Sabtu, April 20, 2024

Buka Hati Nurani Dan Peduli Akan Kekerasan Seksual

Dalam buku Encylopedia of Psychology Pelecehan Seksual adalah aktivitas seksual yang tidak diinginkan, dengan pelaku menggunakan kekerasan, membuat ancaman atau mengambil keuntungan dari korban yang tidak memberikan persetujuan.
 
Kekerasan seksual masih terjadi dan korban dari kekerasan seksual semakin banyak, dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2018 kekerasan seksual di ranah privat/personal tahun ini, incest (pelaku orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga) merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan yakni sebanyak 1.210 kasus, kedua adalah kasus perkosaan sebanyak 619 kasus, kemudian persetubuhan/eksploitasi seksual sebanyak 555 kasus.
 
Dalam kasus kekerasan seksual, ada sistem patriarki yang masih kental dilingkungan masyarakat kita. Patriarki adalah struktur politik yang diciptakan untuk memberi manfaat bagi laki-laki dan juga merupakan ideologi yang telah tertanam dalam diri kita sejak kita masih anak-anak.
 
Dimana dalam teori patriarki lelaki merasa berhak untuk mengontrol perempuan dari segala aspek , lelaki menguatkan kepentingannya dalam suatu struktur sosial yang menghasilkan kekerasan dan pemerkosaan dasar dari hubungan patriarkal. Para aktivis hak-hak perempuan sendiri setuju bahwa kekerasan seksual dan pemerkosaan lebih mengenai tentang dominasi daripada sekedar dorongan seksual.
 
Hal itu juga didukung oleh adanya sebuah penelitian yang dilakukan oleh United Nations Development Fund for Women atau Dana Pembangunan PBB untuk Perempuan (UNIFEM) mengenai penyebab pemerkosaan di Asia-Pasifik yang dimana 73% dari 13.000 pelaku kekerasan seksual yang disurvei mengatakan bahwa mereka memiliki hak untuk berhubungan seks dengan perempuan tanpa adanya persetujuan.
 
Kekerasan seksual yang telah banyak terjadi akan terus ada dalam hubungan sosial kita, jika kita masih menutup mata menutup telinga menutup mulut dan menutup hati nurani kita untuk bersimpati terhadap korban kekerasan seksual. Masyarakat kita cenderung masih berfikir bahwa kekerasan seksual hanya sebuah peristiwa biasa-biasa saja padahal dampak dari kekerasan seksual sangatlah berbahaya bagi kelangsungan aktivitas manusia, terutama bagi perempuan. Kaum perempuan akan selalu diliputi perasaan gelisah ketika ingin keluar rumah dan merasa tidak aman ketika memakai pakaian yang mereka ingin kenakan saat berada diruang publik.
 
Tanggapan pemerintah Indonesia sendiri ditengah serentetan kasus kekerasan seksual dan pelecehan seksual yand dialami perempuan dan anak-anak tahun ini telah disambut secara luas oleh masyarakat pada umumnya, tetapi masih ada kekhawatiran mengenai keberadaan “Rape Culture” yang dimana banyak korban diabaikan dan tidak mendapat keadilan yang semestinya. Budaya pemerkosaan dan praktik menyalahkan korban merupakan fenomena yang saling terkait dan keduanya lazim terjadi dimasyarakat Indonesia.
 
Victim Blaming adalah bagian dari budaya pemerkosaan yang dimana menerima kekerasan terhadap perempuan sebagai hal biasa dan suatu bentuk sikap menyalahkan perempuan atas kekerasan seksual yang mereka alami. Victim Blaming ditandai dengan kecendrungan memihak para pelaku dan cenderung mendengarkan cerita hanya dari versi pelaku, ketika menyalahkan korban masyarakat terbiasa untuk menuduh korban ikut bertanggung jawab atas kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya.
 
Misalnya, mereka mengatakan kasus itu biasa terjadi dikarenakan perempuan mengenakan pakaian seksi, keluar malam sendirian sehingga mengundang pelaku untuk berbuat asusila. Mereka juga cenderung memberikan toleransi pada pelaku sehingga memungkinkan mereka untuk terlepas dari hukuman.
 
Dengan budaya yang menyalahkan korban, banyak penyintas (korban kekerasan seksual) takut untuk melaporkan kasus yang ia alami. Para penyintas khawatir akan mendapat stigma buruk dari masyarakat dan dianggap merusak nama keluarga atau lembaga, mereka bahkan dapat dikriminalisasi karena melaporkan pemerkosaan yang ia alami.
 
Sebuah survei yang diliris oleh National College Women Sexual Victimization pada tahun 2011 menyatakan beberapa alasan mengapa korban permerkosaan memilih untuk diam ketimbang melapor, alasan utama korban berusaha untuk menolak percaya bahwa ada sesuatu yang parah telah terjadi pada dirinya atau secara psikologis telah terjadi penyangkalan. Alasan lain, mereka takut akan disudukan jika pelakunya merupakan orang dekat atau orang yang memiliki pengaruh sosial. Para ilmuwan berpendapat bahwa 67- 84% kasus pemerkosaan tidak pernah dilaporkan, dan Rape, Abuse and Incest National Network (RAINN) menyebutkan angka 68%.
 
