Pelecehan atau kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Di tempat umum, tempat kerja, universitas, sekolah, bahkan rumah. Kasus-kasus yang terjadi di Indonesia seolah mengatakan bahwa tidak ada jaminan seseorang terhindar dari kekerasan seksual.
Menurut catatan tahunan yang diluncurkan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 7 Maret 2018, terdapat 5.649 kasus kekerasan seksual yang tercatat. Antara lain, 2.979 kasus kekerasan seksual dalam ranah privat atau personal dan 2.670 kasus kekerasan seksual dalam ranah publik atau komunitas. Hal ini menempatkan Indonesia dalam status darurat kekerasan seksual.
Kekerasan seksual dalam ranah privat atau personal adalah kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. Sedangkan kekerasan seksual dalam ranah publik atau komunitas adalah kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah ataupun perkawinan.
Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal. Mirisnya, banyak kasus kekerasan yang tercatat oleh Komnas Perempuan, diduga kasus-kasus yang tidak dilaporkan bahkan lebih banyak dari angka di atas.
Keadaan darurat kekerasan seksual ini mendorong untuk disegerakannya pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Selain karena banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi, alasan yang mendorong permintaan disegerakannya RUU P-KS ini adalah pemilihan presiden pada April 2019 mendatang.
Pemilihan presiden pada April 2019 kemungkinan membawa perubahan kepada kepengurusan dalam pemerintahan. Sehingga proses pengesahan RUU P-KS kembali akan melalui tahap yang panjang. Meskipun begitu, RUU P-KS ini masih berada di tangan Komisi VIII DPR untuk ditinjau sejak 2016 lalu.
Sejauh ini, tidak ada aturan yang dinilai dapat melindungi korban kekerasan seksual. Peraturan yang selama ini digunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 285 tentang Tindak Asusila. KUHP ini berbunyi, “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya, bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun”.
KUHP pasal 285 dianggap tidak dapat menangani kasus kekerasan seksual. Hal ini disebabkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHP hanya sebatas memaksa bersetubuh kepada perempuan yang bukan istri pelaku. Dengan kata lain, selain apa yang disebutkan di atas, suatu perlakuan tidak dapat dianggap sebagai kekerasan seksual.
Dalam RUU P-KS, dibahas mengenai penanganan kekerasan seksual baik sebelum, saat, maupun setelah kasus tersebut dilaporkan. Meliputi pendamping korban, keluarga, dan saksi, restitusi, pelaporan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, upaya hukum, dan pengawasan putusan. Dengan diaturnya hal-hal di atas, diharapkan kasus kekerasan seksual mendapat penanganan yang sesuai.
Selain mengatur hukum terhadap pelaku, RUU P-KS juga mengatur mengenai korban kekerasan seksual. Meliputi hak korban, hak atas penanganan, hak atas perlindungan, hak atas pemulihan, hak keluarga korban, hak saksi, ahli, lembaga pengada layanan, koordinasi penyelenggaraan penanganan, perlindungan dan pemulihan. Sehingga korban terlindungi dari keadaan yang dapat mengkriminalkan dirinya sendiri.
Kasus yang menimpa mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan mantan guru honorer SMAN 7 Mataram seakan menjadi bukti nyata atas kekurangan hukum Indonesia menangani kasus kekerasan seksual. Bukannya mendapat perlindungan dan pelaku kekerasan seksual mendapat penanganan yang diharapkan, korban justru dijatuhi hukuman. Hal ini seolah memberikan perlindungan hukum kepada pelaku sehingga memotivasi orang lain untuk melakukan tindakan kekerasan seksual.
Mahasiswi UGM, Agni (bukan nama sebenarnya), membutuhkan waktu satu tahun untuk berani melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpanya. Secara logika, Agni memberanikan diri untuk melapor agar mendapatkan keadilan. Namun, salah satu pejabat rektorat UGM malah menganalogikan kasus Agni sebagai kucing yang diberi ikan asin.
