Salah satu narasi arus utama yang lalu-lalang di jagat media sosial terkait dengan argumen pembenar inisiatif revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi adalah adanya talibanisasi di internal KPK. Propaganda ini digoreng ibarat berbagai macam masakan; ada masakan ala daging balado, daging rendang, daging semur segala rupa. Intinya, untuk mempengaruhi pola pikir khalayak publik akan ancaman nyata bahaya Taliban/ISIS/Wahabi/HTI/takfiri/Islamis-Anarcho yang mengancam keutuhan negeri kita dari rumah KPK.
Pertama-tama saya geli dengan logika ini, karena propaganda sarat micin ini tersebar dari para buser dan endorser yang itu lagi itu lagi. Diolah dengan analisa sok keren yang sering kali menghina akal sehat oleh mereka yang sok iye. Namun, selanjutnya setelah saya pikir lagi, saya jadi miris dan sedih karena ternyata twit dan dengungan mereka termakan oleh netizen: ada virus Taliban, Islam garis keras yang tumbuh di KPK menyerang Indonesia.
Yang saya bayangkan saat ini adalah, saat ini pelan-pelan kita menuju pada suasana demokrasi iliberal yang tengah terkonsolidasi. Sebuah demokrasi di mana, selain hak sipil dan politik semakin melemah, juga pengawasan dan kontrol terhadap penyelenggaraan negara semakin melemah dan berpotensi dihancurkan. Ketika kesemua itu bekerja melalui penciptaan persetujuan (manufacturing consent) yang dibentuk oleh banyak kalangan netizen dan dilakukan sambil ketawa-ketawa.
Bayangkan, ruang penciptaan tata kelola bernegara kita dibunuh pelan-pelan dan kita merayakannya sambil bersuka-cita, penuh humor dan guyonan sok filsuf! Saya sendiri juga enggak suka dengan kelompok ekstrem kanan dan berkali-kali saya bertengkar ribut adu mulut dengan mereka. Tapi, coba perhatikan kembali, kontradiksi utama, jantung persoalan kita itu bukan di Taliban atau Wahabi, bos!
Semua itu akibat ketimpangan sosial yang menguat, institusi publik yang tidak responsif melayani warga, janji modernitas berupa mobilisasi vertikal dan kesejahteraan yang didapat melalui jenjang pendidikan yang teringkari, disfungsi tatanan politik dan dominasi pasar dan tirani institusi finansial tanpa batasan politik di negara neoliberal dan penjarahan sumber daya negara oleh kekuatan oligarki melalui praktik korupsi di negeri kita.
Semua hal itu memunculkan reaksi balik berupa fanatisisme nasionalis kanan, rasisme kulit putih dan antiimigran serta ekstremisme beragama di negeri kita.
Pendeknya, jangan terbolak balik menempatkan mana kontradiksi pokok dan respons terhadapnya. Negara dijarah dan dirampok oleh oligarki itu masalah pokok kita; tampilnya kelompok garis keras itu respons reaksioner atas problem pokok kita.
Jadi, lucu kalau institusi yang bekerja untuk menghantam praktik penjarahan sumber daya negara dihabisi dengan logika Taliban. Ini lagi saya mau bilang ya soal argumen Taliban. Dulu pas pemilihan presiden banyak survei bilang bahwa sarang Taliban atau kalangan fundies itu di tubuh aparatur sipil negara (ASN). Kalau memang demikian, lalu kenapa respons presiden justru membatasi bahwa pegawai KPK harus ASN?
Kenapa presiden justru tidak tetap membuka partisipasi lebih luas dari masyarakat sipil sebagai pegawai KPK, kalau masalah fundies dan talibannya justru pada ASN. Ini kan bunuh diri logika namanya, bray!
Bacaan terkait
Denny Siregar dan Usaha Merobohkan Independensi KPK
Berburu Dukun Santet Bernama Radikalisme