Geoffrey Parrinder, dalam bukunya Teologi Seksual (2004) mengatakan, seks dan agama merupakan dua keprihatinan fundamental manusia. Keduanya sering kali dipertentangkan sebagai yang fisikal melawan spiritual, yang fana melawan abadi, sehingga kedua hal ini tampak menempati ruang yang berbeda, meskipun sudah memiliki definisi yang jelas. Kendati demikian, keduanya selalu melewati batas ruang yang telah ditentukan.
Manusia, begitu kata Parrinder, tidak bisa hidup hanya dengan roti dan mengesampingkan hasrat seksual yang membara. Demi mencapai kepuasan seksual, seseorang tidak bisa hanya meraihnya dengan fantasi belaka. Hasrat harus segera disalurkan. Namun, agama—dalam memandang seksual—seakan memiliki sekat tersendiri yang memaksa manusia untuk memalingkan mata dari hal-hal berbau seks ringan.
Ungkapan Professor Emeritus yang fokus pada Kajian Perbandingan Agama ini kiranya harus benar dicermati. Hari ini, satu demi satu kasus kekerasan seksual mulai terkuak. Faktornya tak lain karena hasrat mendalam manusia yang tak terhindarkan. Meskipun agama telah melarangnya, tetap saja, nafsu anak adam tak bisa terbantahkan sekalipun dengan ultimatum Tuhan.
Data Komnas Perempuan misalnya, menunjukkan angka tingkat kekerasan seksual yang menimpa kaum perempuan masih tinggi. Pada tahun 2014, tercatat 4.475 kasus, di tahun 2015 tercatat 6.499 kasus dan tahun 2016 telah terjadi 5.785 kasus. Deretan kasus kekerasan seksual ini harus menjadi refleksi bersama. Kasus kekerasan seksual di negeri yang beragam ini seharusnya sudah tidak lagi menjadi kajian utama dalam diskusi masyarakat awam. Berbagai pendapat datang silih berganti. Kilas balik kekerasan seksual, lalu apa akar utamanya?
Seks dan Budaya Patriarki
Brooks dalam tulisannya Lovers, Prospectors and Predators yang dimuat dalam The New York Times satu tahun lalu pernah mengatakan, seks di zaman sekarang itu spesial. Karena spesial, banyak lelaki yang tidak bisa meredam hasrat seksualnya saat melihat wanita memamerkan buah dada dan memakai rok mini dalam bus kota.
Perkataan Brooks tersebut kiranya harus benar dipertimbangkan. Akibat istimewanya gairah seksual, peristiwa pilu kerap menimpa perempuan di berbagai tempat. Kasus pelecehan dengan beragam modusnya makin banyak bermunculan. Dari tempat umum, ruang kerja, hingga dalam ranjang rumah tangga sekalipun.
Menjamurnya kasus kekerasan seksual, zaman ini dianggap sebagai salah satu manifestasi dari produk patriarki. Dalam teori patriarki, lelaki berhak mengontrol perempuan dalam semua aspek. Lelaki cenderung menguatkan posisi dalam struktur sosial. Hubungan sosial yang dibangun dalam bermasyarakat. Tak tanggung-tanggung, narasi yang dibangun sangatlah frontal. Saat berhubungan seksual dengan perempuan, lelaki cenderung menindas.
Atas dasar budaya patriarki yang telah mengakar, para feminis berasumsi perempuan kerap menderita diskriminasi bahkan pelecehan seksual. Struktur sosial yang dibentuk budaya patriarki nyata dirasakan diluar kendali manusia. Budaya patriarki, yang telah berlangsung ribuan tahun, telah menyebabkan perempuan tinggal dalam kebisuan dan kemandekan.
Membuka Luka Lama
Belum kering luka Baiq Nuril, mantan guru honorer SMAN 7 Mataram yang kini divonis enam bulan penjara dan denda Rp. 500 juta. Vonis yang dijatuhkan pada Nuril tak ubahnya kado pahit dalam sejarah perjuangan perempuan. Nuril adalah korban. Tak bersalah namun dipidana. Di negeri ini, perempuan yang berani bersuara kala mendapat tindak kekerasan termasuk keniscayaan luar biasa. Ironisnya, mayoritas memilih diam.
Kasus Nuril bermula saat ia merekam percakapan telepon Muslim, Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram. Dalam perbincangan tersebut, Muslim melecehkan Nuril secara verbal. Sejatinya, pelecehan yang diterima Nuril sudah berlangsung sejak lama. Nuril mengaku risih, namun ia tak berani mengadu lantaran takut dipecat dari jabatannya sebagai staf bendahara.