Penyintas tentu saja semakin tertindas sehingga mereka menjadi korban untuk kesekian kalinya dan jika ingin membawa kasus yang ia alami ke meja hijau itu sama saja seperti tindakan bunuh diri karena belum tentu masalah akan selesai, alih- alih mendapatkan perlindungan dan penanganan terhadap korban kasus yang dialami penyintas bahkan bias diputar balikkan. Dalam komponen substansi hukum terdapat peraturan perundang-undangan baik materil maupun formal yang cenderung menyulitkan perempuan untuk memperoleh keadilan.
 
Contohnya yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengenal kekerasan berbasis gender yang dimana tak satu pun pasal yang berkaitan dengan bentuk kekerasan seksual yang dikategorikan sebagai kejahatan keasusilaan dan bukan kejahatan atas integritas tubuh perempuan. Dalam hukum formal di KUHP, pengaturan hak perempuan sebagai korban kekerasan belum cukup memadai hal ini dilatarbelakangi oleh cara pandang yang masih bias gender, sikap sebagian besar penegak hukum yang masih dipengaruhi budaya menyudutkan korban, menyebabkan penyelesaian kasus kekerasan seksual tidak mendapatkan ujungnya.
 
Meningkatnya konservatisme dan fundamentalisme agama dalam konteks antikesetaraan gender juga salah satu kendala untuk menegakan hukum yang dimana ada paham bahwa kesetaraan gender merupakan produk barat yang tidak cocok dengan budaya timur.
 
Respons pemerintah pun dipandang reaktif karena memberikan hukuman untuk kejahatan terhadap perempuan dan anak-anak, tetapi tidak melakukan apa pun untuk mengurangi insiden kejahatan semacam itu atau memberikan lebih banyak jaminan keselamatan bagi kelompok yang paling rentan terkena kekerasan seksual dalam masyarakat.
 
Melihat semakin banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi dimasyarakat kita, tentu saja dibutuhkan payung hukum yang kuat bagi para korban kekerasan seksual. Namun yang terjadi sudah dua tahun lamanya Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual bertahan dimeja perundingan di DPR RI dan hingga saat ini belum ada titik terang mengenai kemajuan dari pembahasan RUU ini. Padahal banyak sekali korban kekerasan seksual yang membutuhkan perlindungan dari RUU tersebut.
 
Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual mengisi kekosongan kebijakan terkait penghapusan kekerasan seksual secara menyeluruh dan merupakan upaya untuk mencegah serta mengurangi angka darurat kekerasan seksual di Indonesia.
 
RUU ini pun sangat penting untuk di pelajari serta implementasikan oleh institusi kepolisian dan dibentuknya pelatihan bagi aparat penegak hukum pada level pemula sehingga mereka mempunyai pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana melakukan proses penyidikan dalam kasus kekerasan seksual. Melihat urgensi dari RUU Penghapusan Kekerasan
 
Seksual maka para anggota DPR RI seharusnya mengesampingkan perbedaan yang terjadi antara satu sama lain demi kepentingan yang lebih besar demi perlindungan bagi masyarakat Indonesia dan mulai melihat skala prioritas.
 
Harus berapa banyak lagi korban agar kita bisa membuka diri harus berapa banyak lagi kasus yang terjadi agar kita berbenah diri. Berusaha untuk mengakhiri kekerasan seksual dan budaya pemerkosaan adalah upaya kolektif yang terus-menerus harus kita lakukan dan kita harus mengambil peran kita disana.
 
Seluruh lapisan masyarakat telepas dari gender,status sosial,agama,ras dan etnis harus bahu membahu untuk menegakkan keadilan dibumi pertiwi. Mulailah dengan mendengar terlebih dahulu, jadilah seorang pendengar yang baik karena kekerasan seksual merupakan kejahatan luar biasa yang mengakibatkan gejala jangka panjang.
 
Sikap menyalahkan korban dan budaya memerkosa adalah masalah yang sudah mengakar dalam masyarakat kita, maka dari itu untuk melawannya kita harus selalu mendukung penyintas, tidak hanya saat kasus itu menimbulkan banyak reaksi dipublik tapi setiap saat ketika kita melihat ketidakadilan yang terjadi.
 
Kita juga perlu mengubah cara pandang kita terhadap masalah pemerkosaan, dimulai dengan menghargai jenis pakaian apa pun yang mereka kenakan dan kami para feminist akan terus berjuan memperoleh keadilan demi Indonesia yang lebih baik. Teruntuk para penyintas kalian tidak sendiri, masih ada yang ingin berjalan disamping kalian dan mengulurkan tangan untuk bangkit kembali.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.