Jumat, April 26, 2024

Penyair Hamid Jabbar dan Kematian yang Puitis

Ahmad Gaus AF
Ahmad Gaus AF
Penulis dan editor, dosen bahasa dan budaya Swiss-German University (SGU), Tangerang; berkhidmat di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok.

Penyair Hamid Jabbar meregang nyawa di atas panggung. Malam itu, 29 Mei 2004, 18 tahun silam, ia membacakan sajak-sajaknya di acara pentas seni dan orasi budaya di auditorium UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bersama dia saat itu ada penyair Jamal D. Rahman, filsuf-budayawan Franz Magnis-Suseno, dramawan Putu Wijaya, dan musisi Franky Sahilatua. Tepuk tangan bergemuruh saat ia menjatuhkan diri di akhir pembacaan sajaknya. Orang mengira itu adalah bagian dari atraksi panggung sang penyair yang memang dikenal senang bereksperimen dengan berbagai gaya dalam membaca sajak. Padahal, ia tengah bergumul dengan maut.

Hamid Jabbar mungkin satu-satunya penyair yang menjemput ajal di atas panggung dengan tangan menggenggam sajak. Lakon hidup yang dipilihnya sebagai penyair dijalani dengan setia sampai napas terakhir. Karya-karyanya menghidupkan dunia seni, khususnya sastra. Bahkan momen kematiannya dicatat sebagai peristiwa kesenian. Memang setiap orang akan mati. Tapi, tidak setiap orang bisa beruntung mengalami kematian yang begitu indah dan puitis seperti Hamid Jabbar.

Sosok Kepenyairan

Nama lengkapnya ialah Abdul Hamid bin Zainal Abidin bin Abdul Jabbar. Namun belakangan ia menggunakan nama pena yang lebih singkat dengan menggabungkan sepotong namanya dan nama kakeknya menjadi Hamid Jabbar.

Sosok kepenyairan Hamid Jabbar dibentuk bukan hanya oleh bakat dan idealisme yang tinggi melainkan juga oleh aktivisme yang terlibat dengan gemuruh zamannya. Bakat sastranya menurun dari keluarganya, terutama sang ibu yang gemar berpantun. Sementara idealismenya dibentuk dari lingkungan keluarga besarnya yang religius, yang kelak menuntun tangan Hamid menulis sajak-sajak ketuhanan yang menjadi referensi untuk sebuah jalan hidup yang ideal berdasarkan Islam.

Sajak-sajak religiusnya yang terkenal misalnya Astaghfirullah, Zikrullah, Ketika Khusuk Tiba Pada Tafakkur Kesejuta, Beri Aku Satu yang Tetap dalam Diriku, Doa, Sebelum Maut itu Datang Ya Allah,  Setitik Nur, dll. Perhatikan sajaknya yang berjudul Setitik Nur berikut ini:

di dalam waktu dan malam yang mengalirkan gairahnya

lahirlah aku setitik nur pijar-Mu dan beranak-pinak

dari

tanda

tanya

dan bagai kupu-kupu aku terbang dari tanaman ke tanaman

hinggap di rimbunan kehidupan merendamkan muka

melepas dahaga mereguk embun yang turun bersama

cahaya bulan masuk ke dalam sejuta kembang kembara

atas

putik

harap

dan bagai lautan merpati melayangkan segala gelombang

dalam hempasan awan putih memagut layang-layang mencari-Mu

akan

jawab

pasti

pada pulau-pulau yang meratap dan merayap di lubuk hati

bumi yang dipijak dan terisak dan tak kuasa mengelak

dari

kuasa-Mu

selalu

sampai-sampai jua aku pada batas itu

batas tetap seperti

semula

***

Sajak di atas menggambarkan perjalanan hidup yang terentang dari mula kelahiran hingga ke ujung usia. Di dalamnya ada pencarian yang penuh kepasrahan. Setiap tanah yang dipijak dan pulau yang disinggahi tidak luput dari harapan dan kecemasan. Namun si penyair tetap meyakini adanya kuasa Tuhan di setiap gerak alam semesta. Sajak yang mengekspresikan hubungan diri sang penyair sebagai hamba dan Sang Khalik itu mengingatkan kita pada sajak-sajak senada yang ditulis oleh para penyair seperti Chairil Anwar dalam “Doa”, Taufiq Ismail dalam “Sajadah Panjang,” dll.

