsional sehingga muncul ironi dimana persoalan kecil dibesarkan sedangkan persoalan besar direcehkanpun sama halnya ketika ruang publik diprivatisasi sebaliknya ruang privat dipublikasi.

Dr. A. Setyo Wibowo dalam esainya, Anarki dalam Demokrasi, Basis, 2012, menuliskan bahwa sebenarnya diskursus yang lebih komunikatif akan meminimalisir perebutan persepsi kebenaran sepihak di ruang publik.

Namun ruang publik kita masih penuh dengan sikap reaktif sehingga cenderung memperlihatkan egoisme dan irasionalitas yang membingungkan masyarakat dan memperlihatkan adanya anomi dan anarkisme sosial. Kondisi ini mengindikasikan munculnya demokrasi anarkis alias demokrasi suka-suka.

Demokrasi anarkis juga akan melahirkan paradoks dan ironi. Ruang publik diprivatkan, sementara ruang privat dipublikasikan. Kepentingan privat dan segmentasi golongan justru seringkali diberitakan tanpa proporsi dengan berbagai kontroversi yang melelahkan.

Saat ini kita juga masih menghadapi berbagai persoalan picisan di ruang publik terkait politik identitas, konflik pseudo-ideologis hingga banalnya politik praktis akibat rendahnya pemahaman dan pemaknaan akan nilai-nilai dan filosofi bernegara di ruang publik. Seringkali filosofi dan simbol-simbol negara hanya menjadi alat, slogan dan jargon-jargon untuk menghantam lawan politik dalam kontestasi politik praktis.

Persoalan ini berimbas pada polarisasi, perpecahan hingga hilangnya keakraban dalam kehidupan antar warga negara di ruang publik. Perdebatan di ruang publik pun hanya berkutat pada perdebatan konyol dan sempit mengenai siapa yang akan berkuasa dan bukan menumbuhkan pertanyaan substansial mengenai apa, kemana dan bagaimana bangsa ini seharusnya mengatasi kompleksitas persoalannya di masa depan.

Kredit Ilustrasi: pontianak.tribunnews.com

M. Fatah Mustaqim
M. Fatah Mustaqim
Sehari-hari menulis dan bekerja mengurusi peternakan. Pernah belajar di FISIPOL UGM, juga pernah bergiat sebagai sukarelawan partikelir di WALHI Yogyakarta dan di komunitas kepenulisan Omah Aksara Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.