Beberapa hari yang lalu, saya membaca pengumuman pembukaan volunteer untuk acara tahunan Woman March untuk tahun 2019. Cepat, saya langsung merasa sangat excited dan menggebu-gebu ingin ikut mendaftar.
Namun, ada perasaan janggal yang juga perlahan hadir. Haruskah aksi pemrotesan terhadap ketidakadilan terhadap manusia lain ini disikapi dengan cara demikian. Saya kemudian merasa ada yang salah dengan sikap bersemangat saya barusan.
Ohh tenang dulu kawan, Saya bukannya bosan atau jengah dengan aksi ini, justru seperti yg saya sampaikan tadi, Saya sangat bersemangat! Tentu saja baik apabila setiap orang mau bersuara atas ketidakadilan yang terjadi di lingkungan hidup mereka, tapi bukankah orang yang sedang memprotes sesuatu ingin juga berhenti? Bukan karena lelah dan merasa perjuangannya kalah, tapi sesederhana karena sudah tidak ada lagi yang harus diprotes, karena dunia sudah bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Mari kita menilik sejarah aksi Woman March sebentar, dilansir dari laman gogirl.id pada tahun 1977 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meresmikan International Womens’s Day sebagai hari yang diperuntukkan bagi setiap perempuan di seluruh dunia untuk bisa memperjuangkan hak-hak mereka serta melawan ketidakadilan.
Aksi protes yang dimulai dari kawsan di California ini awalnya berupa presentasi dari sekolah ke sekolah dengan membawa pesan yang isinya tidak terlalu berbeda dengan pesan-pesan yang sampai kini masih terus diperjuangkan (mengenai HAM dan kesetaraan gender). Ya, pesan dan protes yang dilakukan sejak tahun 1978 (perayaan awal yang kemudian disebut National Women’s History) sampai sekarang masih sama.
Apakah hal ini terdengan mengagumkan, atau malah miris? Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Bisa dilihat sebagai suatu hal yang mengagumkan mengingat begitu konsistennya para penggerak dan aktivis ini menyerukan protes atas ketidakadilan yang berlangsung. Namun dalam waktu yang bersamaan, tentu perasaan miris juga tak mampu dihalau karena ini juga artinya ada suara yang tidak didengar, ada perjuangan yang tidak digubris, ada gender yang-mungkin-tidak akan pernah dianggap sejajar dengan gender yang lain.
Jadi, mari kita supervisi bersama. Sudah sejauh manakah jalan yang selama ini diperjuangkan? Kapan Kita akan menapaki garis finish? Sebenarnya apa hal paling krusial yang dibutuhkan untuk bisa mengakomodir suara-suara ini?
Saya kira, dari sini lah lakon landasan hukum bisa mengambil alih nahkoda, menarik pelatuk lebih kuat dari sekadar aktivis dengan poster dan pengeras suara yang nyatanya tak mampu membuka mata dunia, tak kuasa menarik telinga pemangku hukum, untuk mau meruncingkan mata lebih tajam bagi kasus kekerasan seksual pada perempuan.
Kalau Anda masih ragu bahkan tidak percaya, mari bersama-sama kita membuka sejarah kelam kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, tetapi tak pernah mendapat keadilan. Pelan-pelan saja, saya tahu luka lama ini teramat menyakitkan.
Nama yang ia pilih terdengar lucu, Tata Chubby. Namun sayangnya, tidak dengan kisah hidup yang harus ia jalani. Sebagai Pekerja Seks Komersial, tentu Tata (bukan nama sebenarnya) tidak pernah merelakan tubunhnya untuk dibunuh. Namun bagi Prio (pelaku pembuhunan Tata), hak hidup seorang PSK tak begitu bernilai sehingga dia bebas membunuhnya setelah sebelumnya memakai jasa Tata.
Prio ditangkap, sayang sekali, terdakwa Muhammad Prio Santoso (25) hanya divonis 16 tahun penjara, 2 tahun lebih ringan dari tuntutan jaksa. Geger kasus pembunuhan terhadap PSK ini menuai beragam ekspresi. Saya termasuk yang sedih, karena masyarakat tidak semua paham bahwa PSK pun juga rentan mengalami tindak perkosaan.
Kalau Anda berpikir tindak kekerasan seksual pada perempuan dianggap wajar terjadi di lingkungan pekerja seks komersial saja, dan itu menjadi konsekuensi PSK atas profesi yang ia pilih, maka saya menyarankan untuk menarik napas lebih dalam, kemudian mari kita baca paragraf berikut.