Rekaman didapat, Nuril pun memberi rekaman tersebut kepada Imam Mudawin, rekan kerjanya. Imam lantas mengirimkan rekaman tersebut ke Dinas Pendidikan dan DPRD setempat. Muslim pun dimutasi dari jabatannya. Nahas, Imam juga menyebarkan rekaman tersebut.
Merasa tidak terima, Muslim melaporkan Nuril ke pihak kepolisian atas dasar pelanggaran Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Laporan ini berlanjut hingga ke persidangan. Dua tahun diproses, Pengadilan Negeri Kota Mataram menyatakan Nuril tidak bersalah. Nuril dibebaskan dari tahanan kota. Bebasnya Nuril, karena ia dianggap tidak memenuhi unsur mentransmisikan dan membuat konten yang mengandung unsur susila—dalam konteks ini kasus pelecehan seksual yang dialaminya.
Tak berselang lama. Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung tanpa melalui proses banding di Pengadilan Tinggi. Pada 26 September 2018, menjadi hari yang bersejarah bagi Nuril. Majelis hakim menyatakan dirinya bersalah dan divonis 6 bulan penjara dengan jumlah denda Rp. 500 juta.
Kasus Nuril, korban pelecehan seksual yang dipidana secara otomatis menambah daftar buram sistem hukum di Indonesia. Putusan MA kali ini dianggap tidak mengerti situasi korban. Tidak seharusnya Nuril disalahkan. Aparat kian bungkam melihat kaum perempuan tertindas.
Poligami, Humanisme dan Kekerasan Seksual
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia Grace Natalie dalam pidatonya beberapa waktu lalu secara tegas menolak poligami sebagai salah satu produk budaya patriarki. Poligami, begitu kata Grace termasuk salah satu sumber ketidakadilan bagi kaum perempuan. Ketidakadilan inilah yang akhirnya dapat memicu kekerasan seksual.
Sudah tidak asing dikaji bahwa poligami termasuk salah satu bentuk penindasan dan subordinasi posisi perempuan di hadapan laki-laki. Tafsir agama memang membolehkan lelaki melakukan poligami. Namun, hal itu hanya tafsir konservatif, dimana poligami dibolehkan demi kesejahteraan umat. Zaman sudah modern. Sudah saatnya umat manusia mengkaji tafsir progresif yang sesuai dengan konteks zaman ini.
Memang, selalu ada banyak alasan untuk melegalkan poligami. Meski tak bisa dipungkiri pula, poligami kerap memicu tindak kekerasan terhadap perempuan. Studi yang dilakukan LBH APIK melakukan wawancara pada 107 istri yang dipoligami suaminya. Data tersebut memaparkan, 37 istri mengaku tidak diberi nafkah suaminya, 21 orang mengalami tekanan psikis, 23 orang ditelantarkan suaminya, 11 pisah ranjang, 7 istri mengalami penganiayaan fisik, 6 istri diceraikan, dan 2 perempuan mengaku mendapat teror dari istri kedua.
Secercah Harapan
“Pengalaman saya, sesuai nilai budaya di Indonesia, untuk memperkuat pasukan dalam menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, kita perlu mengajak orang lain yang dikenal luas dan dipercaya oleh masyarakat. Kalau perlu mengajak orang yang mempunyai kekuasaan formal,” begitu ungkap Saparinah Sadli dalam bukunya Berbeda Tetapi Setara.
Perkataan Saparinah, Pemikir tentang Kajian Perempuan itu rupanya sesuai dengan konteks yang dialami sekarang ini. Kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dicegah dengan hanya berpangku tangan dan mengandalkan kekuatan pribadi saja. Perlu kebijakan yang lebih tinggi demi mendukung upaya pengentasan kekerasan terhadap perempuan. Dalam konteks ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
RUU PKS, sebagai secercah harapan kaum perempuan harus segera disahkan. Kasus Nuril, dan ragam kekerasan seksual terhadap perempuan saat ini belum diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pelecehan seksual secara verbal, seperti yang dialami Nuril tidak bisa digugat hanya dengan KUHP.
Sayang, DPR kian lamban. Proses terlalu mengulur waktu. Kurang lebih dua tahun lamanya proses pembentukan payung hukum bagi perempuan ini tak kunjung disahkan. Di luar sana, disamping kepentingan aparat, masih banyak perempuan meronta akibat kekerasan seksual yang dialaminya. Mereka terpaksa bungkam. Takut disalahkan. Nuril, sebagai korban, harus segera diberi keadilan.