Saya mengenal langsung Kang Ajip Rosidi ketika sastrawan/budayawan itu menjabat Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ 1972-1981) pada usianya yang ke 34.
Pengarang asli Sunda kelahiran Jatiwangi, Senin, 31 Januari 1938, itu sudah sangat terkenal sejak 1950-an. Sebelum generasi saya lahir. Artinya, sejak Ajip sekolah dasar umur 12 tahun, dan melejit pada saat SMP, ketika usianya masih 16 tahun. Ketika itu, ia sudah diakui sebagai sastrawan nasional, karena karya-karya prosa dan puisinya, banyak dimuat di pelbagai media sastra dan kebudayaan, sejajar dengan karya-karya Angkatan Pujangga Baru, Angkatan Balai Pustaka, dan Angkatan 1945, yang usianya belasan bahkan puluhan tahun di atasnya.
Yang menarik, setiap kali bertemu dengan orang Jawa Barat, Kang Ajip selalu berbasa Sunda. Termasuk dengan saya dan kembaran saya Yudhistira ANM Massardi, yang kebetulan lahir di Subang, Jawa Barat. Ketika itu, kami masih luntang-lantung di Jakarta, antara Tanah Abang, Kebayoran Blok M (Gelanggang Remaja Bulungan Jakarta Selatan), dan Cikini Raya (TIM). Saat itu, kami memang tengah merintis karir dan bercita-cita “muluk” untuk menjadi “pengarang terkenal.” Baik di bidang sastra (prosa puisi) maupun drama (penulisan lakon, aktor, dan sutradara).
Maklum, saat itu kami masih berusia 18 tahun, dan lagi senang-senangnya berkhayal, dalam perut lapar, sambil memandang ke Langit tinggi.
Kantor DKJ terletak di lantai dua sebuah gedung bertingkat, di dalam kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Jalan Cikini Raya 73. Di ruangan yang “berwibawa” itu selain berkenalan dengan Kang Ajip, kami juga berjumpa dan sesekali berseloroh atau “diejek” oleh Wahyu Sihombing (“Bapak Teater Remaja”), sastrawan Ramadhan KH yang menjabat Sekretaris DKJ, dan beberapa anggota DKJ terkenal lainnya.
Ketika itu, tentu saya tak pernah membayangkan, bahwa suatu hari kelak, pada 1990-1993, saat berusia 36 tahun, saya bisa terpilih menjadi anggota DKJ, sekaligus Ketua Komite Teater, dan kemudian menjadi Ketua DKJ (lebih tua dua tahun dari Kang Ajip), meneruskan kiprah para tokoh ternama itu.
Dan, sekadar catatan, salah satu milestone saya sebagai Ketua DKJ adalah berhasil membawa rombongan seniman/budayawan melakukan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi I DPR RI di Senayan, untuk menyampaikan petisi yang saya buat, yang ditandatangani semua sastrawan/budayawan terkemuka saat itu.
Kami mengadukan perihal pelarangan pentas di TIM, bagi Bengkel Teater Rendra, Teater Koma N. Riantiarno, Swara Mahardhika Guruh Soekarnoputra, dan Orkes Melayu Soneta Rhoma Irama. Selanjutnya, kami mendatangi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Laksamana Soedomo, ketika kekuasaan rezim militer Orde Baru Presiden Soeharto masih sangat kuat dan represif, pada 11 Desember 1990. Hasilnya?
Soedomo mengizinkan mereka semua pentas kembali di TIM, walau pada pelaksanaannya masih tetap dipersulit oleh aparat keamanan di bawahnya. Dan, sepanjang sejarah, kedatangan para seniman ke DPR RI itu hanya dapat terulang kembali, pada 17 Februari 2020, ketika saya memimpin rombongan seniman, menyampaikan keluhan kepada Komisi X, dalam sebuah RDPU, ihwal penghancuran dan rencana komersialisasi kompleks PKJ-TIM oleh Pemda DKI, tanpa konsultasi dengan para seniman. Termasuk dengan Kang Ajip sebagai salah seorang penggagas dan pendirinya yang masih hidup.
