Sabtu, April 20, 2024

Trinitas yang Tidak Qur’ani, untuk Mun’im Sirry

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.

Memperkaya wawasan tentang bangunan keyakinan umat agama lain merupakan hal yang positif. Namun, memaksakan keyakinan satu agama untuk mengamini kebenaran agama yang lain merupakan kemubaziran. Dan kemubaziran itulah yang kerap ditunjukkan oleh Mun’im melalui tulisan-tulisannya.

Tulisannya yang lalu, yang ia beri judul trinitas qur’ani, adalah contoh sempurna dari kemubaziran itu. Tulisan yang tampak berlebihan dan memaksa-maksakan. Kesan utama yang bisa kita tangkap dari tulisan itu ialah upaya untuk mencari landasan teologis atas konsep trinitas dari kitab suci al-Quran.

Melalui tulisannya, Mun’im ingin membuktikan bahwa al-Quran telah menyediakan kerangka dasar untuk konsep trinitas. Padahal, kalau saja Mun’im mengutip ayat al-Quran secara holisitis, bukan secomot demi secomot layaknya teroris, niscaya penolakan al-Quran atas konsep trinitas (dan tritseisme) itu merupakan hal yang terang benderang (Lihat, misalnya, QS: [5]: 17, 72-73, 75, [9]: 31, [4]: 171 dan ayat-ayat lainnya).

Dalam trinitas, misalnya, Yesus diyakini sebagai Tuhan. Dan Mun’im sendiri tak akan bisa mengingkari itu. Yesus itu, dalam pandangan orang Kristen, merupakan firman Tuhan. Dan karena dia firman Tuhan maka dia adalah Tuhan. Pertanyaannya: Apakah al-Quran bisa mengimani keyakinan semacam itu? Apakah keyakinan yang menuhankan manusia itu bisa diterima dalam ajaran Islam?

Perlu Anda ketahui bahwa sampai sekarang tidak ada satu sektepun dalam Islam yang menuhankan Nabi Muhammad Saw. Ajaran yang menuhankan manusia memang sangat tidak masuk akal. Dan karena itu ia sudah pasti bukan berasal dari Tuhan. Selain tidak masuk akal, ajaran semacam itu juga tidak pernah diajarkan oleh para nabi terdahulu.

Sekiranya ajaran yang mempertuhan manusia itu diajarkan oleh para nabi, niscaya Nabi Muhammad juga berhak untuk menyandang gelar ketuhanan itu. Tapi faktanya tidak. Tidak ada nabi yang mengklaim dirinya sebagai Tuhan. Karena itu, selain problematik secara teologis, konsep trinitas juga bermasalah dari sudut rasional-historis.

Firman Tuhan Bukan Tuhan

Dalam al-Quran, Yesus memang disebut sebagai kalimat (Q 4: 171). Selaras dengan ayat al-Kitab yang menyebut Yesus sebagai firman. Meminjam terminologi ilmu kalam, Yesus itu merupakan kalâmullah (firman Allah). Dan kalamullah itu qadîm (Mun’im menyebutnya eternal), karena dia merupakan sifat berada dalam Dzat Tuhan. Umat Islam juga berkeyakinan bahwa kalâmullah itu qadîm. Tapi kalâmullah apa yang dimaksud? Di sinilah saya kira perbedaan itu perlu untuk kita jelaskan.

Dalam Islam, kalâmullah yang diyakini sebagai sesuatu yang qadîm adalah sifat—sekali lagi sifat—yang berada dalam Dzat Tuhan. Bukan persona ataupun dzat seperti yang diimani oleh orang-orang Kristen. Dengan ungkapan yang lebih singkat, kalam yang qadîm itu hanya sekedar makna yang berada dalam dzat (qaim biddzat). Dan karena ia hanya sekedar makna, maka dia tidak bisa disebut sebagai Tuhan. Dia adalah salah satu dari sifat Tuhan, bukan Tuhan.

Jika dalam keyakinan umat Kristiani kalâmullah itu menubuh dalam bentuk jasad manusia, yakni Yesus, maka dalam Islam kalâmullah itu mewujud dalam bentuk teks, yakni al-Quran yang sering kita baca itu. Umat Kristen meyakini kalâmullah itu sebagai Tuhan, dan karena itu Yesus, yang diyakini sebagai kalâmullah adalah Tuhan, karena dia ada bersama Tuhan.

Tapi sekarang saya mau tanya: Apakah ada kelompok dalam Islam yang mengimani al-Quran sebagai Tuhan? Tidak ada. Baik Ahlussunnah maupun Muktazilah semuanya sepakat bahwa al-Quran yang kita baca itu adalah makhlûq (sesuatu yang tercipta). Dan itulah yang oleh kalangan Ahlusunnah dinamai sebagai kalam lafzhi (firman yang terlafalkan).

