Perjalanan panjang bangsa Indonesia untuk menjadi suatu negara yang berdaulat seperti saat ini tidak terpisahkan dari peran perempuan. Cut Nyak Dien, Nyi Ageng Serang dan Martha Christina Tiahahu, mereka adalah sedikit contoh dari banyak pahlawan perempuan yang tidak gentar untuk mengangkat senjata demi kemerdekaan tanah air tercinta.
Di era serba modern ini, perempuan memiliki kesempatan yang lebih luas untuk berpendapat serta mengambil tindakan. Belenggu perspektif masyarakat yang menganut sistem patriarki perlahan mulai melonggar. Perempuan bisa terjun langsung dalam pemerintahan untuk berkontribusi secara nyata demi kelangsungan negara.
Perempuan dianggap sebagai unsur penting dalam pemerintahan yang berorientasi pada masa depan negara yang lebih baik. Ini menandakan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan semakin dijunjung tinggi, membuat perempuan semakin dimanusiakan.
Tetapi, apakah kesetaraan hak cukup menjamin perempuan benar-benar diperlakukan secara layak? Apakah kesetaraan hak sudah cukup menjamin perempuan terlindung dari kekerasan?
Sangat disayangkan karena faktanya justru berkata lain. Ketika negara telah menjamin hak perlindungan bagi setiap warga negaranya, justru tidak sedikit ancaman masih berseliweran. Perempuan masih sering menjadi sasaran dari
tindak kekerasan. Tindak kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk ancaman serius yang tengah marak belakangan ini.
Semakin hari semakin banyak tindak kekerasan seksual yang terjadi. Menurut data Komnas Perempuan RI, terdapat sekitar 321.752 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan pada tahun 2015. Jumlah ini menurun pada tahun selanjutnya menjadi 259.150 kasus. Namun pada 2017 jumlah ini melonjak menjadi 348.446
kasus. Pemerkosaan, pelecehan verbal, dan pencabulan menjadi jenis kekerasan seksual menyumbangkan angka kasus terbanyak.
Kasus sebanyak itu memberi sinyal bahwa Indonesia dalam keadaan darurat kekerasan seksual. Tahun 2014 silam, kasus kekerasan seksual menimpa Baiq Nuril, staf honorer
SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Timur yang dilecehkan oleh atasannya. Sebagai korban yang seharusnya dilindungi, Baiq Nuril justru dijerat UU ITE terkait penyebaran konten elektronik dengan hukuman enam bulan penjara dan denda senilai 500 juta rupiah karena beredarnya rekaman perkataan pelaku yang bernada melecehkan. Padahal rekaman tersebut dimaksudkan sebagai alat bukti dalam upayanya untuk melindungi diri.
Di tahun yang sama, kasus kekerasan seksual juga dialami YF (33 tahun) di halte Transjakarta. Ia mendapat perlakuan bejat dari empat petugas Transjakarta di dalam ruang genset. Keempat pelaku yang berhasil ditangkap dijerat pasal 281 KUHP dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara. Namun sebagai korban, YF merasa putusan tersebut tidak adil lantaran tidak sebanding dengan trauma yang dialaminya. Apalagi penyelidikan kasusnya kerap membuatnya merasa tidak nyaman.
Di Jambi, kasus kekerasan menimpa anak perempuan berinisial WA. WA divonis hukuman enam bulan penjara karena mengugurkan kandungan yang merupakan hasil perkosaan kakaknya sendiri. Selang beberapa waktu, WA diputus bebas dari penjara setelah hasil penyelidikan lebih lanjut menyatakan adanya unsur paksaan saat WA melakukan perbuatannya. Kasus ini menggambarkan betapa mirisnya tindak kekerasan seksual yang terjadi di negara ini karena pelaku kekerasan bisa berasal dari keluarga.
Kasus-kasus tersebut mencerminkan kelemahan hukum di Indonesia. Masih banyak korban kekerasan seksual yang memilih untuk bungkam dengan beragam penyebab. Salah satunya, kurangnya pemahaman aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual karena belum menganggap kasus semacam ini sebagai prioritas. Cara penyidikan yang masih kurang tepat malah membuat korban semakin terintimidasi.
