Indonesia tersohor sebagai negara hukum .Namun realitas yang ada membuat kita mengenyitkan dahi sejenak. Adalah kekerasan seksual terhadap perempuan yang hingga kini bukan bualan semata.Pelaku semakin brutal dengan modus yang berbeda.Dalam hal ini kaum perempuan didiskreditkan oleh ketidakberpihakan undang-undang perlindungan kekerasan seksual kepada mereka.
Hal yang cukup memprihatinkan ialah kecenderungan makin maraknya kejahatan seksual dimana tidak hanya menimpa perempuan dewasa.tapi juga menimpa anak-anak dibawah umur.Berkaca pada ulasan pers *tribunnews.com (2018/12/28) *yakni setiap bulan, empat perempuandan anak di Jombang menjadi korban kekerasan seksual. Data tersebut berdasarkan kasus yang masuk dalam pendampingan Women’s Crisis Center (WCC) Jombang sepanjang tahun 2018.
Lantas dengan tingginya angka kasus kekerasan seksual terhadap perempuan,DPR tak juga tergerak untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.Performa DPR pun dipertanyakan.Indikatornya tentu saja merujuk pada integritas DPR dalam membuat undang-undang.Kegagalan memayungi perempuan lewat pengesahan RUU PKS adalah indikasi anggota DPR tidak berintegritas.
Sejak diusulkan pada 2015 dan ditetapkan menjadi RUU (Rancangan Undang-Undang) inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 2017, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dianggap masih jalan di tempat.
RUU menjadi patron tempat bernaung hukum bagi kaum perempuan tatkala mendapat kekerasan seksual.Nursyahbani Kantjasungkana dalam (Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki,1997 :178) mengemukakan masalah kekerasan seksual tidak dapat lagi dipandang sebagai masalah antar individu belaka,tetapi merupakan problem sosial yang terkait dengan perlindungan terhadap segala bentuk penyiksaan,kekerasan,kekejaman, dan pengabaian martabat manusia.Pemerintah harus lebih proaktif terlibat guna mewujudkan kemerdekaan bagi kaum perempuan.
*Alasan DPR yang Super Sibuk*
Pembahasan RUU ini tidak hanya bertumpu kepada DPR tetapi juga campur tangan pemerintah.DPR perlu duduk bersama pemerintah guna melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dalam rangka untuk mendapatkan masukan yang seluas-luasnya.Hal inilah yang ditengarai mengapa RUU PKS seolah-olah jalan ditempat.
Pusaran tahun politik turut menjadi kendala.Tahun sibuk tersebut memungkinkan rapat sering tak memenuhi kuorum anggota untuk mengambil keputusan.Sejatinya kurun waktu 2018-2019 adalah tahun politik yang mana tidak sedikit anggota DPR sibuk safari politik untuk menjadi Caleg 2019-2024 atau ikut larut bersama kampanye di timses pemenangan Capres masing-masing.Realitas ini memvisualkan bahwasanya DPR kurang memprioritaskan rakyat utamanya patron hukum.
Di samping itu terdapat pula persimpangan pendapat.Dalam RUU ini perlu disinkronkan berkenaan pada sanksi, rehabilitasi, lingkup, hinga soal jenis kekerasannya.Sehingga seolah-olah RUU PKS tengah mogokNamun dalam hemat saya RUU PKS sedang dalam fase pengkajian oleh DPR,tidak mandek tetapi prosesnya memang terlampau lambat
* Hak Asasi Perempuan Rontok*
Kekerasan seksual dan penanganannya sejauh ini mengindikasikan lemahnya perlindungan (pengayoman) hak asasi perempuan dari tindak kekerasan seksual.Posisi perempuan menjadi tidak berkutik tatkala berhadapan dengan pelaku yang notabene secara fisik lebih kuat (superior) dan merasa perkasa.
Kaum perempuan dirundung kecemasan.Di berbagai lingkungan kehidupan bermasyarakat dan berkeluarga posisi perempuan menjadi tidak aman.Kenyaman dan kedamaian dalam bermasyarakat sukar terwujud.Tidak menutup kemungkinan,bahwa di suatu keluarga yang situasinya *adem ayem *,mendadak muncul salah seorang anggota keluarga sebagai pelaku.Seperti diwartakan oleh *Jambi.Tribunnews (2018/04/25) *yakni perihal kekerasan seksual oleh ayah kandungnya sendiri.
