Makkah — Tim Media Center Haji (MCH) menemani Abdul Jalil (60), jemaah calon haji (JCH) asal Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah (24/6/2022) yang sedang duduk termangu di tepi Terminal Jiad, dekat area Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi. Dia mengaku ketinggalan rombongan. Seharusnya ia datang ke Terminal Syib Amir untuk kemudian pulang ke pemondokannya di wilayah Jarwal.
Abdul Jalil tampak sangat lelah. Telapak kakinya masih terasa sakit setelah sempat melepuh akibat berjalan tanpa sandal saat berada di Madinah dengan cuaca di atas 45 derajat celcius.
“Saya lupa waktu itu, sandal ditinggal di hotel,” kata Kakek Jalil, saat mulai memberanikan berjalan menuju Terminal Syib Amir, Makkah.
Jalil menceritakan, ia berangkat sebagai jemaah seorang diri. Istrinya tetap tinggal di Tanah Air karena hanya bisa mendaftarkan dirinya untuk pergi haji.
“Justru di sini saya mau mendoakan supaya kelak bisa kembali berhaji bersama istri,” katanya.
Jalil yang berprofesi sebagai petani ini menyebut tidak pernah menyangka bahwa impiannya berhaji jadi kenyataan. Pasalnya, dalam 10 tahun menabung, ia cuma mengandalkan dari hasil panen padi, maupun ketela yang ditanamnya.
“Pertama pas panen padi saya setor Rp25 juta. Lalu terus menabung semampunya. Tapi, setelah 10 tahun, ternyata pada 2020 batal berangkat karena pandemi,” keluhnya.
Ia pun mengaku sangat bersyukur karena di tahun ini Pemerintah Indonesia memberangkatkan jemaah haji.
“Sebenarnya modal saya cuma rajin baca bismilah. Saya mengharuskan diri zikir bismillah minimal 100 kali setiap salat fardu dengan permohonan bisa berhaji,” ungkap Kakek Jalil.
Zikir basmalah itu ia sebut didapat dari ijazah gurunya di Malang, Jawa Timur. Ia mengaku menjalaninya dengan serius lantaran secara logika kemampuan pergi haji itu hanya impian dan sulit diwujudkan secara hitung-hitungan.
“Namanya juga petani, bulan ini panen dan berpenghasilan, beberapa bulan kemudian atau masa tanam kosong penghasilan, malah lebih banyak pengeluarannya,” ujarnya.
Untuk itulah, kata dia, sesakit apapun yang diderita kakinya, ia tetap memaksakan diri untuk salat jemaah di Masjidil Haram.
“Ini sebagai bukti dari rasa syukur,” kata dia.
Apalagi, menurutnya, semua fasilitas haji yang diberikan pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) sudah lebih dari cukup. Ia menyebut, pelayanan di hotel, kesehatan, akomodasi, hingga transportasi melalui operasi bus sholawat selama 24 jam sudah sangat membantu dirinya sebagai jemaah haji.
“Termasuk ketika tersesat dan terpisah rombongan seperti ini, ada petugas yang membantu,” pungkas dia.