Perempuan lemah dan tersiksa itu dianggap biasa. Sedangkan perempuan sebagai pelaku pembunuhan, tersangka penindasan, atau pelaku kekerasan adalah luar biasa. Bahkan ada yang menyebut wanita kurang waras, wanita “gila”.
Persoalan ranjang pun bisa jadi konsumsi publik yang dibeberkan begitu lantang untuk melegalkan tindakan kekerasan, tindakan pelecehan. Persetubuhan tak memuaskan lelaki dijadikan pembenaran untuk melakukan hal-hal, termasuk eksploitasi diri perempuan itu sendiri.
Adakah laki-laki ketakutan ketika berjalan seorang diri dalam hening malam? Adakah lelaki tak mau tahu lagi tentang isi selangkangan perempuan? Bisakah wanita merdeka untuk bicara apapun tentang tubuhnya, memamerkan tubuhnya tanpa embel-embel hasrat yang ditakuti akan langsung “menegangkan”?
Persoalan wanita dan pakaiannya kerap dijadikan sebab. Kemudian korban pelecehan seksual atau pemerkosaan melulu yang disalahkan adalah tentang pakaiannya. Lalu, beramai-ramai orang berkomentar “Masa gadis baik-baik pulang dini hari” “Gimana ga nafsu penjahat lihat paha bertebaran begitu?” dan gunjingan-gunjingan lain yang melulu menyalahkan perempuan. Bahkan perempuan sendiri tak berpihak pada korban pelecehan atau pemerkosaan yang masih kaumnya. Mereka meyakini jika lelaki hanya akan datang ketika diundang. Salah satunya, diundang lewat yang berbau “seksi” dan kesengajaan terbuka itu.
Kita hampir gila memerangi ini. Indonesia dengan jumlah pelecehan, kekerasan pada perempuannya yang lebih tak pernah cukup untuk membungkam aksi kekerasan dalam bentuk apapun terhadap perempuan. Belum lagi, perempuan-perempuan lainnya membully kaumnya dengan terbuka dan sadar. Sekali lagi, kita hampir gila. Untuk itulah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi penting, tidak bisa ditunda lagi.
Saat berkendara, naik angkot, mengantri, tubuh perempuan menjadi hal lain yang nikmat sebagai pelampiasan. Sebegitu menawankah tentang punggung, bokong, pinggang, atau aroma rambut wanita, hingga lelaki mesti melakukan niat bejatnya saat itu juga?
Sebegitu peliknya soal kekerasan itu, namun Indonesia kurang garang menuntaskannya. Begitu ada korban, peraturan, kebijakan, dan tulisan media ramai-ramai membahasnya agar terlihat paling mahir.
Ketika saya menulis ini, seorang istri di Bali masih kesakitan karena kakinya ditebas dengan parang hingga putus oleh suaminya sendiri. Kejadian bulan September tahun 2017 itu memang berlalu, namun batin perempuan itu belum mampu memaafkan. Alasannya, hanya karena cemburu dan kurang puas di ranjang, lalu sang suami bisa melakukan apapun.
Seorang perempuan yang berpikir bahwa keadaan mati akan lebih baik ini tetap dipaksa hidup untuk “mengingatkan” setiap perempuan bahwa orang yang paling dicintainya bisa saja paling menyakiti juga. Putu Kariani pernah pulang dengan kepala benjol berisi cairan dan akhirnya harus dioperasi, contoh lain tubuh disundut rokok, memar-memar, itu terjadi bertahun-tahun. Kariani masih mengigau bagaimana golok tajam itu membelah kaki-kakinya hingga terputus dari tubuhnya. Ia memungut lagi air matanya. Sebanyak apapun air mata itu tak akan mampu mengembalikan kaki-kaki yang dulunya kuat bahkan alat mencukupi hidup Kariani dan keluarga.
Ada lagi kasus yang amat memilukan. Perempuan, lebih tepatnya seorang remaja perempuan, 14 tahun diperkosa bergilir oleh 14 laki-laki. Sungguh hukum apa yang paling pantas untuk menjerakan pelaku? Satu laki-laki saja bisa meninggalkan trauma seumur hidup. Bagaimana dengan 14? Ini teramat kejam. Seorang anak yang pulang dengan pakaian tertutupnya, bau tubuhnya pun masih bocah, harus meregang nyawa sebagai korban perkosaan dan pelecahan seksual.
Baru-baru ini, dua kasus kekerasan seksual menarik perhatian publik. Kasus pertama adalah dugaan pemerkosaan terhadap mahasiswi Universitas Gadjah Mada oleh rekannya sendiri. Sedangkan kasus lainnya adalah dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum kepala sekolah terhadap seorang guru honorer di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Para korban ini malah menerima perundungan dan tuduhan yang tak berkeadilan. Mereka mau bicara soal pelecehan yang dialami yang melibatkan kekuasaan, kekuatan, dan tekanan. Namun, apa yang didapat? Seolah korban pelecehan seksual ini adalah wanita “binal” yang tak patut dibela.
Kasus perkosaan di UGM menjadi perhatian publik setelah lembaga pers mahasiswa Balairung mengangkat laporan tentang kejadian yang menimpa Agni (bukan nama sebenarnya). Agni melaporkan telah dilecehkan secara seksual oleh teman satu programnya, HS, saat melakukan Kuliah kerja Nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku.