Perbedaan mereka hanya terletak dalam soal kalam nafsi. Yakni kalam yang nir-huruf, nir-bahasa, dan nir-suara yang berada dalam Dzat. Ahlussunnah meyakini keberadaan kalam nafsi itu. Tapi Muktazilah menolak. Karena bagi mereka kalam itu hanyalah yang terlafalkan. Tidak ada yang namanya kalam nafsi dalam keyakinan Muktazilah. Kalaupun ada, kata mereka, apa yang diyakini sebagai kalam nafsi itu kembali pada dua sifat, yaitu ilmu dan irâdah (kehendak).

Lepas dari perbedaan itu, semuanya sepakat bahwa al-Quran yang kita baca itu adalah makhlûq. Tidak ada orang Islam yang menyebut firman Tuhan itu sebagai Tuhan, seperti halnya orang Kristen. Karena dia makhlûq, maka dia memiliki permulaan. Dan sesuatu yang memiliki permulaan tidak mungkin kita sebut sebagai Tuhan.

Jika merujuk pada penjelasan ini, maka Yesus juga harusnya diyakini sebagai makhlûq, karena dia juga merupakan kalâmullah yang menubuh dalam bentuk jasad. Dan setiap jasad pastilah memiliki permulaan. Logika yang sehat harusnya mengatakan itu.

Lalu bagaimana dengan kata ruh? Dalam al-Quran dinyatakan bahwa Yesus merupakan ruh yang berasal dari-Nya (4: 171). Namun, penting dicatat bahwa hal tersebut tentu tak bermakna bahwa Tuhan memiliki ruh. Karena ruh merupakan sesuatu yang tercipta dan memiliki permulaan. Sementara Tuhan adalah pencipta yang tidak memiliki permulaan.

Lalu apa maksudnya? Penisbatan ruh kepada Allah itu bukan nisbat al-Idhâfah (nisbah penyandaran), melainkan nisbat al-Tasyrif (nisbah pemuliaan). Sama halnya ketika Anda berkata baitullah (rumah Allah), misalnya. Apakah dengan mengatakan begitu Anda berkeyakinan bahwa Allah punya rumah, dan Dia berdiam di dalam rumah itu? Tentu saja yang dimaksud bukan itu. Penisbatan kata rumah kepada Allah itu merupakan nisbat pemuliaan, bukan nisbat penyandaran.

Begitu juga halnya ketika Isa disebut sebagai ruhullah. Kata tersebut mengandung makna pemuliaan terhadap Isa. Ruh Isa adalah ruh yang dimuliakan oleh Tuhan. Dia tercipta tanpa ayah. Dan karena ia tercipta maka dia adalah makhluk, bukan Tuhan. Dan memang al-Quran memandang Isa sebagai makhluk yang mulia.

Tapi tak ada satu ayatpun dalam al-Quran yang bisa Anda jadikan dasar untuk melegitimasi keyakinan bahwa Isa (Yesus) adalah Tuhan. Baik keyakinan yang mengatakan Yesus adalah Tuhan, atau Tuhan adalah Yesus, kedua-duanya merupakan keyakinan yang tertolak dalam al-Quran.

Karena itu, upaya untuk mencari landasan teologis atas konsep trinitas dari al-Quran adalah upaya sia-sia belaka. Al-Quran dengan tegas menyatakan: “jangan katakan tiga.”  (lâ taqûlû tsalâtsah) (QS: [4]: 171). Ayat ini, dalam hemat saya, sudah mencerminkan penolakan qur’an atas trinitas dan tritseisme sekaligus.

Kalau ada yang bertanya mengapa Yesus tidak bisa disebut sebagai Tuhan? Al-Quran memberikan jawaban yang simpel dan mudah dicerna, “karena Yesus dan ibundanya biasa memakan makanan” (ya’kulâni al-Tha’âm) (QS [5]: 75) . Makan makanan itu merupakan simbol akan kebutuhan sesuatu pada sesuatu yang lain. Sesuatu yang butuh tak layak disebut sebagai Tuhan. Karena itu, baik Musa, Isa, maupun Muhammad semuanya adalah manusia yang dipercaya sebagai utusan Tuhan, bukan Tuhan.

Sementara orang Kristen mengimani Isa sebagai Tuhan. Alhasil, trinitas yang diimani oleh umat Kristiani bukanlah trinitas qur’ani. Upaya apapun yang dilakukan untuk mencari landasan teologis atas konsep trinitas dari al-Quran pastilah akan berakhir dengan kegagalan. Dan Mun’im bukanlah pengecualian dari orang-orang yang gagal itu. Demikian, wallâhu ‘alam bisshawâb.

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.