Di bawah teriknya sinar matahari, gelombang hitam warna payung bergerak bersama kibaran bendera warna-warni beriringan teratur dari Sarinah kearah Monas. Derap langkah ribuan pasang kaki bersama terhenti di Taman Aspirasi. Di depan “wajah” pemerintah Indonesia, sautan orasi dan tuntutan mereka layangkan—berharap didengar telinga penguasa. Masa aksi menutut untuk segera disahkannya Rancangan Undang – Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Beda jalanan Medan Merdeka dengan gedung Senayan. Lima hari sebelumnya, 3 Desember 2018, Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat hanya dihadiri 151 orang, sedang 409 lain berhalangan hadir. Apa yang oleh dituntut masa aksi lima hari setelahnya, boleh jadi tidak begitu bertaut dengan kepentingan pada yang diperharapkan. Rancangan Undang – Undang (RUU) yang dihasilkan DPR tiap tahunnya tidak pernah lebih dari sepuluh (Formappi) dari yang tidak banyak itu tiada satu nya merupakan RUU PKS.
Berlindung di bawah ketiak kekuasaan, kekerasan pada akhirnya ialah suatu yang niscaya datang bagi mereka yang lemah—ia tidak ber-agama, ber-ras, atau ber-gender sekalipun. Bergerak lebih dekat pada ranah seksual dan gender, membahas kekerasan maka berarti berbicara mengenai relasi kekuasaan yang berkawan dengan budaya patriarki. Lewat pendekatan ini, perempuan akan dan selalu (mengutip judul buku Simone de Beauvoir) menjadi the second sex.
Jika menuntut penguasa dalam tubuh otoritas-otoritas negara adalah sebuah rintangan, maka menuntutnya dalam sebuah bingkai kebudayaan yang patriarki boleh jadi menjadi rintangan yang berkali-kali lipat beratnya. Negara yang patriark, juga kapitalis dan rasis melalui kebijakan dan tindakan yang diambil secara struktural dan sistematis cenderung bersifat diskriminatif pada perempuan. Upaya melawan subordinasi perempuan melalui keterwakilan 30% perempuan di parlemen, nyatanya tidak membawa hasil yang signifikan pada kondisi kolektif perempuan bangsa ini.
Narasi gender dan seksual oleh negara, tidak pernah memiliki tempat kecuali ejekan misoginis politisi saling “mem-banci-kan” lawan, atau dalam penanganan kekerasan seksual seperti pemerkosaan, berbalut dengan jubah indah fundementalisme agama, tidak pernah meninggikan korban—sampai datang kasus “luar biasa” yang tidak bisa ditolak negara.
Kasus pemerkosaan yang berujung pembunuhan gadis berusia 14 tahun oleh 14 remaja pada 2016 di Bengkulu menyita perhatian publik—yang memaksa negara untuk sejenak menaruh perhatian. Mendapatkan momentumnya, Komnas Perempuan bersama Forum Pengada Layanan untuk mempublikasikan naskah akademisi RUU PKS yang merupakan jawaban atas kondisi yang oleh Komnas Perempuan dianggap sebagai “Darurat Kekerasan Seksual.”
Sebuah kekhawatiran yang bukan tanpa alasan, dalam laporan bertajuk “Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan 2018” yang dirilis oleh Komnas Perempuan, Kekerasan Terhadap Perempuan pada tahun 2017 sejumlah 348.446 kasus, bertambah 89.296 kasus dari tahun sebelumnya. Bahkan data BPS menunjukkan bahwa 1 dari 3 perempuan berumur 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan.
Kondisi ini seakan menegaskan kembali wajah bengis maskulinitas dalam wajah kekerasan. Coba tanya kepada para pelaku tawuran pelajar, bagi mereka (remaja laki-laki) : kekerasan merupakan sebuah simbol kejantanan—superioritasnya satu tubuh diatas tubuh lain. Relasi kuasa yang berlangsung massif dan mengakar, menenggelamkan dirinya pada sebuah otoritas yang dikenali kepada mereka yang jantan—mereka yang laki-laki.