Sajak-sajak Hamid Jabbar terkumpul dalam bunga rampai Paco-Paco (1974), Dua Warna (1975), Wajah Kita (1981) dan antologi lengkap: Super Hilang, Segerobak Sajak Hamid Jabbar (1998). yang dianugerahi penghargaan oleh Yayasan Buku Utama dan Pusat Bahasa.

Menjadi Aktivis

Selama masa transisi kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru antara 1966-1969 Hamid Jabbar dikenal sebagai aktivis KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) Sukabumi dan Bandung yang kerap berdemonstrasi menentang rezim Orde Lama. Saat itu ia telah merantau dan melanjutkan sekolah di Bandung. Masa-masa itu ikut membentuk jiwa kepenyairannya yang menjadi peka terhadap isu-isu politik. Itu sebabnya sebagian sajaknya berisi kritik terhadap kekuasaan. Sejatinya Hamid tidak menyukai politik yang dianggapnya sebagai wilayah kotor. Ia menolak politik dijadikan panglima sebagaimana slogan Orde Lama. Ia juga berpandangan bahwa seni tidak boleh dimanipulasi.oleh politik sebagaimana dilakukan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sayap kebudayaan golongan kiri.

Karena sikap dan pandangannya itu, ia menjauhi politik dan memilih jalan sastra. Ia dikenal sebagai penyair yang lugas dalam menyampaikan kritik sosial melalui sajak-sajaknya. Beberapa sajak kritiknya yang terkenal antara lain Selamat Tinggal Manusia Budak Indonesia, Proklamasi 2, Indonesiaku, dll.

Sempat Menghilang

Hamid tidak selamanya berkutat di dunia kepenyairan. Ia pernah menjadi wartawan Indonesia Ekspres (Bandung) dan Singgalang (Padang). Ia bahkan pernah bekerja di gudang beras, perkebunan teh, dan menjadi penyiar radio. Mungkin itu sebabnya ia memiliki banyak bahan untuk menulis sajak.

“Bang, saya mau menghilang dulu, jangan bilang siapa-siapa,” ujarnya suatu hari kepada penyair Sutardji Calzoum Bachri sebelum meninggalkan Jakarta. Sutardji mengisahkan itu dalam webinar dalam rangka mengenang Hamid Jabbar pekan lalu (21/9) yang dihelat oleh Komunitas Puisi Esai Asean bekerjasama dengan Badan Bahasa dan Sastera Sabah Malaysia. Menurut Sutardji, Hamid adalah penyair spontan. Ia bisa menulis sajak dengan cepat karena dirinya adalah sajak itu sendiri. Ia tidak memperlakukan kata-kata sebagai pesuruh untuk mengantarkan pengertian. Ia justru menjalin hubungan yang intim dengan kata. Jiwanya dan kata-kata menyatu. Sehingga apa yang dilihatnya oleh mata sudah menjadi sajak, tinggal melukiskannya dengan kata-kata. Penjiwaannya yang total membuat sajak-sajak Hamid menjadi semacam kearifan (wisdom). Kata-kata menyusul kemudian.

Ibarat anak hilang, setelah pergi mencari penghidupan di berbagai lapangan pekerjaan, Hamid akhirnya kembali ke pangkuan sastra dan menelorkan karya-karya penting. Selain menulis sajak, Hamid juga menulis cerita pendek (cerpen) dan bermain teater. Sutardji merasa senang dengan kembalinya Hamid. Bagaimanapun, perkawanan mereka tidak hanya terjalin sebagai sesama perantau dari Sumatera, tapi juga di panggung sastra. Hamid adalah orang yang mengetik naskah kredo puisi mantra Sutardji yang terkenal dengan slogan “Membebaskan kata dari makna” itu.