Analogi kucing yang diberi ikan asin seolah menegaskan bahwa Agni memberi kesempatan kepada pelaku untuk melakukan kekerasan seksual kepadanya. Logika yang berjalan adalah, tidak ada kucing yang tidak suka diberi ikan asin. Kemudian, Agni sebagai ikan asin dalam analogi tersebut dengan suka rela menawarkan dirinya untuk dimakan kucing.
Di sisi lain, mantan guru honorer SMAN 7 Mataram, Baiq Nuril, juga tidak berani melaporkan kekerasan seksual yang menimpanya. Ia mengaku takut pekerjaannya sebagai guru honorer terancam berakhir jika ia melapor karena pelaku merupakan kepala SMAN 7 Mataram. Selain itu, kekerasan seksual yang diterima Baiq merupakan kekerasan seksual secara verbal yang dilakukan via telepon. Sebagai bukti, Baiq pun mulai merekam pembicaraannya dengan kepala SMAN 7 Mataram tersebut. Meskipun begitu, Baiq masih tidak berani untuk melapor.
Kasus Baiq mau tidak mau diketahui publik dan akhirnya memasuki ranah hukum. Hal ini disebabkan rekan kerjanya yang mendengar kisah Baiq merasa geram. Ia menyebarkan rekaman yang dimiliki Baiq kepada guru SMAN 7 Mataram lainnya.
Kepala SMAN 7 Mataram yang mengetahui pembicaraannya dengan Baiq terekspos ke publik, merasa nama baiknya tercemar. Ia melaporkan Baiq dan Baiq akhirnya dinyatakan melanggar pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) oleh Mahkamah Agung. Baiq pun dijatuhi enam bulan penjara dan denda sebanyak Rp500 juta dan jika tidak dibayar maka akan diganti dengan pidana penjara selama tiga bulan.
Selain itu, perlu diketahui indikasi atau tolak ukur perbuatan seseorang dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Sayangnya, tolak ukur kekerasan seksual bisa jadi beragam bagi setiap orang. Penyebabnya mungkin karena kurangnya pengetahuan tentang kekerasan seksual dan pembahasan mengenai hal tersebut masih dianggap tabu.
Tolak ukur kekerasan seksual sebenarnya dapat dilihat dari pengertian kekerasan seksual itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dilansir dalam www.kbbi.web.id, arti kata kekerasan adalah perihal yang bersifat atau berciri keras, atau perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, atau paksaan.
Dilansir dalam laman yang sama, arti kata seksual adalah berkenaan dengan seks (jenis kelamin), atau berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga dapat disimpulkan kekerasan seksual adalah perbuatan seseorang atau kelompok berkenaan dengan seks atau jenis kelamin yang dapat menyebabkan kerusakan dan membahayakan fisik maupun psikis seseorang.
Untuk lebih detailnya, menurut hasil pantauan Komnas Perempuan sejak 1998 hingga 2013, tercatat ada 15 jenis bentuk kekerasan seksual yang ditemukan. Antara lain, perkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, kontrol seksual termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Sedangkan menurut apa yang ada dalam draft RUU P-KS, terdapat sembilan jenis bentuk kekerasan seksual. Antara lain, perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual. Namun, bentuk kekerasan ini masih belum dapat dijadikan tolak ukur karena masih hanya berupa rancangan dan belum sah.
Kekerasan seksual bisa menjadi relatif. Tidak ada tolak ukur yang secara pasti mengatur dan menjadi pedoman untuk memutuskan perbuatan seseorang tergolong kekerasan seksual atau tidak. Hal ini berimbas pada penyelesaian kasus kekerasan seksual yang seolah menjadi dipersulit. Karena setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda tergantung bagaimana ia melihat suatu kasus kekerasan seksual itu sendiri.
Tidak ada standar pasti yang mengatur mengenai kasus kekerasan seksual menuntut RUU P-KS segera disahkan. Semakin panjang diskusi mengenai kekerasan seksual berjalan, secara tanpa sadar, tudingan “Salah sendiri” kepada korban terkadang muncul begitu saja. Dengan terealisasinya RUU P-KS, diharapkan sikap mengkriminalkan korban dapat diminimalisir. Diharapkan juga, baik korban maupun pelaku mendapat penanganan yang sesuai secara fisik maupun psikologis.