***
Sebelum mengenalnya secara pribadi, tentu saya sudah tahu kiprah dan kehebatan Kang Ajip sebagai pengarang dan pegiat sastra, walau tidak banyak karyanya yang sempat saya baca hingga kini. Sebagai salah seorang penggagas dan pendiri Taman Ismail Marzuki (TIM), Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Akademi Jakarta (AJ), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ – kini Institut Kesenian Jakarta – IKJ), Kang Ajip sudah menulis puluhan buku, baik puisi, cerita pendek, esei, novel dan pelbagai telaah serta sejarah sastra dan budaya. Termasuk sastra Sunda. Juga “mengayomi” para pelukis terkemuka Indonesia saat itu, dengan selalu membeli beberapa karya pelukis yang tidak terjual, atau yang memerlukan dana saat mereka berpameran di TIM, agar mereka bisa menyambung hidup dan berkarya selanjutnya.
Kebiasaan berbasa Sunda Kang Ajip dan Kang Atun (Ramadhan KH) di DKJ pada masa itu, ternyata sempat menimbulkan “masalah.” Apalagi, berdirinya PKJ-TIM pada 1968, itu awalnya memang dimotori banyak orang Sunda. Mulai dari Gubernur DKI Ali Sadikin, Ilen Surianegara, Ramadhan KH, dan Ajip Rosidi.
Bahkan, mungkin tak banyak orang tahu, bahwa konsep Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) yang melahirkan TIM, DKJ, AJ, dan LPKJ, itu berasal dari tulisan Kang Ajip yang sebelumnya telah dimuat di Majalah Bulanan “Intisari.”
Beberapa saat setelah Bang Ali dilantik Presiden Soekarno menjadi Gubernur DKI pada 1966, Bang Ali meminta konsep dan gagasan tentang apa yang bisa dia lakukan sebagai gubernur, untuk membantu kiprah para seniman budayawan Jakarta, yang saat itu selalu berkumpul di bilangan Pasar Senen, Jakarta Pusat. Menyambut tawaran itu, karena belum tahu apa yang dimaksudkan dan diinginkan oleh Bang Ali, Kang Ajip pun menyerahkan tulisannya di majalah “Intisari” tersebut.
Jadi, ketika Kang Ajip kemudian diminta datang untuk menghadap Bang Ali, bersama sejumlah tokoh Sunda dan seniman/budayawan lainnya, Bang Ali mengaku sangat terkesan pada tulisan Kang Ajip. Bang Ali yang menyetujui sepenuhnya gagasan dalam tulisan itu, lalu meminta Kang Ajip dan kawan-kawan, untuk menjabarkan tulisan itu menjadi proposal kongkret yang diserahkan beberapa waktu kemudian.
Setelah Pemda DKI menyetujui proposal itu, Bang Ali pun membangun PKJ TIM dengan seluruh ekosistemnya, di atas lahan sembilan hektare, yang sebelumnya dikenal sebagai Taman Raden Saleh dengan Planetarium-nya, milik Keluarga Pelukis Raden Saleh. PKJ TIM pun diresmikan pada 10 November 1968. Walau kondisi seluruh bangunan “sementara” itu tidak sesuai dengan keinginan para seniman-budayawan, baik secara arkitektur maupun fasilitas ruangan dan akustiknya, toh, wilayah bebas untuk berekspresi dan berkreasi secara gratis bagi para seniman-budayawan DKI dan Nasional, itu dapat terwujud. Dan kemudian mengilhami seluruh provinsi lain di Indonesia, untuk juga membangun pusat kesenian dan dewan kesenian serupa.
***
PKJ TIM pun kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan dan sejarah seni budaya Indonesia modern, yang pertumbuhan dan prestasinya memuncak dan mendunia, pada periode 1970-1990. Situasi dan kondisi itu masih tetap eksis, kendati pamornya terus menurun, sampai tiba-tiba kompleks itu dihancurkan mulai akhir 2019 hingga awal 2020, pada masa Gubernur Anies Baswedan, dan ambyar hingga sekarang.
“Permintaan saya hanya satu: kalian harus mengurus sendiri PKJ TIM dengan sebaik-baiknya. Pemda DKI akan memberikan subsidi sepenuhnya. Tapi jangan pernah melibatkan saya, dan saya juga tidak akan pernah ikut campur dalam urusan kalian, karena saya tidak tahu apa-apa soal kesenian dan kebudayaan,” kata Bang Ali, sebagaimana selalu dikisahkan Kang Ajip kemudian.
