Jumat, Oktober 4, 2024

Indonesia Rumah Pelaku Kejahatan Seksual?

Wacana pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) kembali menarik perhatian masyarakat. RUU ini telah menjadi godokan alot DPR sejak tahun 2016, bahkan telah diinisiasi sejak tahun 2014 dan hingga kini belum ada perkembangan berarti. Komisi VIII DPR RI menyatakan bahwa RUU ini cukup kontroversial dan harus dirumuskan dengan hati-hati.

Namun, kekerasan seksual tidak pernah seharipun berhenti terjadi, korbannya pun tak terbatas pada perempuan, tapi juga anak-anak dan bahkan laki-laki. Semakin banyaknya kasus kekerasan seksual dan Komnas Perempuan menunjukkan tren kenaikan data kasus kekerasan seksual membuat RUU menjadi kebutuhan yang mendesak. Mirisnya, masih ada kelompok masyarakat yang meragukan bahkan menentang RUU ini karena sisi yang dianggap kontroversial tersebut.

Mengingat ke belakang, tahun 2016 kasus Eno merebak di masyarakat. Eno dibunuh pacarnya dengan cangkul yang ditancapkan di kemaluannya. Tragedi ini terjadi karena Eno menolak berhubungan badan.

Di tahun yang sama, kasus Yuyun menyita perhatian masyarakat. Yuyun adalah siswi SMP yang diperkosa oleh empat belas orang lalu dibunuh. Tahun ini, masyarakat dibuat mengelus dada (dan mungkin juga mengernyitkan dahi) atas kasus Baiq Nuril, korban pelecehan seksual yang justru dipidana karena berani buka suara.

Baiq Nuril, mantan pegawai honorer, dijerat UU ITE Pasal 27 Ayat 1 atas penyebaran informasi elektronik bermuatan asusila. Informasi elektronik tersebut merupakan rekaman suara atasannya via telepon yang bermuatan seksual. Selain dipenjara, Baiq Nuril juga didenda 500 juta rupiah atas tindakannya tersebut. Tindakan yang diambil Baiq Nuril mengindikasikan lemahnya hukum di Indonesia dan tidak adanya kepercayaan masyarakat akan hukum di Indonesia.

Beliau memilih mengambil sikap sendiri dibanding melapor. Hal ini merupakan salah satu dampak dari tidak adanya payung hukum untuk korban kejahatan seksual, yang mewadahi kasus-kasur serupa, yang dapat memberikan pelayanan dan pembelaan, yang memberikan perlindungan terhadap korban.

Kasus ini semakin konyol tatkala Baiq Nuril justru menjadi tersangka dan dijerat UU ITE. Menginjak tahun ketiga, DPR belum juga mengesahkan RUU ini, bahkan Komisi VIII belum juga merampungkan rumusannya, sedangkan kekerasan seksual terus terjadi. Kebutuhan masyarakat akan RUU ini kian mendesak.

Kasus Baiq Nuril ini mengingatkan kita tentang RUU PK-S yang tak kunjung rampung. Dilansir dari voaindonesia.com, Rieke Diah Pitaloka dari Komisi VIII DPR RI mengatakan bahwa mandeknya pengesahan RUU karena banyaknya pertimbangan dalam Komisi VIII tentang sisi kontroversial RUU P-KS yang dianggap bisa digunakan untuk melegalkan perzinahan dan LGBT.

Karena itu RUU P-KS ini harus benar-benar dirumuskan dengan matang melalui proses modifikasi ataupun revisi dengan melibatkan berbagai aspek norma agama, sosial dan perwakilan berbagai elemen masyarakat seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Kongres Perempuan, Aliansi Cinta Keluarga Indonesia, selain dari para pakar hukum pidana.

Kontoversi yang dimaksud senada dengan yang dijabarkan hidayatullah.com yang menangkap “aroma kebebasan seksual” di balik RUU P-KS, bahwa adanya pasal yang berpotensi diasumsikan dengan mendukung seks bebas, sehingga RUU ini masih harus direvisi ataupun dimodifikasi.

Namun, jika ditinjau lebih jauh, dari contoh kasus Baiq Nuril, kontoversi Undang-Undang tidak hanya terjadi pada RUU P-KS. Kasus Baiq Nuril memberikan contoh lain bahwa UU ITE, yang bahkan sudah disahkan pun memiliki cela yang fatal, yang bisa disalahgunakan dan dijadikan serangan balik yang dapat merugikan pihak lain, dalam hal ini korban.

