Kejadian ini terjadi sekitar tahun 2002, bulan Juli. Seorang gadis cilik berpakaian putih-merahnya pulang dari sekolah, senang karena besok tidak perlu bangun pagi alias libur panjang telah berada di depan mata.
Langkah riangnya terhenti saat ia mendengar suara perempuan menangis dari rumah yang ia kenal selama ini sebagai rumah yang sangat asri karena memiliki taman dan ayunan, tak seperti rumahnya yang hanya kontrakan sederhana. Gerbang rumah itu agak terbuka, sehingga ia bisa melihat perempuan yang berseru itu datang dari mobil yang terparkir di sana.
Dengan mata hitam lugunya ia sadar bahwa di dalam mobil putih itu, perempuan yang berseru tersebut tak sendiri melainkan bersama sosok pria di dalamnya. Kenapa perempuan itu menangis? Kenapa si pria tak menolongnya? Gadis cilik itu hanya bisa berlari, ia akan segera bertanya kepada Ibunya setiba di rumah.
Indonesia adalah negeri yang kerap dikenal karena kekayaan akan keberagaman budaya, bangsa yang sopan santun, dan jangan lupakan negeri ini juga dikenal sebagai negeri yang religius. Setiap negara di dunia ini pasti juga memiliki masalah dalam negerinya masing-masing.
Ada yang masih mencari jalan keluar dari masalah kemiskinan, masalah pendidikan, imigran, dan masih banyak lagi. Tak perlu memunafikan diri sendiri, Indonesia juga masih memiliki banyak masalah rumah tangga yang belum terselesaikan, bahkan bertambah akhir-akhir ini karena kekayaan yang disebutkan sebelumnya. Salah satu pekerjaan rumah yang belum diselesaikan adalah masalah kekerasan seksual. Masalah ini bukan main-main, harus segera dicari jalan keluarnya bersama.
Perlu diketahui bahwa, data Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, berdasarkan pemantauan pemberitaan media online selama periode Agustus- Oktober 2017 lalu, MaPPI menyebutkan sedikitnya ada 367 pemberitaan mengenai kekerasan seksual.
Sebanyak 275 di antaranya terjadi di Indonesia. Betul, kekerasan seksual yang kerap terjadi di negeri religius ini. Data MaPPI juga menunukkan bahwa 73% atau paling besar terjadi di Pulau Jawa, diikuti Sumatera (13%), Papua (5%), Bali-NTB-NTT (4%), Sulawesi (3%) dan Kalimantan (2%). Kekerasan seksual paling besar terjadi di rumah yakni 37%. Maka, dari data tersebut disimpulkan bahwa tindakan kekerasan kerap dilakukan orang-orang terdekat korban. Sedangkan kekerasan seksual yang terjadi di sekolah sekitar 11% dan 10% di hotel.
Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan terus naik setiap tahun. Tahun 2017 tercatat 348.446 kasus, melonjak jauh dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 259.150 kasus. Sebagian besar data tersebut bersumber dari kasus atau perkara yang ditangani oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR). Sangat ironi, bukan?
Pada beberapa kesempatan, seorang narasumber kompeten dalam bidangnya pernah mengatakan bahwa sedari tahun 1990-an, Indonesia memang belum memiliki UU khusus tentang kekerasan terhadap perempuan.
Menurutnya di Indonesia ada beberapa peraturan atau UU yang sebenarnya bisa melindungi perempuan terutama korban kekerasan seksual, namun sayangnya hingga saat ini UU tersebut justru tidak diimplementasikan dengan baik. Tambahan darinya pula bahwa kita tidak hanya berbicara soal substansi hokum saja. UU perlu untuk disosialisasikan, digerakkan, dipahami, ditegakkan, proses inilah di kita yang masih belum berjalan.
Jangan kaget, seorang Rieke Diah Pitaloka saja yang seorang anggota DPR-RI dari Komisi VIII yang sekaligus anggota panja untuk Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PK-S) menyatakan bahwa lambatnya proses pengesahan RUU PK-S ini karena masih banyaknya anggota dewan yang menganggap bahayanya RUU tersebut karena berpotensi seperti melegalkan perzinahan, LGBT dan sebagainya.
Hingga saat ini, proses pembahasan RUU PK-S ini masih ada dalam tahap rapat dengar pendapat dan tidak kunjung sampai ke tahap pembahasan draft di komisi VIII DPR RI. Dengan banyaknya perspektif terkait RUU ini, sudah seharusnya segera dilakukan pembahasan draft UU tersebut ke setiap pasalnya.