Walaupun sudah sepi gaungnya, kita semua tentu tidak akan pernah lupa cerita mengenai seorang anak berusia 14 tahun yang dilaporkan hilang kemudian dalam 3 hari ditemukan tidak bernyawa. Kelak, diketahui bahwa belia ini telah diperkosa ramai-ramai sebelum akhirnya dibunuh oleh setidaknya 14 laki-laki bajingan. Sebagai informasi, hanya 1 dari 14 laki-laki ini yang dijatuhi hukuman mati, bahkan diantaranya masih menjadi buron dan belum ditemukan. Ya, kita mengenal gadis SMP ini melalui tagar #SayaBersamaYuyun.
Rupanya memerkosa perempuan bukanlah hal yang begitu jahat, sehingga bagi Rahmat Arifin (24) dan Imam Hapriyadi (24), Enno harus diperkosa dengan gagang pacul. Kasus ini mungkin menjadi salah satu mimpi buruk paling mencekam bagi perempuan di tahun 2017, sekaligus menjadi warning besar-besaran begitu tidak manusiawinya perempuan Indonesia pernah diperlakukan.
Oleh warga negaranya sendiri. Seorang mahasiswi berumur 19 tahun diperkosa sampai seluruh gagang pacul menancap pada kemaluannya. Tentu saja, hingga meregang nyawa. Sayang sekali, lagi-lagi, penderitaan luar biasa yang dijalani Enno hingga akhir usianya belum mampu menggugah para pemangku hukum untuk melihat kasus kekerasan seksual pada perempuan sebagai sesuatu yang perlu mendapat perhatian nyata.
Ohh mungkin kasus-kasus ini terjadi di luar jangkauan para intelek, jauh dari gapaian tangan ornag melek hukum, atau terjadi di dalam lingkup masyarakat yang kurang terdidik. Ohh, sebentar dulu sahabat. Kalau Anda merasa agak pusing setelah membaca paragraf di atas, Anda boleh mengambil jeda untuk minum air putih terlebih dahulu.
Sebagai sebuah perguruan tinggi negeri terbaik di Indonesia (menurut kemenristekdikti yang dilansir dari tirto) dan terpandang hingga ke ranah internasional nyatanya tak lantas membuat Universitas Gadjah Mada memiliki akal sehat yang cukup dalam melihat kasus kekesaran seksual pada perempuan.
Agni (bukan nama sebenarnya) seorang mahasiswi UGM belum lama ini mengalami tindak pemerkosaan oleh teman satu kelompok saat Kuliah Kerja Nyata. UGM memang sangat cerdas, termasuk dalam menutupi kasus ini alih-alih menyelesaikannya adengan tegas dan berkelas. Berlindung di balik pemeliharaan nama baik, UGM beserta karyawan-karyawan yang tentu saja nyangoni titel-titel intelektual mulai dari S1 hingga S3 sangat andal dalam mencurangi Agni. Sehingga, pelaku perkosaan Agni bisa dengan leluasa melanjutkan pendidikan, dan siap menyandang gelar S1 dari universitas terbaik di Indonesia.
Tentu saja kasus-kasus yang saya jabarkan di atas tak ada seujung kuku dari keseluruhan kasus kekerasan seksual pada perempuan yang terus-menerus terjadi dan terabaikan. Saya-sekali lagi-sungguh tidak pernah merasa lelah berdemonstrasi demi terus menyerukan penghapusan kekerasan seksual pada perempuan. Namun pertanyaannya, benar itukah yang dibuthkan agar kekerasan seksual pada perempuan musnah???
Korban kekerasan seksual tak hanya butuh hastag dan demo yang juga tak menghasilkan apa-apa selain bahan berita media untuk menaikkan nama. Kami butuh landasan hukum yang jelas.
Korban kekerasan seksual tak lagi punya waktu untuk berdebat dengan ibu-ibu salah mentor sembahyang untuk meluruskan apakah mereka adalah korban atau berkontribusi sebagai pelaku. Kami butuh landasan hukum yang jelas.
Korban kekerasan seksual sudah tak lagi punya tenaga untuk menjelaskan pada pakar-pakar seksual yang hanya belajar dari video bokep mengapa perempuan korban pemerkosaan bisa orgasme kalau diperkosa.
Kami butuh landasan hukum yang jelas.
Korban kekerasan seksual sudah sangat muak dengan pertanyaan apakah celana dalam mereka basah atau tidak saat pelecehan terjadi pelecehan, baju apa yang digunakan saat terjadi pelecehan, mengapa tidak melawan saat terjadi pelecehan, dan semua pertanyaan yang tidak hanya terdengar sangat jahat tapi juga bodoh sekali.
Yang kami butuhkan adalah lndasan hukum yang jelas.
Jadi, mari tanyakan lagi dari lubuk hati kita yang paling dalam, seberapa pentingkah rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual ini untuk segera disahkan? Baru saja saya mendapat kabar bahwa saya lolos seleksi dan dimasukkan grup Whatsapp Volunteer Women’s March 2019. So, sampai jumpa di Women’s March Yogyakarta 2019!