Kamis, Mei 16, 2024

Memaknai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

hanafi fajar
hanafi fajar
small man || like a music || beer || coffee || manchester united || WDY36 || kalijogo ||woodworker || orang bodoh yang suka membaca || hanafifajar17@gmail.com

Cerita mengenai kekerasan seksual belakangan ini menjadi sebuah kisah yang menyorot perhatian masyarakat dan hangat dibicarakan bak cerita fifty shades yang berseri-seri. Cerita yang dikemas dengan nuansa romantis ini menampilkan hubungan yang sangat menggairahkan walaupun sebenarnya menyimpan fakta kontras dibaliknya. Cerita lain yang dibukukan dalam judul Perempuan Di Titik Nol juga menceritakan tentang kekerasan seksual yang dialami Firdaus sejak kecil namun baru disadari ketika menginjak usia dewasa. Cerita-cerita ini sedikitnya menjadi contoh bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di sekitar kita namun sulit untuk mengidentifikasinya.

Di Indonesia, kekerasan seksual cukup mudah ditemukan karena sering dimuat oleh media-media ternama. Sayangnya, pemberitaan akan ini mudah hilang dan penuh ambiguitas dalam hasil akhirnya karena pelaku tindakan sekaligus korban tidak mendapatkan penanganan yang semestinya. Seperti yang dilansir dari Detiknews, Ibu guru Baiq Nuril justru terkena vonis kurungan 6 bulan setelah melaporkan kasus pelecehan seksual yang menimpa dirinya. Selain itu dilansir dari Okezone.news, kisah dari karyawati sebuah gerai elektronik di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah yang mendapatkan kekerasan seksual; peremasan payudara dari seorang yang tidak diketahui identitasnya ketika ia hendak pulang kerumah selepas bekerja.

Hingga saat ini, korban belum melaporkan kasus ini kepada pihak yang berwajib karena korban merasa pesimis berhubung ia tidak memiliki barang bukti serta identitas korban. Kemudian kisah kekerasan seksual yang hangat dibicarakan baru-baru, dan banyak menyita perhatian ini berasal dari Yogyakarta, tepatnya berasal dari mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), yang terindikasi melakukan kekerasan seksual terhadap salah satu teman perempuan saat di lokasi KKN, menurut sudut pandang penyitas. Cerita ini mulai mencuat ketika balairung press memuat dengan judul berita “nalar pincang UGM atas kasus perkosaan”.

Entah mengapa cerita kekerasan seksual ini sedikit berbeda dan mendapatkan sorotan khusus dari berbagai pihak, seperti dari pihak atau komunitas perempuan peduli pelayanan publik (KP4) DIY. Hingga Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise yang turut angkat suara terkait kasus pelecehan seksual ini. Kisah inilah yang ahkirnya menjadi titik balik untuk mendesak pemerintah agar segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang di inisiasi oleh Komisi Nasional Perempuan.

Adanya kekerasan ataupun pelecehan seksual di Indonesia sangat jarang diangkat ke permukaan karena tidak adanya laporan dari korban. Korban merasa tindakan yang dialaminya merupakan suatu hal yang tabu untuk dibicarakan terlebih dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Materi yang berbau seksual memang tabu dan bertentangan dengan budaya timur di Indonesia yang mengedapankan norma-norma sosial yang menjadi sebuah standar pandangan “baik/buruk” suatu tindakan yang dapat diterima di masyarakat. Misalnya stigma wanita atau perempuan kurang baik, jika ia suka keluar malam maupun berpakaian sexy atau kurang tertutup. Pandangan inilah yang mungkin juga menjadi sebuah masalah atau hambatan dalam menyikapi suatu masalah, terlebih dengan masalah kekerasan atau pelecehan tersebut.

Tak jarang korban, memilih diam dan menyelesaikan masalahnya sendiri, karena takut dan malu akan mendapat label dari masyarakat sebagai individu yang dianggap kurang baik. Selain itu juga masih kuatnya paradigma dimana hukum sebab-akibat masih digunakan dalam sudut pandang dibalik cerita-cerita kekerasan seksual ini. Dimana korban yang kebanyakan perempuan ini berpaikan kurang tertutup sehingga membuat para lelaki terpancing naik libidonya dan melakukan tindakan kekerasan/pelecehan seksual. Paradigma ini pernah di sindir dengan status singkat oleh Prof. Ariel Heryanto dalam akun twitter pribadinya; yang berbahaya itu bukan rok mini, tapi akal mini, etika mini, toleransi mini. Dua hal tersebut yang sebenarnya menjadikan faktor kekerasan/pelecehan dapat terjadi, yakni faktor personal sebagai pelaku maupun faktor sosial-budaya yang membuat pelaku lebih yakin bahwa tindakanya tidak akan dilaporkan.