Sembilan jenis bentuk kekerasan seksual yang sudah ada di dalam draft UU DPR itu agar dimasukkan dan diatur dalam RUU PK-S tersebut yaitu perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual. Semoga saja hal-hal yang disebutkan tidak dihilangkan atau dikurang-kurangkan.
Seberapa penting RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan?
Seberapa penting? Bagaikan manusia yang tiap harinya membutuhkan air dan sesendok nasi. Sepenting itu. Seperti yang telah diketahui bahwa, kekerasan seksual lebih banyak menimpa perempuan yakni mencapai 87%. Tetapi, ada pula 13% kaum pria yang juga mengalami nasib serupa. Para korban atau penyintas kekerasan seksual setidaknya dapat mengalami tiga dampak sekaligus.
‘Hanya’ tiga? Benar, ‘hanya’ tiga dampak, yang tidak ringan bahkan cederung mematikan.
Dampak pertama adalah dampak psikologis. Menurut studi, 79% korban kekerasan dan pelecehan seksual akan mengalami trauma yang sangat mendalam, selain itu stres yang dialami korban dapat menganggu fungsi dan perkembangan otaknya setiap hari.
Masih ‘biasa saja’? Baik, mari ke dampak kedua.
Dampak fisik. Perlu diketahui bahwa kekerasan dan pelecehan seksual pada anak dan dewasa merupakan faktor utama penularan Penyakit Menular Seksual (PMS). Selain itu, korban juga berpotensi mengalami luka internal dan pendarahan. Pada kasus yang parah, kerusakan organ internal dapat terjadi. Bahkan, dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kematian.
Dampak yang juga sama mematikannya adalah dampak sosial. Korban kekerasan dan pelecehan seksual sering dikucilkan dalam kehidupan sosialnya, hal yang seharusnya dihindari karena korban atau penyintas pastinya butuh motivasi dan dukungan moral untuk bangkit lagi menjalani kehidupannya. Bukan sebuah stigma yang mengucilkan mereka.
Edukasi seksual dini juga masih jarang ditemukan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Masih adanya anggapan bahwa perkosaan adalah sebuah aib keluarga sehingga harus disimpan rapat-rapat, membuat korban harus berdiam diri menanggung deritanya. Atau baru-baru ini, seorang korban kekerasan seksual yang secara paksa diterimanya dari sang atasan di kantor karena takut akan kekuasaan dan kehilangan pekerjaan. Hal-hal kecil di atas adalah nyata terjadi bukan sebuah dongeng belaka.
Jika ada yang mengatakan bahwa Indonesia darurat kekerasan seksual, itu benar. Kalimat tersebut bukan hanya sebuah jargon politik belaka. Pekerjaan rumah ini harus segera dicari jalan keluarnya. Butuh berapa banyak lagi gerakan proaktif untuk disahkannya RUU PK-S ini? Butuh berapa banyak lagi Ibu-ibu bangsa yang harus turun ke jalan meneriakan suara mereka? Atau, butuh berapa banyak lagi korban kekerasan seksual di Indonesia tanpa payung hukum dan keadilan, wahai Bapak Ibu Anggota Dewan yang terhormat? Katakan!
“Kira-kira kenapa ya, Bu, perempuan yang aku lihat tadi menangis di mobil? Bajunya juga sobek-sobek aku perhatiin, Bu.”
“’Udah, diemin aja. Kamu gak boleh ikut-ikut. Itu urusan orang dewasa.”
Gadis cilik itu tidak melanjutkan pertanyaannya, ia segera pergi ke kamarnya. Beranjak remaja, lewat celah pintu kamarnya lagi-lagi lewat mata hitamnya ia bisa mendapatkan tangisan sang Ibu, menahan sakit terjangan tangan besar pria yang selama ini ia panggil Ayah. Remaja itu kini mengerti bahwa sebuah rumah yang di dalamnya wanita tidak aman, bukanlah sebuah rumah.
Hingga beranjak dewasa, hingga ia menulis tulisan ini, ia tidak akan bisa melupakan adegan-adegan nyata yang pernah ia saksikan oleh mata kepalanya sendiri. Ia, saksi mata akan kejadian kecil nan menyakitkan di negerinya ini, Indonesia.