Berita tentang pemerkosaan gadis belia oleh kakaknya dapat kita baca sambil menikmati secangkir teh hangat pada sebuah petang. Jika kita membacanya tepat pada jam makan siang, tentu sepiring nasi lengkap dengan ayam serta lalapan menjadi teman sambil mengutuk perbuatan bejat itu.
Gadis belia itu pun akhirnya hamil. Janin yang masih belum berbentuk bayi utuh terpaksa dipaksa keluar dan mati. Pilihannya melakukan aborsi muncul dari perasaan tersiksa lahir dan batin. Hukuman pun lalu dijatuhkan.
Sang gadis yang tadinya adalah korban pemerkosaan dijatuhi hukuman penjara karena telah melakukan aborsi. Namun ada sebuah ironi, setiap orang yang membaca atau menonton beritanya bisa menikmati cemilan sambil menonton lalu mengutuk sementara korban tindak kekerasan seksual selalu bertambah tiap tahunnya.
Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) setidaknya mencatat bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 25% dalam rentang waktu satu tahun. Dalam periode tahun 2016 kekerasan terhadap perempuan tercatat ada 259.150 kasus dan meningkat pada tahun 2017 sebanyak 348.446 kasus. Hal itu menjadi sebuah kesimpulan bahwa perempuan sebagai objek kekerasan masih terlalu sering terjadi dan menuntut sebuah regulasi hukum untuk mengakomodirnya.
Sebelum sampai pada pentingnya sebuah regulasi hukum, tiap individu dan kelompok harus menyadari betapa penting sebuah perlindungan hukum yang spesifik bagi kaum perempuan dan korban kekerasan seksual lainnya.
Setiap orang harus menyadari realitas sosial dimana ia hidup sehingga dapat menuntut jaminan dari penyelenggara negara yang menjamin hak warganya di mata hukum. Bukan hanya sadar secara insidental, seperti membaca atau menonton peristiwa kekerasan yang terjadi lalu memberi empati sekaligus mengutuk pelakunya, namun partisipasi aktif untuk menuntut negara bertanggung jawab menjadi mutlak perlu dilakukan.
Pada tanggal 8 Desember 2018 lalu, sekelompok masyarakat dari berbagai golongan melakukan pawai akbar yang merepresentasikan tuntutan terhadap negara terkait penghapusan kekerasan seksual.
Tuntutan atas pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) menjadi tema utama dalam pawai akbar tersebut. Setiap individu dan kelompok yang mengikuti pawai sadar betul akan pentingnya kehadiran payung hukum yang disahkan secara konstitusional dalam bentuk undang-undang. Namun yang perlu digarisbawahi, representasi kelompok masyarakat tadi juga sadar betul akan pentingnya kesadaran masyarakat luas yang tidak mengikuti pawai akbar.
Jika gelombang tuntutan sedemikian surut di tengah penangguhan negara terhadap pentingnya payung hukum maka masyarakat patut bertanggung jawab atas korban kekerasan yang terus meningkat tiap tahunnya. Masyarakat cuma terjebak pada konsumsi berita lalu memunculkan empati terhadap korban tanpa berpartisipasi menyurutkan angka kasus kekerasan. Masyarakat tenggelam dalam kondisi postrealitas (melampaui kenyataan) ditengah kenyataan makin banyaknya korban kekerasan.
Berpartisipasi secara aktif dengan berbagai cara menjadi semacam syarat agar bentuk kekerasan dapat dihapuskan. Menuntut disahkannya RUU P-KS adalah sebuah langkah yang diajukan guna menghapus kekerasan yang pada banyak kasus menimpa perempuan. Namun selayaknya masyarakat yang tidak ambil bagian dalam gerakan penghapusan kekerasan, penyelenggara negara pun tenggelam pada kondisi melampaui kenyataan ditengah kenyataan yang carut marut dan menanti hadirnya jaminan hukum lewat perundang-undangan.
RUU P-KS selama hampir tiga tahun tak kunjung disahkan diantara fakta yang terus disuarakan oleh berbagai kelompok. Dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seolah melampaui realitas tanpa mampu memberi solusi diantara berbagai statistik korban kekerasan. Ribuan kasus sudah terjadi dan ribuan kasus juga tak kunjung menggugah inisiatif pengesahan RUU.
Dengan banyak motif yang berasal dari nilai religius, budaya dan lusinan motif hingga pengesahan RUU tertunda sedemikan lama adalah bukti bahwa DPR sudah melampaui fungsi sebagai lembaga yang mengakomodir kepentingan masyarakat tanpa menghadirkan solusi yang nyata. Postrealitas menenggelamkan sebuah lembaga yang mewakilkan kepentingan masyarakatnya.
