Jumat, April 26, 2024

Berpegangan Tangan dengan Leluhur

Oleh: Arlita Dea Indrianty, SMAN 36 Jakarta

  • Esai favorit lomba: Mengenal Indonesia, Mengenal Diri Kita

Bicara tentang Indonesia tidak akan membawa seseorang pada titik akhir perjalanan. Terlalu banyak yang perlu diulas. Mungkin tentang keindahan yang berwarna hijau dan biru. Atau, tentang gelap dan tidak tersentuh. Negeri ini memang beragam. Lalu, apakah ini hal yang baik atau tidak? Apakah keberagaman negara ini adalah sebuah pisau tajam untuk negara ini atau sebuah sumber pemersatu?

Yang berbeda itu indah, mendengar hal itu bukanlah hal yang asing lagi di telinga. Bhineka tunggal ika, katanya. Lalu, yang mana yang indah? Yang mana yang satu jua? Negara ini dihancurleburkan pemiliknya sendiri, mungkin pemilik negara ini makin dekat dengan kata orang Indonesia yang sudah tidak Indonesia lagi. Mungkin kita akan kehilangan masanya kita dianggap begitu beragam.

Negara ini adalah negara yang ramah, mungkin karena ramah itulah semua budaya disambut hangat di sini. Keberagaman kita mungkin mengalami sedikit pergeseran. Dahulu adalah tentang jaipong dan tarian lenggang nyai. Sekarang, tiba-tiba sebagian besar anak muda kita melek budaya orang lain dan dengan senang hati menyebarkannya dan mempelajarinya. Budaya kita akan punah dalam tahun atau abad itu tergantung pada tubuh dan jiwa-jiwa para pemilik tanah air ini.

Negara ini dibangun dengan keberagaman yang begitu kental, diciptakan para leluhur kita. Hal-hal berbau leluhur kini terlihat sebagai sebuah jalan kuno yang terlampau jauh. Tidak ada keinginan menyentuhnya. Mungkin, kata-kata dan lelaku para leluhur dan nenek moyang adalah hal yang terlalu asing dan dianggap terlalu tidak masa kini, itu hanya mitos atau legenda.

Bukan tanpa alasan mengapa keberagaman  dikatakan sebagai salah satu alat pertahanan negara. Ada beberapa contoh misalnya untuk masa kita sekarang. Lagu-lagu dengan Bahasa papua dan Jawa dinikmati tidak hanya oleh orang dari daerah-daerah khusus tersebut.

Tidak ada yang merasa bahwa lagu-lagu itu tidak boleh didengar atau dinyanyikan kecuali dari orang-orang daerah khusus itu. Bahasa Indonesia mungkin adalah Bahasa persatuan tapi ada banyak Bahasa lain yang khas dan lekat pada benak. Ini membuktikan bahkan mungkin tanpa mengetahui arti dalam keseluruhan lagu-lagu itu, kita tetap dapat menyatakan bahwa ini lagu Indonesia, lagu berbahasa Jawa itu adalah lagunya Indonesia, lagu berbahasa Papua itu milik mu dan milikku juga.

Budaya leluhur adalah titik di mana kita semua berasal dari hal yang sama, kita hidup dengan budaya kedaerahan. Kental tentang perbedaan dan budaya lain yang masuk, misalnya saat budaya hindu harus menyambut islam. Kita hidup berdampingan dan semua orang di negara penuh perbedaan ini seharusnya sadar ada beribu cara  menghancurkan persatuan dan keterpaduan ini semua dengan mudah, hanya dengan mengubah kata saling menjadi kata berpaling. Tubuh kesatuan dalam negara ini seharusnya saling berpegangan tangan dan menopang bukan berpaling dan acuh tak peduli, merasa apa yang dipilih adalah pilihan paling baik.

Apa yang diperkenalkan leluhur kita di masa lalu adalah budaya tentang saling membantu, butuh banyak orang untuk menuju waktu di mana kesejehtaraan keseluruhan dapat digapai. Seandainya anak-anak muda negara ini dapat memahami betapa budaya dan nilai-nilai leluhur adalah hal paling mendasar untuk menuju pertahanan terhadap integrasi.

Ada begitu banyak cara untuk melihat negara ini, salah satunya ialah bahwa negara ini disatukan perbedaan budayanya. Bukankah hanya dengan satu kebudayaan saja yang menjadi terkenal yang bahagia adalah para diri-diri itu, Coba ingat bagaimana orang-orang yang berbeda itu  di masa penginjakkan, penjajahan akhirnya menyatu menjadi satu untuk persatuan dan kedaulatan negara ini yang utuh. Agar bendera merah-putih itu dapat mengibar bahkan walau harus merelakan beberapa hal dalam diri. Harus melupakan kepercayaan atau bahkan pantangan suku untuk bersatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bukanlah hal salah, untuk menjadikan diri makin maju atas teknologi dan budaya dunia, tapi saat ini kita tidak butuh budaya-budaya asing  itu. Terlalu banyak perbedaan yang harus kita hormati sendiri pada negeri ini. Mengapa sibuk pada isu dunia sedangkan budaya dan keberagaman negara ini sedang menguap jauh ke langit. Entah akan berakhir di tangan siapa kebudayaan-kebudayaan leluhur itu.

