Sabtu, April 20, 2024

Memaksa Anak Jadi Kartini

Setiap bulan April tiba, orang akan sibuk dan menyibukkan diri untuk menyambut Hari Kartini. Gadis-gadis kecil di lingkungan PAUD  (pendidikan anak usia dini), yang hanya tahu Kartini dari sebuah lagu yang sering mereka nyanyikan, didorong untuk tampil sebagai Kartini kecil.

Gadis-gadis kecil itu dipakaikan kebaya, mirip perempuan dewasa. Wajahnya dirias pakai make up  yang mengandung merkuri  dan hanya cocok untuk kulit perempuan dewasa. Lalu disuruh berjalan dalam pawai  hingga terseok-seok, kadang terjerembab, karena kain yang terlalu ketat mengikat rapat kaki-kaki kecilnya.

Bagi orang tua mereka, terjatuh atau terjerembab,  satu perkara besar yang tak bisa dimaafkan. Menjadi kaku dan tak luwes,  juga perkara besar lain yang tak boleh ditunjukkan. Tertawa dan menangis, perkara besar juga, dan mesti dihindarkan.

Maka orang tua memaksa anak-anaknya melakukan ini dan itu, yang justru jadi salah tingkah. Acap sambil digusari, dibentak-bentak. Sering sambil disentil atau dicubit. Dunia anak-anak yang penuh permainan, yang seharusnya menjadi Kartini kecil bagian dari permainan,  akhirnya jadi tradisi tahunan yang menekan. Kekerasan terhadap anak terjadi dan tak disadari.

Semua itu, sesuatu yang dipaksakan kepada gadis-gadis kecil,  biasanya untuk sesuatu yang bernama penghargaan. Muaranya, sebuah piagam, juga piala tentunya. Atau, apa saja yang bisa dipajang di ruang tamu, yang setiap saat dipamerkan, juga dibesar-besarkan kepada tamu yang datang: ”Ini loh, Jeng, pialanya. Anakku juara satu Lomba Kebaya Kartini. Anakmu bagaimana?”

Setiap orang tua selalu mendambakan anaknya menjadi anak kebanggaan. Bukan persoalan bila kehendak si anak tak sejalan dengan  kehendak orang tuanya, karena yang terpenting si anak harus menurut, patuh,  dan manut. Anak yang seperti itu, dicitrakan, sebagai anak yang tidak durhaka. Dengan sendirinya merupakan anak yang  akan masuk sorga.

Tidak seorang orang tua pun bisa menyebut pasti, minimal menggambarkan secara mirip,  anak seperti apa yang pernah masuk neraka, atau pernah ada di surga. Malin Kundang, dongeng anak durhaka dari lingkungan Minangkabau, sesungguhnya orang dewasa, justru berubah menjadi batu.  Apakah neraka sama dengan menjadi batu? Tapi, jelas, dongeng anak durhaka menjadi semacam kitab resmi bagi orang tua untuk membentuk anak-anaknya agar menjadi seperti kehendaknya.

Gadis-gadis kecil yang dipersiapkan menjadi Kartini kecil, yang sesungguhnya tak terlalu paham untuk apa mengimitasi Kartini ke dalam dirinya, tanpa disadari justru telah mengalami nasib Kartini yang sejak dilahirkan sebagai perempuan sudah hidup dalam tekanan dan kegetiran. Lingkungannya, para bangsawan Jawa yang patrilinear, yang menempatkan laki-laki sebagai kepala dalam segala urusan, menyingkirkan Kartini dari segala dinamika kehidupan ke sisi lain yang sunyi dan penyendiri.

Pada masa hidupnya,  Raden Ajeng Kartini, sosok yang menginspirasi peringatan Hari Kartini, sejak dilahirkan sebagai perempuan, sudah ada di bawah bayang-bayang superioritas laki-laki.  Pada masa sekarang, sejak perempuan baru paham makna Hari Kartini hanya sebatas perayaan dan pawai,  mereka berada dalam tekanan. Beda dengan Raden Ajeng Kartini, anak-anak perempuan ditekan oleh orang tua mereka; oleh keinginan dan kehendak orang tua yang sering melampaui kemampuan anak-anak.

Sesungguhnya orang tua tidak paham tentang Kartini, tetapi berpura-pura paham. Dengan ketidakpahamannya, orang tua memastikan anaknya harus memakai kebaya, dan harus tampil lebih bagus dari siapa saja agar bisa juara. Padahal orang tua juga tahu,  menekan gadis kecil agar melakukan hal-hal yang mereka harapkan,  terdengar seperti sebuah paradoks dari moral yang diperjuangkan Kartini;  emansipasi perempuan di negeri ini.