Ihwal kebiasaan berbasa Sunda Kang Ajip yang sempat menimbulkan kegundahan itu ceritanya begini. Suatu hari, Kang Ajip mendengar gosip ihwal adanya kecurigaan dari seorang sastrawan-budayawan terkemuka non-Sunda, yang diam-diam berkirim surat kepada Akademi Jakarta. Dia “mengeluhkan” atau “melaporkan” bahwa, PKJ TIM-DKJ akan atau telah “di-sunda-kan” oleh Kang Ajip dkk. “Tuduhan ‘sundanisasi’ PKJ TIM-DKJ itu sangat menyakitkan, terutama karena datangnya dari sastrawan budayawan terkemuka yang sangat dekat dengan saya dan yang selalu saya hormati (Kang Ajip menyebutkan sebuah nama).
Tentu saja tuduhan atau kecurigaan itu saya bantah. Kalau toh banyak tokoh Sunda terlibat pada awal pemebentukan dan pendirian PKJ-TIM-DKJ, itu memang sudah kehendak Sejarah. Tidak ada niat dan maksud sama sekali dari kami orang Sunda, untuk menguasai apalagi “menyundakan” PKJ TIM-DKJ. Tuduhan itu sangat konyol dan naif, apalagi datangnya dari budayawan terkenal, hanya gara-gara kami selalu berbasa Sunda di lingkungan PKJ-TIM, setiap berkomunikasi dengan sesama orang Sunda,” kata Kang Ajip dalam suatu percakapan di rumahnya di bilangan Pejaten, di hadapan saya dan banyak teman, pada Minggu sore, 10 Februari 2020, yang ternyata merupakan perjumpaan terakhir saya dengan Kang Ajip.
Namun, ihwal kebenaran ada tidaknya tuduhan “sundanisasi” itu, biarlah budayawan dimaksud itu sendiri, yang mengklarifikasinya, bila yang bersangkutan sempat membaca tulisan ini.
***
Kedekatan saya dengan Kang Ajip, bahkan kemudian dengan keluarganya, pada belasan tahun belakangan ini, boleh disebut terjadi secara kebetulan. Pada akhir 2005, dalam salah satu liburan rutin ke Bali, saya sempat mampir ke Ubud. Di ARMA Galeri, milik Agung Rai, saya berkenalan dengan Rangin Sembada, yang biasa dipanggil Bada. Bada, yang ternyata merupakan putra kelima Kang Ajip, saat itu tengah menjadi pengelola acara di ARMA Galeri.
Keberadaan Bada, yang sempat lama tinggal dan sekolah di Jepang, mengikuti sang ayah, Kang Ajip Rosidi (yang sejak 1981 diundang sebagai Guru Besar Tamu Bahasa Indonesia di Osaka) di desa Ubud itu, mungkin ada hubungannya dengan putri bungsu Kang Ajip, Titis Nitiswari, yang membuka warung makan “Ige Lanca” di Jalan Ubud Raya, di seberang Neka Galeri. Dan saya sempat beberapa kali makan di situ, sebelum tahu siapa pemiliknya.
Pada Februari-Maret 2006, begitu ada kesempatan dan rezeki, saya memutuskan untuk tinggal sementara di Ubud, karena ingin menyelesaikan bab akhir novel “September,” yang proses penulisannya sempat terhenti hampir empat tahun. Sebelumnya, naskah itu sempat dimuat sebagai cerita bersambung di harian “Media Indonesia”, dengan judul “Perjalanan Darius,” namun dihentikan di tengah jalan, ketika kisahnya sudah memasuki pengungkapan ihwal siapa sesungguhnya yang berada di balik kudeta bulan September, sebelum memasuki bab terakhir.
Untuk bisa tinggal di Ubud, tentu saya harus menghubungi Bada, satu-satunya orang yang saya kenal di sana. Ternyata, Bada sudah berhenti dari ARMA Galeri, dan saat itu tengah mengelola warung makan “Biah Biah,” di Jalan Gautama, milik seorang warga Jepang, yang juga seorang perupa, Jun Sakata, asal Yokohama. Jun kabarnya sudah memutuskan untuk tinggal di Ubud hingga akhir hayatnya. Namun, saat itu Bada mengatakan akan berlibur ke Jepang untuk beberapa lama. Sehingga, villa yang disewanya di banjar Kutuh Kaja, Ubud, kosong.