Balairung mewawancarai Agni dan menuliskan tanggapan pihak kampus atas laporan Agni. Menindaklanjuti laporan perkosaan yang disampaikan Agni, UGM langsung memberhentikan tersangka dari program KKN, sedangkan Agni tetap diperbolehkan melanjutkan programnya hingga selesai. Namun setelah KKN berakhir, Agni ternyata hanya memperoleh nilai C sementara teman-teman satu kelompoknya memperoleh nilai yang lebih tinggi.
Ketika mempertanyakan nilainya yang rendah, salah seorang pengelola KKN justru menyalahkan Agni karena bertindak ceroboh. Ia menilai peristiwa perkosaan itu telah membuat malu nama UGM di depan warga.
Dalam pertemuan lanjutan dengan universitas, seorang pejabat kampus justru membenarkan tindakan dosen pembimbing lapangan (DPL) yang memberi nilai C.
“Seandainya kamu tidak menginap di sana, peristiwa itu tidak akan terjadi”, tuturnya.
“Jangan menyebut dia (Agni) korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi ikan asin pasti setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan,” seorang dosen lain memberikan pernyataan kontroversial.
Sementara itu di Lombok, seorang guru perempuan bernama Baiq Nuril yang merekam percakapan asusila yang dilakukan seorang kepala sekolah terhadap dirinya sebagai bukti untuk membela diri justru dihukum 6 bulan penjara dan didenda Rp500 juta. Ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena dianggap melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam menyebarkan dokumen elektronik dengan muatan asusila.
Budaya menyalahkan korban pelecehan begitu lazim ditemui. Mereka bahkan dapat dikriminalisasi karena melaporkan pemerkosaan tersebut. Victim blaming adalah suatu bentuk sikap menyalahkan perempuan atas kekerasan seksual yang mereka alami. Gejala ini ditandai dengan kecenderungan memihak para pelaku. Masyarakat juga lebih banyak mendengarkan cerita versi pelaku.
Ketika menyalahkan korban, masyarakat terbiasa menuduh perempuan ikut bertanggung jawab atas kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya. Misalnya mereka bilang kasus itu bisa terjadi karena perempuannya mengenakan rok pendek, keluar malam sendirian, dan lain-lain. Mereka juga cenderung memberikan toleransi pada pelaku sehingga memungkinkan mereka untuk lepas dari hukuman.
Sikap menyalahkan korban dalam masyarakat patriaki telah membuat para penyintas kekerasan seksual mengalami penderitaan ganda: diperkosa dan disalahkan. Ini akan menyebabkan para penyintas tidak merasa aman dalam membagikan cerita mereka kepada orang lain.fenomena victim blaming ini harus dihentikan supaya tidak lantas menjadi budaya akut yang ikut menyuburkan apalagi membenarkan pelecehan seksual pada perempuan.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Amat Sangat Penting
Mengapa Indonesia perlu UU Penghapusan Kekerasan Seksual?
Data yang dihimpun mitra Komnas Perempuan di lima wilayah, yakni Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh dan Sulawesi menemukan fakta 80% korban kekerasan seksual memilih jalur hukum. Sementara 50% diselesaikan melalui mediasi, karena dinikahkan dengan pelaku, tidak cukup bukti ataupun korban kelelahan berhadapan dengan hukum, dan 40% korban terhenti di kepolisian. Sehingga kasus kekerasan seksual yang dapat diproses hingga persidangan hanya mencapai 10%.
Dampak kekerasan seksual jauh melebihi dampak fisik dan psikologis, termasuk juga seksual (rusaknya organ seksual, tidak berfungsinya organ seksual), relasi sosial (pengucilan, stigmatisasi, berkurangnya kesejahteraan sosial), pendidikan (dilarang mengikuti ujian, dikeluarkan dari seklah, diminta mengundurkan diri), dan ekonomi (kehilangan akses terhadap pekerjaan akibat stigma dan kerusakan psikis).
Kekhususan dari UU Penghapusan Kekerasan Seksual meliputi keharusan pemulihan korban, keharusan adanya restitusi, keharusan rehabilitasi pelaku sebagai bagian dari pemidanaan, dan keharusan adanya acara peradilan pidana kekerasan seksual. Jika disahkan, UU ini akan melindungi setiap orang, terutama perempuan, anak-anak dan kelompok rentan lainnya.
Prinsip penghukuman dalam semangat RUU PKS juga bersifat mendidik, menjerakan, manusiawi dan tidak merendahkan martabat, juga pada prinsip memenuhi rasa keadilan korban dan cegah keberulangan. Sementara bentuk pidana ditekankan memiliki gradasi dari setiap bentuk kekerasan seksual, meliputi pemasyarakatan, rehabilitasi pelaku, dan restitusi terhadap korban. Setidaknya kebijakan ini bersifat pencegahan dan apabila terlanjur terjadi, dapat membuat pelaku jera sejeranya serta korban pelecehan dan kekerasan seksual, berapapun umurnya, tetap mendapat keadilan, bebas perundungan, dan dilindungi kejujurannya.