Menurut catatan komnas perempuan pada tahun 2016, Indonesia memiliki 2399 kasus pemerkosaan dan terus meningkat sepanjang tahunnya. 66% diantaranya terjadi sebelum usia 18 tahun. Fakta lain yang tidak kalah menyedihkan, dari ribuan kasus tersebut hanya 1% yang benar-benar diusut dan diselesaikan hingga TUNTAS. Adakah Tuan mengerti dengan kata tuntas?
Seseorang yang melakukan tindak kekerasan seksual kemungkinan besar dahulunya adalah korban yang tidak mendapatkan perlindungan dan perlakuan yang tepat untuk mengatasi traumanya. Korban bermetamorfosis menjadi pelaku kekerasan seksual, dan begitulah siklus lingkaran setan ini terus berlanjut.
Pelaku memakan korban, korban menjadi pelaku dan begitu seterusnya. Dalam kasus pemerkosaan, tidak hanya korban yang membutuhkan penyelesaian masalah, dukungan dan terapi, tetapi juga pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku, dan saksi kejadian agar dikemudian hari tidak lagi terjadi kasus dan siklus yang sama.
Dukungan yang diberikan kepada keluarga korban agar keluarga mampu merangkul korban dan memberikan dukungan secara moril dan materil agar korban mampu menghadapi lingkungan sosial sehingga baik korban maupun keluarganya tidak mengalami tekanan psikologis lebih lanjut.
Dukungan untuk keluarga pelaku diberikan agar tidak mengucilkan dan dikucilkan serta keluarga mampu mendampingi pelaku hingga sembuh. Terakhir adalah dukungan untuk saksi berupa perlindungan sebagai saksi dan treatment sehingga suatu hari saksi tidak melakukan hal yang disaksikan ataupun mengalami trauma terhadap kasus yang disaksikan.
Maka, tidak hanya persoalan korban yang dituntaskan tetapi juga pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku, dan saksi kejadian dimana hal ini tidak dibahas dalam UU Perlindungan Anak, yakni UU No.35 Tahun 2014 atas perubahan UU No.23 Tahun 2002. Dalam UU tersebut, hanya membahas tentang pemerkosaan dan pencabulan tanpa membahas definisi pemerkosaan dan pencabulan itu sendiri.
Pemerkosaan yang dimaksud dalam UU perlindungan anak hanya jika terjadi penetrasi pada alat kelamin, jika tidak terjadi penetrasi maka dikatakan pencabulan. Atas rancu-nya definisi ini maka penting untuk mengesahkan RUU penghapusan kekerasan seksual, karena RUU ini membahas bagaimana perlakuan terhadap korban, pelaku, keluarga kedua belah pihak, serta saksi.
Kasus pemerkosaan seksual yang dibahas dalam RUU penghapusan kekeran seksual tidak sesederhana UU perlindungan anak yang hanya sebatas pemerkosaan dan pencabulan. Tidak pula sesederhana kata perkosa yang kalau diuraikan hanya tiga suku kata, masalah ini jauh lebih kompleks, ada pemicu pendahuluan dan pembelajaran sebelum kejadiannya. Pemerkosaan hanyalah bagian menuju puncak dari sebuah kekerasan seksual. Loh, kok bukan puncak? Ya bukan, puncaknya adalah depresi, gangguan mental yang lebih parah, dan kematian.
Kasus-kasus pemerkosaan brutal yang pernah terjadi di Indonesia membuat kita berfikir bahwa “Seperti inikah generasi bangsa ini ?”. Kasus pemerkosaan YN di Rejang Lebong, Bengkulu pada April 2016 dilakukan oleh 14 orang pemuda, 7 diantaranya berusia dibawah 18 tahun dan 2 diantaranya masih pelajar SMP. YN meregang nyawa saat diperkosa bergilir. Kasus tidak kalah gila, pemerkosaan EP (19 tahun) oleh tiga orang laki-laki dengan inisiator pemerkosaan adalah anak bau kencur yang masih SMP.