Apabila kita mencoba untuk melihat dan sedikit merefleksikan sembilan poin apa yang oleh RUU PKS sebagai kekerasan seksual, maka pembacaannya tentu tidak akan berhenti pada tubuh dengan tubuh. Sekalipun kata “seksual” dekat dengan eksistensi tubuh manusia dan ketergantungan yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam proses reproduksi, konstruksi sosial yang ada dalam menciptakan kondisi ini tidaklah sama. Gerda Lerner dengan indah menggambarkan kondisi ini :
“Laki-laki dan perempuan berada pada sebuah panggung. Keduanya tidak bisa bermain tanpa satu sama lain, peran mereka dibagi secara adil dan setara. Namun panggung dibuat dan ditata oleh laki-laki. Naskah ditulis, sandiwara disutradai, dan diinterpretasi oleh laki-laki. Mereka menampilkan diri mereka pada peran yang paling menarik, bagian paling heroik dengan memberikan peran pendukung pada perempuan.”
Apa yang kita lihat hari ini, menegaskan kembali mengenai panggung sang laki-laki yang menyutradarai dan mengatur peran perempuan. Kasus pemerkosaan misalnya, dalam banyak kasus, seorang pemerkosa (yang mayoritas laki-laki) akan merasa bersalah dan mencoba untuk bertanggungjawab pada ayah dari korban; barulah sang ayah yang memutuskan tindak tanduk sang anak. Perempuan, terlebih dalam penanganan kasus kekerasan hanya diberikan bangku untuk para penonton.
Apabila kita secara naif melayangkan harapan pada keluarga sebagai medium penanaman nilai kemanusiaan, maka hal itu tidak sejauh ini tidak pernah menjadi sebuah jawaban. Nyatanya, kedekatan dan interaksi sosial intim yang terdapat pada kekerabatan dan keluarga, malah menjadi “lumbung” bagi tindakan kekerasan.
Dengan dominasi laki-laki dalam melakukan tindak kekerasan dalam sebuah keluarga, akhirnya kita tidak hanya berurusan dengan aktivitas seksual sebagai problem akhir. Keterbatasan pada akses menuju kepemilikan aset yang selama ini merupakan privilise laki-laki, memperparah keterpinggiran perempuan dalam perannya. Hal ini pun tidak jarang dieksploitasi laki-laki melalui pembatasan gerak perempuan dalam ranah publik serta aktivitas domestik rumah tangga maupun aktivitas-aktivitas produksi yang dihitung berdasarkan cost benefit ala laki-laki.
Pada ranah paling privat seperti hubungan seksual sekalipun, perempuan tidak punya hak atas otoritas atas tubuhnya melalui kontrol atas reproduksi dan kontrasepsi. Perempuan, baik tubuh hingga peran nya diobjektifikasi melalui kacamata patriarki.
Setidaknya, dalam usahanya merekonstruksi panggung-nya Lerner, RUU PKS hendak melakukan penataan kembali pada panggung, naskah, penggarapan, hingga pembagian peran khususnya pada tataran gender dan identitas seksual. Hadir sebagai payung hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual, RUU PKS memberikan sebuah rujukan komperhensif dalam upaya “menghapus” fenomena ini. Sebuah usaha optimistis dalam pencegahan pada level akar rumput yang terstruktur; upaya penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban; dan penindakan pada pelaku.
Seakan hendak melawan arus deras hegemoni patriarki yang menghambat pergerakan perempuan dalam menuntut hak-hak nya, kondisi pertarungan politik electoral yang menyandera akal sehat seperti belakangan barangkali adalah sebuah pukulan berat. Perjuangan-perjuangan terorganisir dalam upaya untuk menggerus maskulinitas dan menempatkan perempuan pada peran yang layak perlu tetap merawat optimismenya. Tentu menjatuhkan seluruh harapan kita pada kekuatan negara yang sedang sama-sama “homo homini lupus” adalah tindakan yang sangat-sangat pragmatis.
Adalah kita yang merupakan jawaban. Kekuatan kolektif yang dari para manusia yang memanusiakan manusia lain bisa menjadi sebuah gerakan alternatif arus baru dalam upaya menghapus kekerasan seksual sambil melawan ketidakpedulian negara. Kita punya semboyan yang sama dengan Minke, pahlawan dalam Tetralogi Buru :
“Deposuit Potentes de Sede et Exaltavit Humiles”
“Dia rendahkan mereka yang berkuasa dan mengangkat mereka yang terhina”