Saya pun diizinkan tinggal di lantai atas villa itu selama dua bulan, Februari-Maret, secara gratis, ditemani dua ekor anjing milik Bada, yang selalu mengawal saya selama di rumah. Villa itu berdiri di tengah lahan luas dengan kontur tanah naik turun, dengan banyak pohon besar dan rindang, yang bila magrib tiba, suasananya sangat sepi, gelap, dan cukup menyeramkan. Apalagi saya hanya tinggal sendirian.
Pada kesempatan itulah, saya kemudian berkenalan dengan putra keempat Kang Ajip, Nundang Rundagi, yang tengah bolak-balik urusan bisnis, Sumba-Lombok-Bali-Magelang-Jatiwangi-Jakarta. Saya juga kemudian berkenalan dengan Ruslan Wiryadi, asal Cikarang, Bekasi, pemilik dan pendiri majalah gratis “Ubud Community,” serta Dewa Putu Suardana, keponakan pemilik villa, yang setiap kali datang merawat dan membersihkan kompleks itu.
Selesai merampungkan “September” pada 11 Maret 2006, saya mengirimkan naskah itu ke Penerbit Tiga Serangkai, Solo.
Alhamdulillah, buku itu bisa terbit sesuai waktu yang saya minta, dan launching-nya dilakukan pada awal Oktober 2006 di Jakarta Pusat, dengan pembahas Kochi Kaoru, akademisi dari Tokyo, teman Yudhistira, yang baru saya kenal.
Sejak itu, saya selalu berkomunikasi melalui telepon genggam, baik dengan Bada maupun dengan Nundang. Lalu, ketika saya mendapat kesempatan diajak kerjasama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud, untuk menyiapkan dan menggelar acara tahunan “Anugrah Kebudayaan,” saya pun berkenalan dengan arkeolog Titi Surti Nastiti, yang bekerja di salah satu Direktorat, dan ternyata adalah putri kedua Kang Ajip. Maka komunikasi dengan putra-putri Kang Ajip pun terjalin, kadang dalam basa Sunda, kadang dalam Bahasa Indonesia. Apalagi kemudian saya dan Rayni N. Massardi, makin sering bolak-balik Jakarta-Bali, hampir tiap dua bulan sekali. Bahkan ketika ke Lombok pun, kami sempat berjumpa dengan Nundang, yang kebetulan sedang mampir di sana.
***
Suatu ketika, kami kehilangan kontak dengan Bada. Ternyata, Bada sudah meninggalkan Ubud, dan bekerja di sebuah perusahaan Jepang di bilangan Cikarang, Bekasi, untuk beberapa tahun. Pada suatu saat berikutya, ketika kami liburan ke Jogja, entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba Nundang menghubungi saya, dan mengajak saya ke Pabelan, untuk menemui ayahandanya, Kang Ajip Rosidi, yang saat itu kebetulan sedang di rumahnya di Pabelan, Mungkid, Magelang. Nundang pun menjemput saya ke Jogja.
Setelah bertemu dan mengobrol beberapa waktu dengan Kang Ajip, Nundang memperkenalkan saya pada perupa Sony Santosa, asal Curup, Bengkulu.
Rupanya, Sony pernah tinggal di Ubud sejak 1989, sebelum kemudian pindah ke Rumah Seni Elo-Progo Art Gallery, miliknya, pada 2006. Di lahan luas yang terletak di pertemuan Sungai Elo dan Sungai Progo, tak jauh dari rumah Kang Ajip, pada setiap bulan purnama, Sony memang selalu menyelenggarakan pelbagai pentas seni, musik dan teater. Acara itu selalu diakhiri dengan pertunjukan “melukis langsung” yang dilakukan Sony, diiringi musik, sebagai performance art di dalam “teater sumur.”
Ya, tempat semua peristiwa seni itu memang berlangsung di dalam lubang besar seperti sumur yang dalam, dengan penonton duduk di lingkaran atasnya, sambil melihat ke bawah, seperti menonton pertunjukan Tong Setan.
