Konon di kalangan para peneliti sosial-pembangunan beredar istilah “Penelitian Helikopter”. Sebuah istilah yang menunjukan aktivitas penelitian yang tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya karena dia hanya berputar-putar saja diatas. Tidak turun ke bawah untuk memotret apa yang sesungguhnya terjadi di tengah masyarakat. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa “Penelitian Helikopter” adalah fake research atau penelitian palsu.
Penelitian palsu inilah yang sering dilakukan lembaga donor dunia seperti World Bank. Penelitian-penelitian yang dilakukan, disinyalir hanya untuk melegitimasi tujuan lembaga pembangunan dunia dalam mengeksploitasi negara dunia ketiga demi kepentingan negara maju. Konon bila seorang peneliti memberikan saran dan rekomendasi yang akan merugikan lembaga dunia tersebut, dipastikan jasa peneliti tersebut tidak akan dipakai lagi.
“The Boy Who Harnessed The Wind” yang tayang di Netflix bukan film tentang IMF atau World Bank, juga bukan film tentang tata cara meneliti sesuai kaidah ilmiah. Ini adalah film berdasar kisah nyata tentang seorang anak umur 13 tahun bersama ayahnya yang berjuang menghadapi ancaman kelaparan di desanya. Namun dalam film ini disinggung tentang kebijakan IMF dan World Bank, walau diungkapkan hanya sekian detik, yang pada dasarnya sudah membuat negara mereka yang terbelakang makin terbelakang dan terpuruk.
Saran dan kebijakan IMF dan World Bank tidak hanya membuat Malawi jatuh kepada ancaman kekurangan pangan, tetapi juga penjarahan dan pembunuhan sesama warga sipil karena kekurangan pangan.
Sindiran “The Boy” di Netflix terhadap IMF dan World Bank ini, akan mengingatkan kita kepada sindiran Angelina Jolie dalam film First They Killed My Father yang menceritakan genosida seperempat populasi warga Kamboja sepanjang 1975-1979.
Sebuah pembunuhan massal di kawasan Asia yang sangat mengerikan dan memilukan. Genosida yang terjadi di Kamboja itu, menurut Jolie juga disebabkan oleh kebijakan Luar Negeri Amerika masa Nixon. Waktu itu Nixon merubah kebijakan luar negeri Perang Vietnam menjadi Perang Indo China. Akibatnya, Kamboja yang dikenal negara netral, terkena imbasnya. Amerika memborbardir perbatasan Kamboja-Vietnam dan diperkirakan telah menewaskan 300 ribu orang. Amerika Serikat mempunyai andil besar dan bertanggung jawab terhadap terjadinya salah satu genosida mengerikan dalam sejarah dunia modern.
Sindiran “The Boy” ini juga seolah memperkuat pandangan beberapa kalangan bahwa pada dasarnya bantuan lembaga donor atau bantuan negara maju ke negara dunia ketiga, adalah pangkal eksploitasi terhadap negara-negara di dunia berkembang dan terbelakang. Interaksi negara-negara Selatan, yang terbelakang, dengan negara Utara, yang maju, seperti ciuman maut seorang pangeran terhadap seorang putri yang tidak menjadikannya seorang wanita cantik, tapi justru menjadikannya seekor kodok yang kerdil dan menjijikan.
Dalam“The Boy” misalnya diungkapkan tentang rencana negara, berdasar masukan IMF dan World Bank, yang ingin memasifkan penanaman pohon tembakau untuk meningkatkan pendapatan negara. Berdasar masukan tersebut, perluasan lahan penanaman tembakau yang dilakukan perusahaan multi nasional itu, bukan hanya dilakukan secara membabi buta, tetapi juga dilakukan dengan tidak mempertimbangkan kondisi lingkungan Malawi. Setelah masyarakat diming-imingi untuk memberikan lahannya kepada perusahaan multi nasional, lalu perusahaan multi nasional menebang semua pohon yang ada dan menanam tembakau.
Langkah inilah yang membuat Malawi berada dalam ancaman kelaparan dan rakyatnya saling membunuh karena berebut makanan. Karena Malawi adalah daerah yang sangat bergantung pada hujan dengan intensitas hujan yang jarang. Pohon-pohon yang dibabat habis perusahaan multi nasional tembakau, tidak hanya berfungsi menahan air sehingga tidak terjadi banjir seperti di Mozambik, tetapi juga menjadi penyerap air dan menjadi cadangan ketika musim kemarau datang. Ketika pohon-pohon tersebut dibabat habis demi tembakau, maka ketika hujan turun banjir otomatis datang. Banjir di Malawi mungkin tidak membawa korban nyawa, tetapi banjir tersebut sudah menghabisi menghabisi semua tanaman. Terjadilah gagal panen.