Kematian yang Puitis

Di luar dua kategori sajak yang bercorak religius dan kritik sosial itu, sajak-sajak Hamid Jabbar banyak menampilkan nuansa alam. Maklum ia lahir dan menghabiskan masa kecil di kampung halamannya yang indah di Bukittinggi.Termasuk dalam kategori ini ialah sajak-sajak yang melukiskan nostalgia, kesunyian, percumbuan dengan luka, dan impian-impian tak bernama yang menggelinding begitu saja seperti nasibnya. Baca, misalnya sajak-sajaknya yang berjudul Kuda; Lapangan Rumput, Sisa Embun, dan Masa Kanak-kanak; Di Taman Bunga, Luka Tercinta; Banyak Orang Menangis Kekasih, dll.

Mari kita simak dua buah sajaknya:

LAPANGAN RUMPUT, SISA EMBUN DAN MASA KANAK-KANAK

Lapangan rumput, sisa embun dan masa kanak-
kanak menggelinding bagai bola, serangga tak
bernama, impian-impian dan entah apa-apa.
Menggelinding bagai bola, sebuah lomba tentang
bahagia, gol dan sukses, tetapi yang terjaring adalah
nasib dan bukan tidak apa-apa. Peluit tidak
berbunyi, aturan-aturan dibuat dan dimakan,
mengenyangkan isi kepala yang menggelinding dari
sudut ke sudut. Tendang dan kejar. Tendang dan
menggelepar. Batu dan kaca. Kaca dan mata. Pecah
dan luka. Menggelinding bagai bola, sebuah lomba
tentang bahagia, tetapi dunia jadi embun masa
kanak-kanak, rumputan dan serangga dan sejuta
suara warna-warna dan impian-impian
menggelembung jadi sesuatu yang bernama luka,
tetapi bahagia, bukan, bukan-bukan, ternyata kuda-
kuda memakan rumput dan meninggalkan embun
dalam ringkiknya.

“Hidup bung, merdeka atau mati…”

1978

DI TAMAN BUNGA, LUKA TERCINTA

Di taman bunga, cinta dan luka

mekar juga bersama. Para pelayat

melebur-cucurkan rindunya bersama

gaung serangga. Seperti berlagu

 

Kanak-kanak dari surga menyapa

embun dan kabut. Seperti malaikat

hinggap pada mainan kanak-kanak

di taman bunga, luka tercinta

 

Dan kau terbaring di sana, kekasih

di kelopak mimpi, kemanusiaan, masih…

1981

Kalau saja saat menghilang Hamid tidak kembali ke pangkuan sastra, kita akan kehilangan satu warna dari warna-warni pelangi di langit sastra Indonesia. Yakni, kearifan yang selalu muncul dalam karya-karyanya. Sejatinya ia bukan hanya kembali tapi juga mendorong pertumbuhan taman sastra tanah air. Bahkan ia mati di taman sastra, mungkin ini gambaran dari sajaknya sendiri: / bagai kupu-kupu aku terbang dari tanaman ke tanaman/ hinggap di rimbunan kehidupan merendamkan muka/ melepas dahaga mereguk embun yang turun bersama/

cahaya bulan masuk ke dalam sejuta kembang kembara/ atas putik harap/ /sampai-sampai jua aku pada batas itu/ batas tetap seperti semula. Sungguh momen kematian yang sangat puitis.

Hamid Jabbar mencintai tanah airnya sebagaimana ia mencintai kampung halamannya. Kritik-kritik yang disampaikan melalui sajak-sajaknya justru karena kecintaan kepada tanah air.  Semoga kini ia tengah berbahagia di sisi Tuhan yang selalu ia seru dalam sajak-sajaknya.

Ahmad Gaus AF
Ahmad Gaus AF
Penulis dan editor, dosen bahasa dan budaya Swiss-German University (SGU), Tangerang; berkhidmat di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.