Beberapa tahun kemudian saya mendapat kabar bahwa Bada sudah tidak di Cikarang lagi. Bada sudah kembali ke Pabelan, mengurus rumah makan milik keluarga, dan sekaligus membuka warung Kopi Mpat, di lahan milik keluarganya yang sangat luas, dengan pemandangan sawah dan kolam ikan, serta panorama bayangan cungkup Candi Borobudur di kejauhan. Kami pun beberapa kali mampir ke tempat yang menyajikan pemandangan indah itu tertutama ketika matahari terbit dan saat matahari tenggelam.
Ketika itulah, bila sedang beruntung, kami bisa bertemu dan mengobrol satu dua jam dengan Kang Ajip, di rumahnya yang berpekarangan luas, dengan perpustakaan berisi ribuan buku dan puluhan lukisan, di sebuah bangunan yang terpisah dengan rumah tinggalnya.
Lama tak berkomunikasi, pada suatu hari, Nundang menelepon saya, meminta tolong agar saya bersedia menjadi pembicara tamu sekaligus ”menemani” dua penyair pemenang lomba haiku nasional Jepang. Mereka akan membuat seminar tentang haiku di Universitas Darma Persada (Unsada) Bekasi, yang merupakan universitas kerjasama dengan Jepang, dan dibangun atas inisiatif Ir. Ganjar Kartasasmita, menteri semasa Orde Baru.
Semula, karena saya tidak paham haiku, saya sempat menolak. Namun, Nundang setengah memaksa, sehingga saya pun bersedia dan hadir. Maka, pada Jumat, 16 Desember 2016 itu, alhamdulillah, untuk pertama kalinya, saya mengenal haiku dari dekat dan kemudian menekuni puisi klasik Jepang tiga baris dengan format 5-7-5 suku kata atau 17 sukukata itu.
Berkat pengenalan itu pula, saya kemudian menulis dua kumpulan puisi dalam format haiku bebas – yang saya sebut sendiri sebagai “hai aku” – karena saya tidak (ingin) selalu menggunakan kigo (penanda waktu) dan kireji (kata kunci akhir/kesimpulan/kejutan), yang merupakan prasyarat dalam haiku klasik. Kumpulan puisi pertama saya “Hai Aku Sent To You” yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama (GPU), diluncurkan pada Februari 2017. Kumpulan puisi kedua saya, “Hai Aku,” yang diterbitkan Prenada Media, diluncurkan pada Agustus 2017.
Dua kumpulan puisi “resmi” saya yang pertama dan kedua itu, bisa diterbitkan pada tahun yang sama, dan sempat diacarakan di Jakarta, Jogja, Bali dan Lombok.
***
Pada awal 2017, perupa Jun Sakata, yang pernah bekerjasama dengan Bada di restoran “Biah-Biah,” Ubud, dan tinggal di Ubud setiap enam bulan sekali dalam setahun, meminta tolong agar kiranya bisa berpameran di TIM Jakarta. Untuk itu saya segera menghubungi dan meminta bantuan Merwan Jusuf, dosen dan kurator senirupa, lulusan sekolah senirupa tersohor di Paris, Ecole de Beaux-Arts, yang sudah kami kenal waktu di Paris selama kurun 1976-1981.
Akhirnya, pameran dibuka pada Rabu, 5 Juli 2017, dengan Bada bertindak sebagai penerjemah Jun Sakata, ketika berhadapan dengan media dan pengunjung. Sementara Ruslan Wiryadi bertugas membawa seluruh karya rupa Jun Sakata dengan mobil pribadinya dari Ubud ke Jakarta.
Pada Maret 2018, saya liburan ke Jogja. Lalu, atas undangan Bada, untuk pertama kalinya saya dan Rayni, berkunjung ke Kopi Mpat, yang baru belum resmi dibuka. Namun kami tidak bertemu dengan Kang Ajip karena kebetulan sedang di Jakarta.
Pada 9 September 2018, sambil berlibur ke Jogja, bersama Christyan AS, co-writer novel Rainbow Cake, yang ditulis berdua dengan Rayni N. Massardi, kami juga sowan ke Kang Ajip di Pabelan. Kami bertemu, mengobrol, dan berfotoria dengan Kang Ajip, sebelum berakhir dengan acara menikmati makan siang di bagian restoran Kopi Mpat. Salah satu menu di restoran itu adalah “Ayam Haiku,” pemberian nama dari saya, untuk menu ayam yang dimasak a la woku Manado.
