Oleh: Bernadien Pramudita Tantya K, SMA Santa Ursula Jakarta
- Esai favorit lomba: Mengenal Indonesia, Mengenal Diri Kita
Indonesia adalah negara yang kaya akan bahasa, budaya, agama dan kepercayaan. Nusantara memiliki kebudayaannya sendiri jauh sebelum agama dan kepercayaan asing dibawa ke nusantara oleh para pedagang. Kepercayaan yang berkembang sejak zaman purba, animisme dan dinamisme yang berkembang di nusantara dan menjadi kepercayaan lokal akhirnya menjadi bagian dari kebudayaan dan tradisi itu sendiri dan hal ini tetap dihidupi bahkan setelah agama dan kepercayaan asing mulai dianut oleh masyarakat.
Ketika agama dan kepercayaan asing masuk ke nusantara, tidak jarang terjadi pertentangan antara kepercayaan dan budaya lokal yang telah ada. Hal tersebut terjadi ketika setiap orang menganut agama baru tertentu, mereka juga masih membawa budaya mereka sendiri. Walaupun terkadang ada hal-hal yang dilarang secara ajaran agama, masih banyak masyarakat yang tetap memegang teguh budaya mereka sambil menjalankan ajaran agama itu sendiri.
Beberapa agama berbaur dengan sangat baik dengan mengadopsi kebudayaan setempat. Agama seperti Hindu dan Budha dapat diterima dengan baik, bahkan turut mempengaruhi kebudayaan di nusantara. Hal itu terbukti dari peninggalan sejarah dan tradisi-tradisi di suku tertentu yang bersumber dari agama Hindu dan Budha. Bahkan agama Islam menggunakan budaya lokal, misalnya dengan media pertunjukkan wayang, untuk menyebarkan pengaruhnya.
Begitu pula dengan agama Katolik dan Kristen yang disebarkan oleh para misionaris dan penginjil. Banyaknya penganut agama-agama besar tersebut menunjukkan bahwa masyarakat bisa menerima agama-agama baru yang datang, bahkan agama-agama tersebut turut mempengaruhi dan membentuk budaya lokal.
Beberapa agama terbuka dengan budaya lokal yang ada, misalnya agama Hindu yang bahkan menjadi satu dengan budaya itu sendiri. Kebiasaan seperti mendoakan arwah orang-orang yang sudah meninggal berasal dari Hindu dan diadopsi orang Jawa menjadi bagian dari kebudayaannya.
Suku Jawa mempunyai kebiasaan untuk mendoakan arwah pada hari ketiga, ketujuh, ke-40, ke-100, setahun, dua tahun, dan 1000 hari setelah kematian seseorang. Kebiasaan ini juga kemudian diadopsi oleh umat Islam (misalnya yang tergabung dalam organisasi Nahdatul Ulama) dan umat penganut agama Katolik Roma.
Budaya-budaya lokal ini tetap diperbolehkan, walau ada beberapa pengecualian. Contoh lain adalah peralatan liturgi dalam agama Katolik Roma juga menggunakan barang-barang yang hanya digunakan di Indonesia, misalnya gong yang diserap dari suku Jawa. Panggilan “Romo” kepada pastur juga diambil dari bahasa Jawa. Agama Islam juga menggunakan budaya Jawa sebagai sarana untuk menyebarkan agama, misalnya melalui tembang dan wayang. Sementara kebuda
Agama yang mempengaruhi kebudayaan juga ada contohnya, misalnya di Suku Toraja yang awalnya sesuai dengan kepercayaan nenek moyang, akhirnya disesuaikan lagi dengan agama Katolik karena mayoritas penduduk Toraja menganut agama Katolik Roma. Karena kedatangan misionaris Katolik ke Toraja, maka agama Katolik Roma berkembang di sana dan akhirnya kebudayaan Toraja berasimilasi dengan tata aturan dalam agama Katolik Roma. Proses saling mempengaruhi antara agama dan kepercayaan lokal adalah proses timbal balik.
Ada juga kebiasaan-kebiasaan adat yang dilarang oleh agama. Sebagai contoh, orang-orang Batak memiliki adat untuk memakan daging babi pada peringatan hari-hari tertentu, tetapi dengan semakin banyaknya orang Suku Batak yang beragama Islam, maka adat untuk makan daging babi babi bagi orang Batak Muslim menjadi tidak berlaku (haram).
Contoh lain, di agama Katolik, berdoa dan meminta pertolongan kepada leluhur melalui perantaraan barang-barang tertentu, misalnya keris, dilarang karena menduakan Tuhan, tetapi penganutnya diperbolehkan untuk mendoakan para leluhurnya. Menurut BRAj. Gayatri Kusumawardhani, seorang remaja yang lahir dan besar di keluarga Kraton Kasunanan Surakarta, ada banyak simbol-simbol dalam budaya Jawa, seperti janur atau pusaka-pusaka, yang dilihat sebagai syrik atau musyrik dalam agama Islam.
Ia juga mengatakan bahwa istilah “menyembah” menjadi rancu karena dalam bahasa Jawa, “menyembah” adalah salah satu cara menghormati dan bukan berarti menduakan Tuhan. Pertentangan antara agama dan budaya bahkan menjadi penyebab terjadinya Perang Padri.