Setelah diperkosa, EP dibunuh dengan cara pelaku memasukkan gagang cangkul ke dalam kemaluan EP hingga menembus paru-paru. Kasus berikutnya, pemerkosaan EN yang belum berusia 17 tahun di gunung putri, kabupaten Bogor yang berujung kematian karena depresi setelah diperkosa bergilir oleh dua remaja yang masih SMP, satu remaja SMA dan empat orang pria berusia diatas 20 tahun.
Dalam setiap kasus di atas, tersangka dijerat pasal 81 dan 82 UU No. 35 tahun 2014 atas perubahan UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun. Sadarkah Tuan, bahwa meskipun ancaman penjara hingga 20 tahun permasalahan ini tidak lantas selesai karena tidak diselesaikan pokok permasalahannya.
Tingginya angka kasus pemerkosaan dan pencabulan yang dilakukan oleh anak di bawah umur yang memakan korbannya yang juga anak di bawah umur tidak lepas dari efek pornografi. Candu akan pornografi menyebabkan kerusakan otak depan atau prefrontal cortex akibat banjirnya dopamin. Banjir dopamin pada otak membuat anak tidak mampu lagi menggunakan bagian otak yang membedakan manusia dengan binatang ini.
Pornografi bahkan dapat merusak kejiwaan seseorang. Kejiwaan terganggu karena terganggunya kinerja hormon yang terkena dampak candu pornografi. Kerja hormon yang terganggu antara lain, dopamin, neuroepinefrin, serotonin, dan oksitosin.
Hormon dopamin menimbulkan sensasi kenikmatan dan menimbulkan efek candu. Neuroepinefrin memunculkan ide-ide kreatif yang memicu timbulnya pemikiran untuk melakukan pemerkosaan.
Selain korban itu sendiri, pelaku adalah korban, korban dari keadaan, lingkungan, dan media informasi. Baik keluarga korban dan keluarga pelaku juga adalah korban. Bahkan saksi berkemungkinan untuk menjadi pelaku dan korban.
Bayangkan sepuluh hingga duapuluh tahun yang akan datang ketika orang-orang ini belum sembuh, kemudian berada pada situasi yang memungkinkan untuk melakukan kejadian serupa, atau pada situasi terancam menjadi korban sekali lagi tanpa mampu melawan trauma healing yang belum tuntas.
Bayangkan sepuluh hingga dua puluh tahun yang akan datang ketika mereka memegang jabatan-jabatan strategis memiliki peluang untuk melakukan pembalasan dendam karena pernah menjadi korban atau dulunya pernah menjadi keluarga korban hingga kemudian menjadi pelaku dengan memanfaatkan jabatan, posisi, situasi dan lingkungan.
Keseluruhan aspek ini memerlukan perlindungan dan dukungan di bawah payung hukum yang jelas yang kesemuanya tidak didapati dalam hukum Indonesia hari ini. Sangat penting untuk mengesahkan RUU ini agar semua aspek terselesaikan dan setiap orang sembuh secara fisik maupun psikis sehingga di kemudian hari tidak berpeluang menjadi korban apalagi sampai menjadi pelaku.
Dengan ditetapkan RUU ini maka payung hukum untuk mengehentikan siklus korban menjadi pelaku, keluarga menjadi korban dan pelaku, saksi menjadi korban dan pelaku dapat diputus dengan trauma healing secara tuntas dan ada follow up di kemudian hari, tidak hanya sebatas penjara 20 tahun setelah bebas lakukan lagi.
Akan seperti apakah Indonesia? Ketika kekerasan seksual hanya dipandang sebatas persetubuhan tanpa persetujuan, maka anak-anak tidak lagi dlindungi dengan payung hukum yang jelas atas kejadian yang kurang dari itu. Padahal tanpa sadar, mereka telah hancur dan mengidap penyakit menahun yang suatu waktu bisa meledak.