Kekerasan seksual ditempatkan sebagai contoh perbuatan kriminalitas yang meruntuhkan HAM perempuan.Pelaku akan memposisikan dirinya untuk berperilaku eminen sehingga melahirkan diskriminasi gender, yang mengakibatkan perempuan sebatas diperlakukan sebagai objek pemuasan kepentingan biologis kaum laki-laki.
Perasaan superioritas secara alamiah muncul dari seorang laki-laki yang kemudian mendorongnya untuk berlaku tidak terpuji (kekerasan seksual).Sebenarnya akar dari pelanggaran hak-hak perempuan disebabkan oleh corak pandang pelaku yang menempatkan perempuan hanya sebatas sebagai objek dan tidak sebagai subjek sederajat dibandingkan perilaku kepada kaum laki-laki.
Kekerasan seksual menjadi tolok ukur pelanggaran HAM berat terhadap
perempuan.Kesewenangan dan kekejian pelaku bertentangan dengan watak diri
manusia yang seharusnya menghormati hak-hak sesamanya,apalagi bakal kaum
perempuan yang seharusnya dilindungi.
Merujuk Abdul Wahid dan Muhammad Irfan (2001:65) bahwa potensi dalam diri pelaku kekerasan seksual harusnya difungsikan untuk melindungi dan membela perempuan dari perbuatan-perbuatan tidak terpuji, justru dikalahkan oleh potensi yang menghancurkan.
Kekerasan seksual tak hanya berkutat pada masalah kehormatan dan keperawanan tapi juga merubuhkan hak yang selama ini harusnya bersemayam pada kaum perempuan.Pelaku kekerasan seksual tanpa rasa khawatir berhasil membekuk hak asasi perempuan, yakni hak-hak atas kehidupan,hak atas kemerdekaan dan keaman pribadi, hak atas perlindungan yang sama dan manusiawi di muka umum, hak untuk tidak mengalam penganiayaan.
Keadaan tersebut dapat terjadi salah satunya akibat faktor hukum atau undang-undang kekerasan seksual yang hingga kini tidak bisa membuat pelaku jera.Artinya hukum pidana Indonesia yang menggariskan tujuan bersifat edukatif,preventif, dan represif dapat terwujud jika RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini disahkan DPR.Ada tujuan yang dimaksudkan untuk mendidik pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya dan dapat menegakkan apa-apa saja yang menjadi hak perempuan.
*Law Enforcement*
Kendati penegakan hukum itu diupayakan untuk menjembatani hak-hak korban untuk mendapatkan kepastian hukum dan keadilan,namun hal tersebut belum tergolong sebagai pembelaan dan perlindungan terhadap penderitaan atau kerugian-kerugian korban secara fisik,material maupun mental. Korban kejahatan terbatas hanya menerima nasib atas kejahatas yang menimpanya.RUU PKS memerankan peranan penting kedepannya karena kondisi saat ini penanganan korban untuk mendapatkan akses kebenaran, keadilan, dan pemulihan terlampau buruk.
Korban suatu tindak kekerasan seksual tak jarang dibuat kecewa oleh praktik-praktik penyelenggaraan hokum yang lebih condong memperhatikan atau bahkan melindungi hak-hak asasi tersangka,sedangkan hak-hak asasi korban lebih banyak diabaikan.
Sistem hukum saat ini nyatanya tidak mampu memberikan keadilan bagi korban, tidak menjerakan pelaku, dan tidak menjamin kasus serupa tidak berulang.Hal ini nampak pada kasus Baiq Nuril.Ia malah dijatuhi tindak pidana ITE dan terancam pidana penjara enam bulan kurungan penjara serta denda.Sementara pelakunya yakni kepala sekolah justru dipromosikan dan tidak mendapat sanksi.Kini, ia menjabat sebagai Kepala Bidang di jajaran Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Mataram.
Berdasarkan data mitra Komnas Perempuan dari Forum Pengadalayanan, kasus yang dapat diproses hingga persidangan rata-rata hanya mencapai 10 persen.Dibutuhkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) guna menjawab kebutuhan dan kepentingan korban serta pelaksanaan kewajiban negara dalam menghapuskan kekerasan seksual.
Demikian,RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai pintasan, harus jadi prioritas Negara.Namun kinerja DPR yang cenderung inferior untuk menuntaskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual seakan mendorong perempuan untuk terus menjadi korban.Pemerintah hendaknya lebih proaktif dan peduli lagi mengingat tidak ada payung hukum yang efektif hingga hak perempuan tak lagi dapat berdiri.