The China Rule. Bukan. Ini bukan soal bangsa China. Dalam bahasa Inggris, China adalah barang-barang yang berhubungan dengan keramik. Piring, mangkok, patung-patung, hiasan dinding, dan lain sebagainya.
Ada kiasan dalam bahasa Inggris yang disebut “the China rule: you broke it, you own it!” Kiasan ini berasal dari toko keramik. Jika Anda masuk toko keramik, lalu menyenggol barang di sana, jatuh, pecah, nah Anda otomatis memiliki keramik yang pecah itu. Anda tentu harus bayar.
Kiasan itu saya pakai untuk demo yang berujung kerusuhan yang sudah berlangsung sejak 21 Mei lalu dan agaknya akan terus berlanjut.
Sudah jauh-jauh hari kubu Prabowo menuduh kecurangan dalam Pilpres kali ini. Ketika hasil hitung cepat keluar beberapa jam setelah pencoblosan mereka menuduh lembaga-lembaga survei berpihak pada lawannya.
Setelah perhitungan KPU memperlihatkan mereka akan kalah, mereka mulai menuduh kecurangan. Semakin hari semakin kencang saja teriakan kecurangan itu.
Ketika diminta bukti, mereka ngeles sana-sini. Tapi membual bahwa telah terjadi kecurangan di puluhan ribu TPS. Mereka mengklaim sedang mengumpulkan bukti.
Saat benar-benar datang ke Bawaslu, nyatalah mereka miskin bukti. Bahkan berita-berita daring yang tidak jelas pun mereka ajukan sebagai bukti.
Bisa ditebak, Prabowo menolak mengakui hasil Pilpres. Dia ngomel Senin Kamis akan kecurangan Pemilu. Itu diikuti oleh para gedibalnya.
Kelakuan ini sebenarnya tidak berbeda dengan 2014. Mereka omong besar di depan, kempes kemudian. Setelah kalah telak di MK dengan seluruh gugatan ditolak, mereka mengibas-ibaskan ekor, dan diam-diam pergi.
Kali ini ‘game‘ mereka agak berbeda. Situasi politiknya berbeda. Sejak 2016, Prabowo mendapat dukungan dari kekuatan Islam Kanan. Koalisi ini berhasil mencokok kursi gubernur DKI.
Dengan dukungan ini, Prabowo memiliki massa militan. Golongan pendukungnya belum tentu memiliki agenda yang sama dengan Prabowo. Saya kira dia tahu persis itu. Tapi siapa peduli, yang penting berkuasa dulu.
Saya kira, itulah yang melandasi keyakinan Prabowo. Para gedibalnya mulai menyerukan ‘people power.’ Kemudian mereka ubah menjadi ‘Gerakan Kedaulatan Rakyat.’ Mereka hendak menggugat ‘kecurangan-kecurangan’ pemilu lewat aksi jalanan.
Hasilnya kita lihat sekarang ini. Nyawa-nyawa hilang percuma. Harta benda dibakar atau dirusak. Prajurit-prajurit rendahan harus berhadapan dengan sesama kaum kere. Dari TV saya bisa melihat bahwa prajurit-prajurit polisi ini kelelahan. Sebagian besar dari mereka juga berpuasa.
Sementara, saya dikirimi beberapa foto yang memperlihatkan orang-orang yang biasa mengompori gerakan ini ‘memantau’ dari hotel-hotel mewah. Gila, memang.
Kita tentu bertanya, apakah kalkulasi Prabowo untuk mengadakan Gerakan Kedaulatan Rakyat ini? Apakah dia salah melakukan kalkulasi? Apakah yang ingin dia dapatkan?
Saya kira, Prabowo tahu persis situasi seperti dalam ‘China rule‘ di atas. You broke it, you own it, and you have to pay the price. Prabowo dan para gedibalnya yang menginisiasi gerakan ini.
Merekalah pemilik gerakan ini. Mereka tidak bisa mengatakan bahwa massa kami berbeda dengan massa perusuh. Karena sulit membedakan mana massa Prabowo dan mana yang massa perusuh. Sebagian dari partisipan gerakan ini memang sudah bersiap untuk rusuh.
Yang lebih penting adalah massa perusuh itu tidak akan ada jika tidak ada Gerakan Kedaulatan Rakyat.
Sebagai orang yang tahu persis peta politik keamanan Indonesia, saya kira, mustahil Prabowo tidak tahu akan soal ini. Di antara gedibal-gebidalnya banyak sekali jendral yang memiliki ilmu intelijen yang mumpuni. Banyak dari mereka yang adalah juga ahli ‘penggalangan’ (mobilisasi).
Mereka juga pasti tahu persis bahwa dalam ‘China rule‘ ada juga variannya. Bisa jadi orang lain yang memecahkannya, tapi Anda tetap yang dituduh, Anda harus memilikinya dan harus membayar :P
Berapa dari Anda yang masih ingat akan Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari)? Ini terjadi pada tahun 1974. Ketika itu, para mahasiswa berdemonstrasi menentang kunjungan PM Jepang Tanaka Kakuei.
Para mahasiswa ketika itu melakukan protes atas korupsi dan kedekatan para asisten pribadi Suharto terhadap Jepang. Demonstrasi itu berubah menjadi brutal pada sore harinya dengan pembakaran mobil-mobil buatan Jepang.
Lama sesudahnya baru diketahui bahwa demo ini berubah menjadi kerusuhan akibat provokasi dari agen-agen Opsus yang diketuai oleh Ali Moertopo, yang adalah juga asisten pribadi Suharto.
Peristiwa Malari itu menjadi ilustrasi bahwa mengumpulkan massa dan mengorganisasi itu sama sekali tidak mudah. Anda tidak bisa mengontrol siapa yang ada.
Hanya waktu, saya kira, yang bisa menilai apakah Prabowo melakukan miskalkulasi dengan mengompori massa-nya militan, tetapi orang lain yang membakar.
Apapun yang terjadi, Prabowo pemilik kerusuhan ini. Dia yang harus membayar. Dia yang harus bertanggungjawab. Juga para gedibalnya yang saban hari mengompori massa dengan teriakan, hasutan, dan kadang tangisan.