Mengambil penjelasan dari ahli, yakni menurut (Irianto,dkk, 2014:21). Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan yang tidak terbatas pada tindakan seksual atau percobaan melakukan tindakan seksual yang menyerang seksualitas seseorang khususnya perempuan atau anak dengan menggunakan paksaan, kekerasan dan/atau ancaman, penyalahgunaan kuasa, pemanfaatan situasi (dengan bujuk rayu atau janji-janji), dimana tindakan tersebut dilakukan tanpa persetujuan korban. Segala perbuatan yang mengganggu kedaulatan tubuh korban baik secara fisik maupun non fisik sehingga membuat korban merasa tidak nyaman, tidak senang, tidak aman, bahkan melakukan penolakan, merupakan suatu tindakan yang dapat dikategorikan kekerasan seksual / pelecehan seksual.

Catcalling, godaan verbal di jalan street harassmen, masuk juga dalam kategori pelecehan seksual. Meskipun gangguannya lebih halus dan secara verbal, tidak seperti kekerasan seksual yang identik dengan kontak fisik namun keduanya merupakan tindakan yang berat. Hal ini karena kemungkinan tindakan kekerasan seksual bisa berawal dari pelecehan seksual. Selain itu, ternyata tindakan pelecahan seksual ini juga dapat mengakibatkan dampak psikis yang berat juga bagi para korban, tak jarang mereka menjadi pribadi yang menutup diri dan takut keluar rumah lagi/parnoid.

Hal ini juga bisa terjadi tidak hanya dijalanan saja, dengan berbagai macam teknologi dewasa ini, pelecehan seksual juga sering kita dapat dari sebuah sosial media daring, seperti kasus pelecehan seksual yang pernah di terima oleh penyanyi dangdut nasional, Via Vallen, yang mendapatkan pelecehan seksual melalui dirrect message Instagram dari seorang pesepakbola nasional. Dari hal tersebut,  kekerasan atau pelecehan seksual memiliki spektrum yang luas sehingga tidak hanya sebatas tindakan atau kontak seksual secara fisik tapi lebih dari itu.

Dari berbagai contoh kasus dan pengertian kekerasan seksual maupun pelecehan seksual tersebut, telah diketahui bahwa mayoritas korban atau obyek kekerasan/pelecehan seksual dari tahun ke tahun adalah perempuan dan dalam suatu kasus kekerasan seksual baik pelaku maupun korban belum mendapatkan suatu penanganan yang tepat. Oleh karena itu, seberapa penting RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan ?

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual penting untuk disahkan karena RUU  tersebut bertujuan untuk menciptakan generasi aparatur penegak hukum yang memiliki kepekaan dan berempati terhadap korban serta menghindarkan korban dari trauma. Hal ini terindikasi dari aspek yang ramah dengan korban seperti, keterangan seorang dari korban sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti lainnya.

Tidak seperti dalam KUHAP yang menggunakan Asas unus testis nullus testis Pasal 185 untuk keterangan korban. Dimana korban harus membawa sedikitnya satu orang saksi beserta alat bukti dalam persidangan untuk membuktikan bahwa terdakwa benar bersalah. Hal ini jelas akan menyulitkan korban ketika kejadian kekerasan/pelecehan seksual tidak adanya saksi. Sedangkan kaitannya dengan alat bukti, dalam RUU penghapusan kekerasan seksual mengacu tidak hanya pada KUHAP pasal 184 saja, namun dilengkapi alat bukti lainya yang lebih mudah seperti, surat keterangan dokter umum/peskiater/dokter jiwa, hasil rekam medis dan informasi yang diucapkan atau dikirim dalam media elektronik.

Namun selain alasan itu, RUU penghapusan kekerasan seksual ini juga harus ditinjau ulang lagi sebelum disahkan karena RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini terkesan diskriminatif karena lebih dominan melindungi perempuan dari kekerasan seksual padahal salah satu asas pengaturannya adalah nondiskriminasi. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengutamakan perempuan dan mengabaikan laki-laki. Walaupun faktanya korban kekerasan/pelecehan seksual mayoritas adalah perempuan tapi tidak menuntup kemungkinan seorang laki-laki juga dapat menjadi korban, seperti contoh yang dilangsir dari Tirto.Id yang mengisahkan seorang laki-laki mendapatkan kekerasan oleh laki-laki lain dengan mencium bagian lehernya dan meremas bokongnya.

hanafi fajar
hanafi fajar
small man || like a music || beer || coffee || manchester united || WDY36 || kalijogo ||woodworker || orang bodoh yang suka membaca || hanafifajar17@gmail.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.