Ibu ku sudah tidak paham caranya membakar menyan untuk menunjukkan syukur terhadap hasil panen. Ayah ku tidak lagi mengerti perhitungan weton. Pantangan dan mitos hanyalah sebuah bacaan yang dianggap menarik karena terlihat kuno dan mistis. Apa kabar diri ku? Apa kabar diri mu? Kedepannya negeri ini mau dibawa kemana, sejauh mana.

Perlahan, mungkin bisa terjadi masa di mana itu semua hilang. Jangan berbicara soal budaya yang itu dulu, seperti tarian atau upacara-upacara adat. Coba lihat yang lebih dekat. Apakah senyuman dan sapaan sopan itu masih sering ditemui di jalan?

Mungkin beberapa kali di sekolah atau di rumah, bisa ditemui kata-kata ini; Saat zaman bapak tidak seperti itu, waktu ibu sekolah ingin melewati guru saja sudah berfikir banyak dulu, mungkin karena zaman sudah berubah jadi begitu, anak-anak zaman sekarang tidak aneh melakukan itu. Seruan-seruan itu  sedikit menyentil, tapi tidak begitu mengganggu. Entah, dianggap lazim atau bagaimana. Anak-anak muda merasa, ya.. ini memang zaman ku.

Langkah negara ini masih jauh, kakek dan nenek makin tua, mereka mungkin bisa saja lupa untuk mengingatkan mu, caranya seperti ini, caranya seperti itu. Bukan soal negara kaya atas uang atau kekayaan alam nya . Bukan, karena negara ini terkenal dengan sejuta manusia yang begitu paham tentang hal modern. Mengapa tidak terkenal karena negara ini berdampingan dengan budayanya. Negeri dengan kekayaan yang sesunguhnya. Karena uang bisa hilang dan bahkan budaya dapat dicuri. Tapi, apa yang kita tanam dan rasa bangga di hati atas segala keberagaman itu jangan sampai terenggut.

Keberagaman mengantarkan negeri ini pada penghidupan dan cerita luar biasa. Lihat, bagaimana kekuatan sumpah pemuda mengantarkan negeri ini pada cahaya terang benderang. Pada makmur dan rasa syukur. Tidak ada yang berubah, keberagaman itu, cara bicara, cara berpakaian, cara beribadah atau  bahkan cara tersenyum.

Semua tetap sama. Hanya saja kini kita bukan Batak, Jawa, Sunda, Betawi atau Papua. Kita sama Indonesia. Seperti kue lapis, warna perlapisan nya beda tapi namanya sama, bahkan saat lapisan-lapisan itu tercerai berai jadi masing-masing tubuh berbeda atau saat bagian-bagian itu menyatu, namanya tetap sama kue lapis. Boleh saja ada kata aku dan kamu tapi kita tetap kita. Dan kita itu artinya satu.

Hal yang indah adalah menatap sebuah wadah berisi air yang jernih,  dihiasi macam-macam warna. Warna apapun boleh ikut, pada akhirnya wadah besar itu akan menerima dan warna nya hanya akan menjadi satu warna juga. Bahkan sebilah pisau pun bukan hanya dapat membawa luka, tapi juga manfaat yang berjuta. Untuk membentuk kita yang utuh kita perlu kata aku dan kamu dan dia. Agar bisa jadi kami, agar bisa jadi kita. Dan perbedaan kita sudah cukup.

Bukan sedang mendoakan, tapi terlalu menyayangkan jika kiamat keberagaman itu hilang. Apalagi, jika hilangnya karena tangan-tangan penerus sudah tak lagi terbuka untuk menerima. Akan lebih baik hilang karena satu suku itu di genosida maka hilanglah budaya itu. Kita semua boleh menyimpulkan benar salahnya, entah apa yang kini terjadi adalah hal yang baik dan sudah benar atau sebuah malapetaka. Belum terlambat untuk mengenalkan, atau kembali meneruskan kata-kata lembut orang-orang yang telah mengenalkan kita pada budaya.

Walaupun orang Jakarta bukanlah hal yang salah untuk menarikan tarian sunda. Tersenyumlah pada siapapun agar kita semua mengingat kita adalah saudara. Negeri ku akan hilang, jika warna nya tercerai berai, negeri ku butuh warna merah, biru, putih, hitam dan lainnya.

 

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.