Baiq Nuril dinyatakan bersalah menurut UU ITE atas penyebaran rekaman telpon yang berisi konten asusila, namun di sisi lain Baiq Nuril adalah korban kekerasan seksual yang membuat dirinya merasa terhina dan direndahkan dan Indonesia belum punya aturan hukum yang sah untuk kasus semacam ini. Kasus ini membuktikan adanya kecacatan dalam UU ITE yang tidak mewadahi suatu kondisi semacam ini.

Maka, sifat hukum menjadi tidak bijak. Hukum seharusnya menjadi jaminan masyarakat untuk hidup aman dan tentram dalam naungan sebuah negara, tapi dalam kasus ini, hukum malah menjadi penjahat untuk masyarakatya sendiri. Setiap UU pasti memiliki celah karena kasus baru selalu terjadi dan untuk mencapai keadilan maka dirancanglah undang-undang baru untuk kasus-kasus baru dan kemungkinan kasus dari kasus yang telah ada, agar bisa ditanggulangi dan jika terjadi kasus sejenis maka telah memiliki aturan yang sah dan jelas.

RUU ini memang terasa sangat feminin, akan tetapi, RUU ini tidak hanya berlaku untuk perempuan. Tindak kekerasan seksual bisa menyasar pada siapa saja termasuk laki-laki. Kasus kekerasan seksual pada laki-laki mungkin akan lebih rumit lagi karena stigma gender.

Karena itu, Komnas Perempuan menolak hukum kebiri pada pelaku. Selain karena akar masalah bukan pada alat kelamin, tapi pada pikiran dalam kepala, pelaku juga tak melulu laki-laki, sehingga hukum kebiri terasa kurang pas untuk menanggulangi kasus kekerasan seksual. Jangan lupakan kasus kekerasan seksual pada anak-anak.

Tidak cukup halaman nampaknya untuk menyebutkan lagi kasus-kasus kekerasan seksual pada anak-anak. Usia anak-anak adalah usia penting dalam membentuk kepribadian. Pengalaman dan ingatan semasa kanak-kanak adalah memori terkuat yang secara tidak sadar membentuk sikap anak ketika remaja dan dewasa.

Kekerasan terhadap anak tidak hanya melukai diri korban tapi juga melukai masa depannya. Anak-anak korban kekerasan seksual tentu memiliki kesempatan dan masa depan yang sama dengan anak lainnya. Tapi membayangkan bahwa korban anak tumbuh dengan memiliki pengalaman buruk yang tidak dialami semua anak, tentu membuatnya terluka seumur hidup.

Baiq Nuril hanyalah satu dari sekian banyak korban kekerasan seksual dan ia salah satu yang masih hidup. Tapi beliau harus mendekam di penjara karena menjadi korban kekerasan seksual yang berusaha membela diri.

Realita Baiq Nuril merupakan bentuk pengkerdilan korban oleh hukum dan seolah menekan para korban kekerasan seksual lainnya di luar sana untuk tutup mulut dan menelan trauma pahit itu sendirian, membiarkan dan menutup mata atas keliaran birahi para pelaku untuk terus berkeliaran.

Sedangkan Eno dan Yuyun harus kehilangan nyawa karena tindak kekerasan seksual dan mereka tak punya kesempatan untuk membela diri. Baiq Nuril masih hidup dan ia membela haknya, sedangkan Eno dan Yuyun tak bisa memberikan pembelaan diri karena sudah meninggal. Seakan-akan ujung dari korban kekerasan seksual hanya dua; dipenjara atau meninggal.

Pun sejauh ini, para korban kekerasan seksual ini tidak mendapat penanganan dan perlindungan yang baik, yang dijamin oleh konstitusi. Terkadang laporan kasus kekerasan seksual tidak dipandang sebagai suatu pelanggaran yang berat. Jika RUU P-KS ini disahkan, mungkin tak ada gunanya untuk Eno dan Yuyun, akan tetapi harus ada berapa banyak Eno untuk merampungkan RUU ini?

Harus ada berapa banyak Yuyun untuk mengesahkan RUU ini? Setiap ada kasus tragis terkait kekerasan seksual, amarah masyarakat tersulut menuntut keadilan. Meskipun Eno dan Yuyun telah meninggal, pengesahan RUU P-KS ini bisa menjadi bentuk pembelaan terakhir untuk mereka, korban yang sudah tidak lagi bisa membela diri.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.