Malaysia sedang mabuk kepayang dengan demokrasinya. Kemenangan Pakatan Harapan menaikkan politisi umur 92 tahun, Mahathir Muhammad, menjadi perdana menteri. Dia menjadi politisi tertua di dunia yang memenangkan pemilihan umum dan menjadi kepala pemerintahan.
Prestasi ini memancing beberapa politisi tua bangka Indonesia untuk merasa muda kembali. Mereka tiba-tiba berimajinasi bahwa mereka muda walau jalan pun sudah kelihatan sempoyongan.
Sejak Orde Baru, kita memang menginflasi kemudaan. Batas usia untuk digolongkan sebagai “pemuda” adalah 50 tahun. Ya, lima puluh tahun. Itulah sebabnya Anda melihat manusia-manusia yang sedang mengalami puber kedua masih bisa petantang-petenteng dengan jaket OKP (Organisasi Kepemudaan).
Inflasi ini menyedihkan karena ini tidak lain dan tidak bukan adalah manipulasi dari “pemoeda” yang menggerakkan Revolusi 1945. Revolusi adalah kata yang pada zaman ini sudah kehilangan élan. Dia sudah tidak memiliki imajinasi apa pun. Dia sudah menjadi ritual—yang berbentuk upacara bendera. Sejak 1965, Republik ini sudah tidak sama lagi dengan Republik Indonesia 1945.
Itulah sebabnya, kita tidak melihat orang-orang muda menjadi pemimpin. Bahkan sekarang pun, ketika milenial menjadi kata kunci (buzzword) dalam masyarakat kita, tampak ada usaha menua-nuakan milenial. Saya tidak heran jika politisi seusia Tuan Fadli Zon, misalnya, bisa-bisa merasa diri sebagai bagian dari milenial.
Kita kembali ke Malaysia. Salah satu wajah demokrasi di Malaysia adalah kemudaannya. Demokratisasi memang menghasilkan perdana menteri gaek. Namun tidak demikian di tingkat bawahnya. Malaysia memiliki Menteri Pemuda dan Olahraga yang benar-benar muda. Dia adalah Syed Saddiq Syed Abdul Rahman, yang lahir tahun 1992. Artinya, dia sekarang berusia 26 tahun!
Syed Saddiq berasal dari Parti Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM), yang ada dalam koalisi Pakatan Harapan. Dia juara debat tingkat Asia. Dia menjadi anggota parlemen usia 22 tahun. Dia juga menolak beberapa beasiswa untuk belajar ke Inggris. Termasuk menolak beasiswa Chevening untuk belajar di Oxford.
Beberapa hari yang lalu, Malaysia memiliki Menteri Energi, Teknologi, Sains, Perubahan Iklim dan Lingkungan. Dia seorang perempuan dan berasal dari etnis Cina! Namanya Yeo Bee Yin. Menteri ini baru berusia 35 tahun. Sebagaimana Syed Saddiq, Menteri Yeo adalah anggota parlemen. Dia adalah politisi dengan latar belakang keilmuan yang kuat. Dia adalah insinyur Teknik Kimia. Dia menamatkan studi Master-nya di Cambridge University, Inggris, dengan beasiswa dari Bill dan Melinda Gates Foundation.
Media Malaysia menyebutkan menteri ini sebagai “bad ass”. Dia punya perhatian besar terhadap kemiskinan di Malaysia. Dia terlibat dalam proyek Impian Sarawak yang bekerja di kalangan kaum miskin di negara bagian Sarawak.
Tahun 2015 dia meluncurkan program “Tidak Ada Ampun Untuk Perkosaan” (No Excuse to Rape), sebuah kampanye digital yang diorganisir bersama All Women’s Action Society (AWAM). Dia juga berjuang untuk kesetaraan akses terhadap pendidikan di Malaysia.
Yang menarik, pada awal tahun ini Menteri Yeo meluncurkan buku berjudul “Reimagining Malaysia“. Saya belum membaca bukunya. Namun, judulnya sangat menarik karena ditulis oleh perempuan dari etnis Cina, etnis minoritas yang mengalami diskriminasi, walau tidak separah di Indonesia.
Hal yang paling mengesankan dari karir politik Yeo Bee Yin adalah ketika pada Maret 2017, dia dituduh oleh Ketua UMNO Sungai Besar Jamal Mohd Yunos menyelewengkan dana negara yang diperuntukkan untuk program Skim Mesra Usia Emas (SMUE).
Dia tidak gentar menghadapi tuduhan itu. Dia hadir di kantor Malaysian Anti-Corruption Commission (MACC) pada saat Jamal Yunos bermaksud melaporkannya. Yeo Bee Yin membawa sebuah cermin dan plakat yang berbunyi “Nothing to Hide” yang sedianya akan diserahkan pada Jamal Yunos. Cermin itu tentu adalah sebuah metafora untuk Yunos karena partainya sendiri sangat korup. Yunos akhirnya tidak hadir dan pelaporannya pun batal.
Satu hal yang patut dicatat dari Malaysia adalah bahwa regenerasi politk mereka sejauh ini berjalan dengan baik. Bagaimana dengan kita?
Sebagian besar—kalau tidak seluruh politisi kita—adalah warisan Orde Baru. Bahkan mereka yang beroposisi terhadap Orde Baru pun sesungguhnya adalah bagian dari Orde Baru juga. Satu-satunya logika kekuasaan yang mereka mengerti adalah logika kekuasaan Orde Baru. Sehingga tidak terlalu mengherankan ketika mereka menghadapi masalah, referensi mereka dalam bertindak adalah Orde Baru pula.
Kita tidak perlu terlalu heran bila mereka yang dulu sangat anti Orde Baru tiba-tiba melakukan sesuatu yang sesungguhnya sangat Orbais. Orde Baru adalah sebuah episteme yang sulit sekali untuk ditanggalkan.
Itulah juga sebabnya intelektual yang paling rasional sekalipun, atau agamawan dengan pegangan moral sekokoh granit, tidak akan bersuara tentang pembantaian massal 1965. Mereka membisu dari invasi dan aneksasi Timor Leste yang menghilangkan sepertiga penduduknya. Mereka tertunduk tidak mau menyuarakan keadilan untuk pembantaian massal di Aceh dan Papua.
Ketika Pakatan Harapan memenangkan pemilihan umum, saya punya firasat, sekali Malaysia melepaskan belenggu mereka, negara ini akan melesat maju dalam segala bidang.
Dengan menteri seperti Yeo Bee Yin, anak muda dengan pikiran segar dan kemampuan untuk melakukan ‘reimajinasi’ terhadap negaranya, apa yang tidak akan bisa ditaklukkan oleh Malaysia di masa depan?
Kita? Kita tertinggal dengan politisi tua, rongso, tanpa ide, dan tanpa imajinasi. Kita tidak mampu karena kita tidak mau keluar dari episteme Orde Baru.