Emansipasi bukan cuma perkara memperjuangkan persamaan hak perempuan dengan laki-laki, tapi juga berkaitan dengan urusan memperjuangkan hak anak-anak kecil untuk diperlakukan layaknya anak-anak. Emansipasi yang mendorong lahirnya Peter Pan, tokoh dalam sebuah dongeng tentang anak ajaib dan peri yang bisa terbang. Peter Pan dikisahkan sebagai anak yang tak ingin selalu ada dalam tekanan orang tua,  yang gemar melarang ini dan itu. Peter Pan muncul sebagai pejuang emansipasi untuk mengembalikan anak-anak ke dalam dunia mereka yang penuh permainan. Dunia yang imajinatif.

Orang tua sering tak punya imajinasi.  Mereka lupa pernah jadi anak kecil. Ketika anaknya menggambar sebuah lingkaran, dan menyebut gambar itu sebagai gorila, orang tua biasanya akan marah sambil berkata:  “Ini lingkaran, bukan gorilla”.

Kisah dalam Pangeran Kecil Antoine de Saint-Exupéry bercerita tenga imajinasi seorang bocah yang menggambar seekor ular menelan utuh seekor gajah, lalu memamerkan hasil imajinasinya kepada orang dewasa, yang lantas menyebut gambar ular menelan gajah itu sebagai  gambar sebuah topi.  Kisah itu menjadi kritik terhadap orang dewasa yang tak punya imajinasi. Sesuatu yang membuat mereka terpisah dari dunia anak-anak yang gemar berkhayal dan bermain.

Tapi, anak-anak yang menghabiskan waktu hanya untuk berkhayal dan bermain-main,  hanya dilakukan anak-anak yang berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang serbakecukupan. Sebagian besar anak-anak di Indonesia berasal dari keluarga serbakekurangan,  anak-anak keluarga miskin yang tidak hanya hidup dalam tekanan orang tua mereka,  tetapi juga lingkungannya. Anak-anak dipaksa oleh situasi ekonomi orang tua untuk menjadi entitas yang harus dieksploitasi.

Mengupayakan anak agar menjadi kebanggaan keluarga dengan melakukan hal-hal yang terpaksa dilakukannya, seperti menjadi Kartini kecil sembari mematuhi sekian banyak aturan dalam berskap, melangkah, dan tersenyum yang dibuat orang tua, bisa disebut mengekploitasi anak agar menjadi kebanggaan keluarga. Situasi seperti ini menjadi tradisi  tahunan, dilakukan tanpa rasa khawatir akan mempengaruhi perkembangan psikologis anak.

Ilustrasi orang tua yang tanpa imajinasi dan gemar memaksakan kehendak kepada anak-anaknya,  lebih dari cukup untuk menegaskan bahwa kekerasan terhadap anak dilakukan oleg orang tua, disadari ataupun tidak. Begitu juga halnya dengan kekerasan seksual, yang sering mendera anak-anak perempuan, biasanya dilakukan oleh orang tua, disadari atau tidak.

Penyebabnya, orang tua tidak memiliki cukup pengetahuan tentang mendidik anak secara lebih baik, karena menganggap anak merupakan darah daging sendiri yang harus menjadi seperti kehendak sendiri.  Egoisme orang tua itu, sadar atau tidak, membentuk psikologi anak.

Anak menjadi tertekan dan tidak memiliki rasa percaya diri merupakan anak yang riskan mendapat perlakuan kekerasa dalam bidang apapun di lingkungannya, termasuk kekerasan seksual. Seandainya seorang anak didik bukan agar menjadi seperti keinginan orang tua, bisa dibayangkan si anak akan punya karakter yang khas dirinya, yang membuatnya  tahu apa yang diinginkan dan yang tidak diinginkannya. Dengan begitu, si anak akan punya cukup keberanian untuk menolak, termasuk menghindari kekerasan seksual.

Sebab itu, terhadap rencana pemerintah mengesahkan rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual, menjadi hal yang subtansial untuk melindungi anak-anak dari kejahatan kekerasan seksual.  Selain para korban harus mendapat kepastian hukum, para pelaku harus dipastikan juga agar tidak melakukan kejahatan yang sama terhadap korban yang berbeda.  Pelaku kekerasan seksual harus dijamin UU agar jangan lagi menjadi “hantu” bagi anak-anak dan perempuan.

Namun demikian, selain perlu ada UU penghapusan kekerasan seksual, alangkah lebih baik bila orang tua juga berusaha meningkatkan pengetahuan tentang pendidikan anak dan mengurangi keegoisannya.  Anak adalah titipan Tuhan. Kelak, anak akan dewasa, dan orang tua tidak akan bisa terus menerus mendikte anaknya. Kelak, anak yang terlalu didekte orang tua seumur hidupnya, akan tampil sebagai “pemberontak” yang menjadi tak seperti diinginkan orang tuanya.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.