Selain itu, putusan pengadilan yang dinilai tidak adil atau bahkan yang lebih buruk korban dikriminalisasi memunculkan anggapan negatif bahwa membawa kasus ke ranah hukum hanya akan menambah beban korban. Belum lagi korban harus menghadapi tekanan sosial dari masyarakat bahkan yang menganggap kasus tersebut sebagai aib.
Tak jarang korban bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Di sisi lain, pelaku tentunya merasa leluasa untuk terus melakukan tindak kekerasan seksual karena masih belum adanya ancaman hukum yang tegas. Jika semakin dibiarkan tentu akan berpotensi meningkatkan angka kekerasan seksual di negara ini. Problematika tindak kekerasan seksual di Indonesia perlu mendapat perhatian khusus sekaligus penangan serius.
Secara hukum, pemerintah telah mengambil langkah melalui penyusunan Rancangan Undan-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU ini telah masuk dalam prolegnas 2018 setelah diusulkan sejak 2015 oleh Komnas Perempuan RI. Namun setelah hampir 2 tahun mengendap di DPR, pembahasannya masih berkutat pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Sementara jika sampai akhir periode kepengurusannya DPR tidak juga mengesahkan RUU tersebut, maka proses RUU ini harus dimulai lagi dari nol pada periode kepengurusan DPR yang baru yang akan membutuhkan proses yang sangat panjang. Hal ini menuai keresahan tersendiri bagi masyarakat yang sangat mengaharapkan pengesahan RUU ini.
Salah satu penyebab pembahasan RUU ini terkesan hanya berjalan di tempat karena selama ini peraturan yang mengatur kekerasan seksual hanya berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Peraturan tersebut tertuang dalam Pasal 281 sampai dengan pasal 303 dan hanya sebatas mengatur perkosaan dan pencabulan. Kedua tindak pidana tersebut juga diletakan dalam bab kejahatan terhadap kesusilaan yang lebih mengacu pada rasa susila masyarakat dibanding hakikat kekerasan seksual itu sendiri. Ini berarti bukan korban yang menjadi fokus utama dalam memberikan penanganan.
Selain itu, pendefinisian dalam KUHP tidak terlalu jelas sehingga hukum ini dianggap belum mampu menjawab berbagai permasalahan kekerasan seksual yang terjadi selama ini. Orang-orang yang melakukan pemerkosaan seringkali dituntut dengan kejahatan pencabulan dan hal ini tentunya sangat fatal. Di tambah lagi, aturan-aturan yang diterapkan selama ini tidak memberikan jaminan perlindungan dan pemulihan kepada korban kekerasan seksual.
Adapun RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengatur sembilan jenis kekerasan seksual seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual. Tiap jenis kejahatan seksual dibuat terinci dengan definisi sehingga hakim bisa langsung menjatuhkan vonis bagi pelaku. RUU ini juga mengatur hak-hak korban kekerasan untuk mendapatkan perlindungan dan rehabilitasi.
Karena itu, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus segera disahkan melihat kepentingan berbagai pihak, terutama korban. Melalui RUU ini, para korban kekerasan seksual mendapat cahaya harapan yang baru akan perlindungan, keadilan, serta pemulihan. RUU ini menjadi solusi untuk mencegah berbagai tindak kekerasan seksual sehingga dapat menekan tingginya angka kasus kekerasan di negara ini. Selain itu, disahkannya RUU ini dapat mendorong para penegak hukum menangani kasus dengan cara berbeda dari sebelumnya sekaligus menjerat pelaku kekerasan dengan hukuman secara adil.
Penengakan hukum melalui berlakunya RUU Pengapusan Kekerasan Seksual sangat diharapkan dapat mengatasi berbagai kekerasan seksual yang marak terjadi belakangan ini sehingga lebih banyak puteri bangsa yang dapat mengukir masa depan gemilang demi kemajuan bangsa Indonesia.