Tujuan Nasional Negara Republik Indonesia yang tertulis dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945, salah satunya yakni melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Tujuan tersebut dimaknai dalam arti luas bahwa Indonesia melindungi seluruh warga, tanpa terkecuali termasuk kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, serta kelompok berkebutuhan khusus. Hal terpenting dalam perlindungan yakni kebebasan dari tindak kekerasan.
Dari sudut pandang kelompok rentan, kebebasan dari tindak kekerasan dapat lebih difokuskan mengenai kekerasan seksual. Hal tersebut dikarenakan, kekerasan seksual merupakan momok yang paling menakutkan bagi perempuan. Tanpa melihat waktu, tempat, dan kejadian, kekerasan seksual dapat terjadi dan menimpa perempuan dimanapun keberadaanya.
Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Tahun 2018 mencatat sepanjang tahun 2017 terdapat 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani.
Kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam tiga ranah, yaitu (i) Ranah personal, pelaku merupakan pihak yang memiliki hubungan darah, kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim dengan korban (pacar).
Tercatat dalam Data Pengadilan Agama terdapat 335.062 kasus kekerasan terhadap istri, serta 9.609 kasus lain yang terjadi di ranah personal; (ii) Ranah Publik, pelaku merupakan pihak diluar ranah personal, misal tetangga, guru, teman kerja, tokoh masyarakat, majikan, maupun orang yang tidak dikenal. Tercatat 3.528 kasus yang terjadi di ranah publik; (iii) Ranah Negara, pelaku merupakan aparatur negara dalam kapasitas tugas. Tercatat terdapat 247 kasus yang terjadi di ranah negara.
Kasus kekerasan seksual di Indonesia setiap tahunnya sering terjadi, namun penyelesaian melalui jalur hukum masih kurang memuaskan. Penegakan hukum mengenai kekerasan seksual hanya berpegang pada KUHP. Sedangkan di dalam KUHP sendiri penafsiran kekerasan seksual masih dalam arti sempit yakni hanya seputar perkosaan dan pencabulan.
Faktanya kekerasan seksual memiliki keberagaman kasus. Komnas Perempuan bahkan telah mengidentifikasi terdapat lima belas (15) jenis kekerasan seksual yang terjadi dalam berbagai konteks, sembilan (9) diantaranya perlu dirumuskan dalam hukum positif Indonesia.
Sembilan jenis tersebut merupakan kekerasan seksual yang dapat dinormakan sebagai hukum pidana sesuai konteks hukum pidana Indonesai yang telah berlaku saat ini. Sembilan jenis kekerasan seksual yakni meliputi pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi,pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Komnas Perempuan sedang mengusahakan kepada DPR mengenai Sembilan jenis kekerasan seksual tersebut kedalam Rancangan Undang – Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Sejak tahun 2014, Komnas Perempuan mengupayakan regulasi penghapusan kekerasan seksual kepada Pemerintah, DPR RI, dan DPD RI. Namun, baru di tahun 2016 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk dalam daftar Prolegnas 2015-2019. Hingga kini di penghujung tahun 2018 belum ada perkembangan yang signifikan mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Padahal kasus-kasus kekerasan seksual terus terjadi. Bahkan berita resmi dari Badan Pusat Statistik No.29/03/Th.XX, 30 Maret 2017 menyebutkan satu (1) dari sepuluh (10) perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dalam 12 bulan terakhir. Kasus kekerasan fisik dan/atau seksual cenderung dialami perempuan yang tinggal di daerah perkotaan yakni sekitar 36, 3% dibanding perempuan yang tinggal di daerah pedesaan yakni sekitar 29, 8%.
Fakta lain yang lebih mengejutkan yakni kekerasan seksual lebih banyak dialami perempuan usia 15-64 tahun dengan latar belakang SMA yakni sekitar 39, 4% dibandingkan yang terjadi pada perempuan dengan status pekerjaan tidak bekerja yakni 35, 1%.
Dengan seluruh data kekerasan seksual yang ada serta serentetan kasus yang diberitakan oleh media, apakah tidak menggerakan Pemerintah serta DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Lantas apa lagi yang ditunggu oleh Pemerintah, padahal kasus kekerasan seksual sudah benar-benar terjadi di depan mata, dan sudah terlalu banyak korban kekerasan seksual yang tidak mendapatkan keadilan.
Bukti ketidakadilan yang terjadi pada penyelesaian kekerasan seksual dengan menggunakan aturan yang terus mengacu pada KUHP yakni beberapa korban justru kembali mengalami menjadi korban dalam proses hukum (viktimisasi berulang). Kekurangan lain yang terjadi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum menyediakan hukum acara yang sensitif terhadap korban dan sensitif terhadap gender.
Padahal korban kekerasan seksual biasanya mengalami trauma psikologis, namun dalam KUHAP belum diatur secara spesifik mengenai pendampingan pada korban serta penyediaan ruang yang aman dalam proses peradilan pidana. Jika negara justru gagal menegakkan hukum dalam kasus kekerasan seksual, bagaimana negara bisa mewujudkan cita-cita nasional dalam mensejahterakan dan menciptakan keamanan pada masyarakat pada umumnya.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual hadir sebagai sarana penciptaan ruang aman bagi perempuan. Hal-hal yang dimuat dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak akan bertabrakan dengan aturan yang sudah ada, tetapi justru akan mengisi kekosongan serta memperbaharui rumusan yang telah terdapat pada KUHP, Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), Undang-Undang Pornografi, dan KUHAP.
Sehingga kedepannya diharapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mampu mengkoreksi hal-hal yang belum di atur pada ketentuan yang sudah ada sebelumya. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan menjadi kekuatan hukum baru dalam penegakan perlindungan kekerasan seksual di Indonesia.
Hal lain yang di dapatkan dari adanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah menjadi udara segar bagi para korban kekerasan seksual. Dengan adanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bisa menjadi obat baru dalam mengurangi rasa trauma yang dihadapi oleh korban. Karena keberadaannya benar-benar memperhatikan aspek sensitivitas korban.
Selain memperhatikan keadilan di mata hukum, penghilangan rasa trauma menjadi hal penting yang perlu di perhatikan. Ketika korban mengalami kekerasan seksual, tak hanya mengalami luka fisik tetapi ada dampak lain yang lebih berat yakni berkaitan dengan luka psikis. Dengan diberikannya keadilan di mata hukum, pendampingan selama proses peradilan dan sesudah proses peradilan, diharapkan dapat membangkitkan semangat hidup bagi korban kekerasan seksual.
Hal terpenting adalah dengan penghilangan stereo negative ketika korban kembali ke lingkungan masyarakat. Tanggung jawab negara tidak hanya sebatas memidanakan pelaku, tetapi juga memberikan pemulihan kepada korban. Keberadaan Pusat Pelayanan Terpadu untuk Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang berposisi sangat penting sebagai kepanjangan tangan pemerintah yang mampu mengjangkau keberadaan korban.
Semua mekanisme pencegahan,perlindungan,dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual telah terintegrasi kedalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Oleh sebab itu, menjelang berakhirnya tahun politik ini maka sudah menjadi kewajiban bagi DPR RI serta jajaran Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Referensi :
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Forum Pengada Layanan. 2017. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. Jakarta : Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Badan Pusat Statistika. 2017. Prevelensi Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia,Hasil SHPN 2016. Jakarta : Berita Resmi Statistik No.29/03/Th.XX