Kunjungan itu berakhir dengan menikmati kopi dan sunset di Kopi Mpat, beberapa puluh langkah dari bangunan utama restoran, sambal menyusuri tepi sawah dan kolam ikan.
Karena kang Ajip akan ke Jakarta, untuk acara pemberian “Hadiah Rancage” di TIM pada 26 September 2018, kami pun hadir dan bertemu di TIM, dengan pasangan pengantin baru baru Kang Ajip dan Nani Wijaya. Di situ pula kami bertemu dengan Nundang dan Titi Nastiti. Pada acara itu, sahabat kami sastrawan budayawan Seno Gumira Ajidarma, memberikan kata sambutan sebagai Rektor IKJ.
Pada 22 Februari 2019, saya dan Yudhistira diundang Tembi Rumah Budaya di Jogjakarta, untuk mengisi acara rutin “Sastra Bulan Purnama” di tempat itu. Ketika itu Yudhis meluncurkan novelnya “Penari dari Serdang.” Saya meluncurkan draft novel “SIMVLACRUM,” yang hingga hari ini masih menunggu koreksi akhir dari putri saya Cassandra Massardi, sebagai co-writer. Dan, istri saya Rayni N. Massardi meluncurkan novel psycho-thriller “Rainbow Cake,” yang ditulis berdua dengan Christyan AS, sebagai surprise, sebelum peluncuran resmi novel yang akan diterbitkan Gramedia Pustaka Utama (GPU), pada akhir Mei 2019 – tiga bulan kemudian. Ketika itu Bada dan Nundang ikut hadir meramaikan. Karena itulah, keesokan harinya, saya, Rayni, Christyan, Yudhistira dan Siska istrinya, wajib datang ke Pabelan, sowan dengan Kang Ajip, mengobrol sekiar satu jam, sebelum kemudian menikmati sunset di Kopi Mpat, beberapa ratus meter dari rumah yang diberi nama “Jati Niskala” itu.
Sehubungan dengan terbitnya novel
“Rainbow Cake” karya Rayni N. Massardi dan Christyan AS, yang diterbitkan GPU pada Mei 2019, kami membuat soft-launching di Toko Buku Gramedia Emerald Bintaro, dan kemudian di Lounge XXI, Plasa Indonesia pada Kamis 30 Mei 2019. Karena kami belum pernah launching di Bandung, saya pun meminta kemungkinan untuk membikin acara di Perpustakaan Ajip Rosidi, di Jalan Garut, Bandung. Nundang pun sepakat dan kemudian menjadwalkan acara untuk Sabtu, 27 Juli 2019 pagi. Setelah pelbagai persiapan dilakukan, kami berangkat naik travel, dan sahabat kami Annie Rai Samoen serta Rio Aribowo, ikut mendukung dengan naik kereta api dari Jakarta.
Pagi Jumat, 26 Juli 2019, kami sudah tiba di Bandung dan kemudian melihat lokasi acara. Siang hari itu Kang Ajip dan Nundang ternyata baru tiba dari Jogja dengan mobil. Setelah ngobrol beberapa waktu sambil melihat lokasi acara dan persiapan, kami kembali ke hotel dan kemudian ngopi-ngopi cantik dengan Annie Rai Samoen di Paris Van Java. Saat asyik menikmati kopi, sore hari itu, Nundang mendadak menelepon saya. Dia mengabarkan bahwa Kang Ajip ingin bertemu segera.
Dengan perasaan galau, setelah Nundang memberitahu apa yang akan dibahas, saya pergi naik taksi. Saya bertemu dengan Kang Ajip di ruang kerja merangkat kamar tidur, di sudut belakang gedung perpustakaan itu. Setelah berargumentasi dengan agak kaku, dan penuh perasaan aneh, kami pun mengakhiri pembicaraan singkat itu. Yang penting: acara besok pagi harus tetap berjalan, karena tak mungkin membatalkan dan memindahkan lokasi secara mendadak. Apalagi kami pun tidak punya cukup dana dan tidak ada sponsor sama sekali.