Generasi muda yang tumbuh besar jauh dari tempat asal budaya keluarga mereka biasanya tidak memiliki akar budaya yang kuat, kecuali mereka dikenalkan dengan intensif budaya leluhur mereka oleh dewasa di lingkungan hidup mereka. Dengan demikian, mereka menyerap budaya dan kebiasaan di tempat tinggal mereka dan apabila mereka tinggal di tempat di mana telah terjadi percampuran budaya, maka mereka juga akan menyerap budaya campuran. Bagi mereka yang dikelilingi oleh pemuka-pemuka agama yang juga terus melestarikan budaya, sambil tetap menjalankan perintah agama, maka keberagaman budaya ini menjadi kekayaan bukannya menjadi akar perbedaan.
Berbeda bagi generasi muda yang tumbuh besar bukan di daerah asal budaya mereka dan kemudian terpapar oleh lingkungan yang tidak bijak. Akar budaya mereka yang tidak lagi kuat menyebabkan mereka tumbuh besar dengan aturan-aturan agama yang ketat. Dan bila terpapar oleh pemimpin agama yang tidak bijak, maka keragaman budaya dan agama bisa menjadi perbedaan besar dan membingungkan.
Seorang dari suku Jawa yang tinggal di Jakarta misalnya, bisa saja masih menjunjung kesopanan karena keluarganya membiasakannya, tetapi belum tentu mampu menggunakan bahasa Jawa secara aktif. Apabila ia ternyata dapat berbahasa Jawa, ia bisa saja hanya bisa menggunakan satu tingkatan bahasa saja. Mereka juga tidak lagi melakukan tradisi-tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat asal suku mereka.
Generasi muda tersebut biasanya tumbuh dengan aturan-aturan agama dan bukan tradisi dan adat istiadat suku mereka. Apabila ternyata ada kebiasaan dalam suku mereka yang ditentang oleh agama mereka, maka mereka akan memprioritaskan ajaran agama karena mereka lebih mengenal aturan agama lebih baik daripada tradisi dan adat istiadat mereka. “Bisa tetapi agama yang diprioritaskan terlebih dahulu,” jawab Radian Try Darmawan, seorang remaja Muslim yang berasal dari suku Padang tetapi lahir dan besar di Bekasi.
Berbeda dengan mereka yang tinggal dekat atau di daerah asal orang tua mereka, generasi muda tersebut masih memiliki akar kebudayaan yang kuat, seperti Gayatri misalnya, yang tempat tinggalnya sangat mempengaruhi keaktifannya dalam menjalankan adat dan melestarikan budaya Jawa. Saya sendiri, sebagai orang dari suku Jawa, tidak banyak melakukan tradisi Jawa karena sejak kecil sudah tinggal jauh dari tempat asal keluarga saya. Saya masih memegang nilai-nilai kebudayaan Jawa karena dibesarkan dengan nilai-nilai tersebut dan masih dapat berbahasa Jawa walaupun pasif, mengetahui dan dapat mengenali kebudayaan Jawa.
Ketika generasi muda dihadapkan dengan pilihan antara budaya atau agama, mereka bimbang. Mereka yang tidak terlalu mengenal agama akan memilih budaya, sementara mereka yang tidak terlalu mengenal budayanya, akan memilih agama. Menurut Ignatius Tegar Cakrabuana Pagasing, seorang seminaris muda Katolik di Seminari Menengah Wacana Bakti, agama dan budaya setempat, pasti ada sisi yang berseberangan sehingga akan membuat seseorang memilih untuk mengikuti budaya atau mengikuti agama yang dianut.
Pemuda yang biasa dipanggil Tegar ini adalah seorang pemuda dari suku Toraja dan Jawa yang masih aktif menjalankan budaya Torajanya. Pernyataan dan tindakan yang dilakukan Tegar seakan bertentangan, tapi ini menjadi bukti yang menunjukkan bahwa banyak generasi muda yang masih kebingungan.
Mereka berpikir bahwa harus memilih salah satu, padahal sebenarnya keduanya bisa dilakukan bersama-sama. Mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya juga menjalankan budaya, entah itu budaya asli mereka atau budaya di tempat mereka tinggal, sedikit atau banyak. Budaya dan agama harusnya saling melengkapi, seperti yang dikatakan oleh Albertus Danu Bagaskoro, seorang seminaris muda Katolik lainnya dari Seminari Menengah Wacana Bakti, ketika menjalankan tradisi, kita bisa sambil menunaikan kewajiban dalam beragama. Sementara menurut Gayatri, walaupun agama dan budaya memiliki sumber yang berbeda, banyak hal baik dari budaya yang sejalan dengan agama.
Budaya tidak seharusnya menjauhkan seseorang dari Tuhan dan agama tidak seharusnya menghilangkan identitas seseorang. Agama dan budaya seharusnya bisa saling menyesuaikan diri, terutama di zaman modern ini. Agama bukan sekadar aturan yang harus dijalankan, tetapi sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Budaya juga harus terus dilestarikan, terutama karena semakin lunturnya budaya di Indonesia. Generasi muda harus terus mengedukasi diri dan berpikiran terbuka terhadap agama dan budaya supaya kedua hal itu dapat berjalan bersamaan.