Masalah bertambah rumit manakala hujan dan kemarau di Malawi datang silih berganti secara periodik. Masa datang hujan, adalah masa menanam untuk mempersiapkan diri menghadapi masa kemarau panjang. Ketika pohon di tebang, musim hujan bukan masa menanam, tetapi masa ketika tanaman habis karena banjir. Karenanya, masyarakat tidak bisa mempersiapkan makanan menghadapi masa kemarau. Akibatnya, terjadilah kelaparan dan masyarakat saling menjarah untuk mendapatkan makanan.
Dalam kondisi seperti inilah William Kamkwamba (Maxwell Simba) anak umur 13 tahun yang berkreasi membuat listrik tenaga angin untuk mengalirkan air dari sumur ke ladang-ladang. Berkat inovasi ini, orang di desanya tidak hanya bisa bercocok tanam di kala musim hujan, tetapi juga di masa musim kemarau. Menanam dan memanen bisa dilakukan sepanjang tahun, tidak lagi bergantung pada datang nya hujan. Inovasi William sendiri muncul bukan hanya karena ketertarikan William terhadap sains, tetapi juga internalisasi William terhadap desa nya. William tinggal di sebuah Desa dengan hembusan angin kuat sehingga bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi.
Ketika kita memahami film Netflix ini dalam kerangka strategi pembangunan, kita jadi melihat ada sesuatu yang perlu dikoreksi dari strategi pembangunan yang selama ini digembar-gemborkan lembaga pembangunan dunia. Ada ketidaksinkronan antara strategi pembangunan yang dirancang teknokrat di negara maju, dengan keadaan di negara terbelakang atau berkembang. Ketidaksinkronan ini pada akhirnya alih-alih menyelesaikan masalah yang ada, tetapi justru melanggengkan permasalahan. Malah dalam banyak hal bisa jadi itu hanya upaya negara maju untuk menghisap negara berkembang.
Namun hal yang menarik juga, bila kita lihat film Netflix ini dalam perspektif pendidikan. Karena film ini bukan hanya menceritakan tentang William yang antusias untuk sekolah mempelajari sains tetapi diusir karena tidak mampu bayar uang sekolah, tetapi juga tentang ayah William, Trywell Kamkwamba (Chiwetel Ejiofor), yang menurut kakak nya yang penjudi, Jeremiah Kamkwamba (Robert Agengo), lebih banyak menghabiskan uang nya untuk sekolah anak-anaknya ketimbang untuk ladang nya.
Ketika seorang William yang antusias terhadap sains lalu membuat pembangkit energi tenaga angin, kita tidak hanya melihat seorang anak yang mempunyai kecerdasan dalam bidang mekanik, tetapi juga melihat seorang anak yang tahu situasi dan kondisi alam yang dihadapinya. William seperti seorang anak yang menginternalisasi Desa tempat dia tinggal. Dia tahu dan mengenal Desa nya. Dia melihat angin, yang menjadi kelebihan di daerahnya, sebagai sumber energi dan sumber solusi dari permasalahan ancaman kelaparan yang dihadapi desanya.
Melihat apa yang terjadi dalam film Netflix ini, mungkin inipula salah satu permasalahan pendidikan yang sering kita temui di kehidupan kita sekarang ini. Melalui buku-buku pendidikan yang beredar di masyarakat, kita melihat seolah anak-anak kita dijauhkan dari alam dan realitas yang sedang dia hadapi dan dihadapkan dengan realitas yang tidak dia hadapi. Banyak buku sekolah yang menceritakan dengan mendetail tentang apa itu salju ketimbang menceritakan apa itu lautan dan hutan. Padahal bila yang pertama adalah hal yang jarang, bahkan tidak ada, di negara kita, sementara yang kedua dan ketiga adalah realitas kita sehari-hari. Dalam jangka panjang, kita khawatirkan anak-anak sekolah hanya tahu sedikit akan alam yang jauh dari jangkauan dan pada saat bersamaan tidak mengenal dan memahami alam yang dia hadapi.
“The Boy Who Harnessed The Wind” adalah film drama Inggris tahun 2019 yang disutradarai dan dibintangi Chiwetel Ejiofor berdasar memoar, dengan judul sama, oleh William Kamkwamba dan Bryan Mealer. Film produksi BBC film dan Participant Media ini dipegang hak distribusi nya oleh Netflix. Menurut The Guardian, film ini adalah “Chiwetel Ejiofor’s charming directorial debut”. Sementara itu, mengutip Robert Abele dalam Los Angeles Times, rotten tomatoes mengatakan bahwa “The Boy Who Harnessed the Wind” – feeds our hunger for inspiring tales in these desperate times with a beautifully engineered narrative latticework of hardship, hope, and know-how