Dari Jalan Garut, malam itu saya janjian dengan Rayni dan Annie untuk pindah lokasi, dan ketemuan di Warunk Upnormal, di Jalan Braga. Saya tidak mau memberi tahu apa isi pembicaraan saya dengan Kang Ajip tadi. Setiba di Braga, saya ceritakan dialog yang terjadi antara saya dengan Kang Ajip. Usai mendengarkan, Rayni dan Annie hanya bisa tercengang dan menghela napas dalam-dalam.
Pagi hari, Sabtu 27 Juli 2019, alhamdulillah acara “Bincang bully” Novel “Rainbow Cake,” berjalan lancar, tanpa banner, tanpa poster, dan tanpa ada penjualan buku di lokasi. Semua kawan baik kami yang di Bandung berkenan hadir. Antara lain Abay D. Subarna dan istrinya, Yusran Pare, Abdullah Mustapa dan istrinya pengarang Aam Amalia, Rinny Srihartini, Ipit Saefidier Dimyati, dan banyak lagi, serta kawan dari Subang, Kin Sanubary.
Kang Ajip duduk paling depan, ikut mendengarkan sampai acara berakhir, kendati pendengarannya kurang baik, sehingga tidak terlalu paham apa detail yang dibincangkan di acara itu. Nundang ikut memberi kesaksian, juga Abay Subarna.
***
Kang Ajip Rosidi memang luar biasa. Secara prestasi, tak ada seniman budayawan Indonesia yang menyamainya. Bahkan mungkin fenomenanya cukup langka di dunia. Seorang remaja otodidak yang terlalu lahap pada bacaan apa saja. Selain ihwal sastra dan kebudayaan dalam Bahasa Indonesia dan mungkin asing, juga mendalami ilmu pengetahuan, dan agama dunia, serta sastra dan kebudayaan Sunda.
Kemampuannya mencerna segala yang dibacanya, dan kefasihannya menuliskan semua inspirasi kreatif yang dilahirkan dari bacaannya, itu telah menjadikannya dewasa sebelum waktunya.
Tak aneh bila dalam usia remaja belasan tahun, namanya sudah sejajar dengan para sastrawan dan budayawan Indonesia terkemuka pada masanya, ketika paham dan praxis modernisme tengah melanda belahan bumi, termasuk Indonesia, pada dekade 1950-an.
Tak pelak, Kang Ajip adalah sorang jenius pada zamannya, yang tak terbandingkan. Ia juga jenius pada zaman saya dan kawan-kawan berkirprah pada era 1970-an. Dan, dia tetap jenius pada zaman berikutnya. Karena tak ada, atau belum ada lagi, tokoh yang mampu menandinginya hingga pada generasi milenial ini. Belum ada lagi seorang otodidak, yang tak menamatkan pendidikan sekolah menengah atas, yang mampu menjadi guru besar luar biasa, dan guru besar tamu di bidang sastra dan budaya, serta menerima begitu banyak jabatan dan penghargaan. Baik di dalam maupun di luar negeri.
Sungguh langka orang yang mampu menulis begitu banyak buku, dalam pelbagai bidang secara sekaligus, tanpa pernah putus, sejak usia 12 tahun hingga 82 tahun.
Ketokohan Kang Ajip pun tak hanya tercatat di bidang sastra dan bahasa. Tak hanya dalam Bahasa Indonesia dan basa Sunda. Tapi juga dalam dunia penerbitan dan perbukuan.
Dalam dunia kepustakaan dan senirupa. Juga dalam dunia sejarah, pendidikan dan pengajaran. Serta dalam sejarah pusat kesenian dan kebudayaan.
Perhatian dan keprihatinannya pada sastra daerah, tidak hanya sastra Sunda, diwujudkannya dalam bentuk pemberian penghargaan dan apresiasi rutin tahunan: “Hadiah Rancage.”
Perhatiannya kepada para sastrawan generasi muda, telah memungkinkan para penyair / penulis muda di bawah generasinya, untuk berkiprah dan mendapatkan “pengakuan” melalui program Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang menghelat acara “Penyair Muda di Depan Forum.”
Sebuah forum yang membahas dan menerbitkan karya-karya para penyair generasi 1970-1980an. Termasuk saya, Yudhis, Adri Darmaji Woko, Handrawan Nadesul, Dami N. Toda, dan lain-lain.