Kontra Postrealitas : Masyarakat dan DPR adalah Korban
Masyarakat hanya menimbulkan opini, simpati, empati serta berbagai perasaan terhadap kasus kekerasan seksual. DPR pun melakukan hal yang sama. Perspektifnya adalah penonton. Perspektif penonton biasanya mengamati, terbuai pada gejala psikologis bukan partisipatoris.
Banyak dari kita karena begitu banyaknya kasus kekerasan seksual, lantas menganggapnya biasa. Sementara itu realitas yang berjalan dalam hal ini kekerasan, lantas dianggap mati.
Media memotret setiap peristiwa kekerasan untuk disampaikan pada khalayak ramai, sarana teknologis yang dipakai beserta mekanisme serta tendensi politis membentuk kesadaran khalayak mendampaki sorotan publik terhadap kekerasan.
Semisal yang terjadi pada beberapa waktu lalu dimana kesadaran publik digiring pada ilusi politik identitas sementara realitas kekerasan yang banyak terjadi justru dikonstruksi dalam kelumrahan semata. Hal inilah yang kemudian meminjam istilah Deleuze (1990) sebagai simulakrum dimana penyimpangan dan ketidakterpusatan dirayakan sebagai sesuatu yang agung.
Penyimpangan karena kekerasan seksual di plot sebagai sesuatu yang tak memiliki urgensi namun antipati tadi dirayakan dengan semarak. Sarana teknologis serta kritik dari masyarakat menjadi bagian dari simulakrum tersebut.
Kematian realitas kekerasan tadi akibat simulakrum juga diperankan oleh badan legislatif seperti Dewan Perwakilan Rakyat. Penyimpangan dan ketidakterpusatan atas pengesahan RUU P-KS terbukti dari tidak kunjung disahkannya RUU sehingga wajar jika DPR menenggalamkan diri pada simulakrum. Bukan hanya itu, sepanjang masa jabatan DPR sampai menjelang pemilihan umum RUU P-KS mengambang kepastiannya untuk disahkan sementara realitas 30% kuota perempuan di parlemen tidak dapat berbuat banyak.
Masyarakat dan DPR berperan menciptakan simulakrum. Namun, keduanya juga korban dari simulakrum itu sendiri. Terkait dengan RUU P-KS tentunya keduanya harus mampu keluar untuk menciptakan solusi imajiner. Keduanya dapat memposisikan diri sebagai korban simuklarum untuk kembali terbebas lalu kembali pada fokus keterpusatan. Jika masyarakat memposisikan diri pada perspektif korban kekerasan maka fokus dan keterpusatannya adalah keluar dari konstruksi simulakrum sarana teknologis dan tendensi politis diluar kekerasan seksual.
Tujuannya agar lebih memahami, lewat sarana solusi imajiner, urgensi dari sebuah jaminan hukum yang bermuara pada undang-undang. Pada pihak DPR, statusnya sebagai legislator juga harus berperspektif korban simulakrum yang secara realitas memahami bahwa ribuan kasus kekerasan terjadi namun tanpa melahirkan legislasi yang mengakomodirnya. DPR harus menyadari bahwa bukti terbebasnya dari simulakrum adalah keluar dari status korban simulakrum dan mengambil posisi korban kekerasan sebagai solusi imajinernya.
Sangat perlu diperhatikan bahwa pusat dari pengesahan perundangan-undangan terikat di tangan lesgislatif sehingga pengesahan RUU P-KS adalah bukti bahwa parlemen mengakomodir realitas masyarakat dalam sebuah negara.
Urgensi dari pengesahan RUU P-KS dalam hal ini bukan saja demi melahirkan solusi atas kekerasan seksual, selain dari itu keluarnya kedua pihak dari simulakrum adalah pembuktian kedaulatan masyarakat yang bersinergi dengan DPR sebagai perwakilan masyarakat lewat mekanisme demokratis.
Sehingga, sinergisme keduanya selain akan menghapus kekerasan seksual lewat perangkat undang-undang, sebuah tatanan sosial akan berdaulat atas dasar keterlibatan elemen-elemen penting dalam sebuah negara. Akhir kata, mengapa pengesahan RUU P-KS sangat penting disahkan adalah sebagai bukti kedaulatan negara dan masyarakat dalam menangani solusi problematik sebuah realitas sosial.