Menerbitkan dan memimpin aneka majalah sastra dan kebudayaan sejak remaja hingga hari ini, Kang Ajip tidak hanya bisa berkomunikasi dengan segala kalangan, tapi juga memberikan perhatian langsung dan bukan hanya dengan kata-kata atau metafora.
Karena sesungguhnyalah, Kang Ajip seorang yang sederhana, dan senang bercanda, sebagaimana umumnya orang Sunda. Ia juga tidak arogan sebagai tokoh terkemuka, dan tidak sok pamer dengan seluruh kepemilikan lahan dan rumahnya di pelbagai lokasi. “Saya tidak pernah mengejar jabatan dan kekayaan. Semua terserah kehendak Tuhan,” kata Kang Ajip selalu. Sesuatu yang terbuktikan sepanjang karir dan perjalanan usianya.
Meskipun demikian, Kang Ajip juga mempunyai kelebihan atau keunikan, atau mungkin juga kelemahan. Yakni, terlalu kaku dan keukeuh dalam sikap dan pendiriannya. Dalam banyak hal. Sesuatu yang selalu menjadi ciri utama orang-orang jenius yang otodidak tapi sukses.
Termasuk merasa paling benar dan paling tahu. Namun, keteguhannya dalam memegang prinsip, itu tak menghalanginya untuk bergaul dengan segala kalangan. Untuk berbagi ilmu dan rezeki dengan yang membutuhkan. Kecuali dengan mereka yang tidak disukainya. Dan, yang ideologinya tidak sejalan dengannya.
Toh, kekurangan itu tak menghentikannya untuk selalu mendapatkan pelbagai gelar dan penghargaan. Baik dari dalam maupun dari luar negeri. Baik dari kalangan masyarakat maupun dari kalangan akademisi. Tak aneh bila Kang Ajip selalu terlibat dalam pelbagai kegiatan sastra budaya Indonesia, Sunda, dan daerah. Kendati mungkin secara kualitatif, banyak orang lebih menggolongkan ketokohannya dan karya-karyanya sebagai seorang “generalis” ketimbang “spesialis.” Sehingga karya puisi dan kepenyairannya, tampak tidak terlalu menonjol dibanding para “penyair spesialis” lainnya, dan karenanya tidak banyak yang menjadi epigon-nya. Begitu pula untuk karya-karya cerita pendek dan novelnya. Termasuk karya telaah dan sejarah sastra dan kebudayaan yang ditulisnya.
Meskipun demikian, sebagai seorang generalis, Kang Ajip telah memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi ekosistem sastra dan kebudayaan Indonesia dan daerah. Juga keperintisannya dalam pelbagai bidang, seperti dalam penerbitan, pengarsipan, kepustakaan, dan pemberian aneka penghargaan.
Ringkasnya, Kang Ajip adalah seorang yang murah hati dan sangat konsisten. Baik dalam karya, semangat, dan ideologinya. Termasuk dalam gaya rambut dan raut wajahnya.
“Noorca, saudara kan lebih muda dari saya, kenapa rambutnya sudah putih, sementara rambut saya masih hitam dan asli?” kata Kang Ajip, setiap kali saya bertemu dengannya.
Ya, rambutnya memang selalu lurus, hitam dan asli, dengan tampilan wajahnya yang selalu muda, dan tak pernah berubah kendati termakan usia. Bahkan, ketika pada Rabu, 29 Juli 2020, pukul 22.20 wib, Allah Swt memangilnya pulang, pada usia 82 tahun.
“Saya betul-betul tidak menyangka bahwa umur saya bisa sampai 80 tahun,” kata Kang Ajip kepada saya di rumahnya.
Almarhum Ajip Rosidi dimakamkan hari Kamis 30 Juli, pukul 11.00 wib di halaman depan rumahnya, di Perpustakaan Jati Niskala, Desa Pabelan 1, Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Akhir kata, harus saya akui, kekaguman saya kepada Kang Ajip, mungkin karena sejak awal saya merasa, riwayat pendidikan, karir, dan minatnya pada segala bacaan, sebagai seorang otodidak, tidaklah jauh berbeda dengan saya: otodidak.
Yang membedakannya hanyalah: garis tangan. Selamat jalan, Kang Ajip. Hatur nuhun atas segala perhatiannya. Semoga amal ibadah Kang Ajip diterima Allah swt. Amin.
Bintaro, 01 Agustus 2020