Jumat, April 19, 2024

Ternyata Singapura Tak Ada Apa-apanya Dibandingkan Indonesia (2)

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.

Kedelapan, soal bukti lebih meyakinkan lagi bahwa pria-pria Singapura lebih pengecut dibandingkan pria-pria Indonesia. Ketika saya makan di sebuah resto pinggir jalan di kawasan Bencoolen, di setiap meja ada tulisan larangan merokok, dengan tulisan ‘By Law’ yang dicetak lebih besar dibandingkan huruf lainnya.

Adakah yang berani melanggarnya? Tidak ada. Pengecut, bukan? Sampai kemudian ada seorang bapak yang datang sendirian, memesan makanan dan minuman, lalu dengan tenang menyalakan rokoknya sebelum pesanannya datang. Tatapan orang-orang tak ia hiraukan, tampak nikmat betul dia menghisap rokoknya. Lalu, teleponnya berdering. Seketika itu terdengar logat Jakarta.

Orang-orang menggelengkan kepala, namun juga tampak mafhum. Tentu, keberanian pria Indonesia dalam menentang maut dan melawan aturan bukanlah sesuatu yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Pastilah sudah kondang luar biasa.

Kesembilan, bukan cuma lelaki Indonesia yang terkenal keberaniannya, saya juga mendapati perempuan asal negeri saya yang tak kalah dahsyat, walau kesadaran soal ini datang belakangan.

Salah satu aktivitas saya di Singapura adalah menonton musikal Aladdin di Marina Bay Sands. Ketika ruangan sudah gelap, ada dua orang yang bisa saya lihat dari sudut mata saya masih saja membaca di layar ponsel. Tentu, seperti saya, para penonton lain yang berada di dekatnya juga terganggu. Ketika musikal berhenti untuk istirahat 15 menit, telinga saya mendengar perempuan yang terdekat itu bicara dalam bahasa Indonesia.

Tak laki-laki tak perempuan, warga negeri saya memang pemberani. Dia tak takut ditegur  petugas, apalagi cuma sesama penonton. Itu jelas kesimpulannya. Dan, ketika masuk ke paruh kedua, dia ternyata tak lagi masuk. Bangku itu kosong. Jelas pula, selain pemberani, dia adalah perempuan yang mapan. Ia tak keberatan membayar penuh untuk menonton separuh pertunjukan musikal. Padahal, tiketnya tak bisa dibilang murah.

Kesepuluh, pemerintah Singapura, sama dengan rakyatnya, menunjukkan sifat yang jauh dari pemberani. Sikap mereka atas perubahan iklim dan rokok elektronik menunjukkan itu. Perubahan iklim itu mereka bicarakan dengan serba takut. Silakan periksa berita-berita soal ini. Naiknya muka air, kehilangan biodiversitas dan ruang terbuka hijau, juga risiko kekurangan air mereka bicarakan seakan-akan itu pasti terjadi. Tindakan-tindakan disusun rencananya hingga beberapa dekade ke depan. Paranoid.

Bangsa Indonesia jelas lebih berani. Walaupun kita negara kepulauan, kita tak cerewet tuh bicara soal pulau-pulau yang bakal tenggelam. Kehilangan biodiversitas sudah sangat biasa buat kita. Sebagai bekas juara dunia kecepatan hilangnya hutan, apa yang terjadi sekarang itu tidak ada apa-apanya.

Ruang terbuka hijau di perkotaan kita sudah sangat kecil, tapi kita tetap percaya diri menatap masa depan. Para pemimpin kota malah sibuk menjelaskan bahwa harga tanah yang mahal lebih baik dipergunakan untuk aktivitas komersial. Singapura yang sibuk menambah ruang terbuka hijau hingga atap gedung dan meluaskan kebun raya, tentu cuma punya nyali seujung kuku Indonesia. Kekeringan? Kita sudah biasa tuh. Tak perlulah meributkan hal-hal yang membantu rakyat menjadi tabah, tawakal, dan tahan banting.

Satu lagi bukti bahwa pemerintahan di sini penakut luar biasa itu adalah soal rokok elektronik. Belum apa-apa sudah dilarang. Dalihnya, sih, prinsip kehati-hatian alias precautionary principle. Ke mana larinya jiwa petualangan mereka? Seharusnya mereka mencontoh Pemerintah Indonesia yang mengizinkannya, walau tanpa didahului riset yang memadai.

Soal anak-anak yang kini banyak menghembuskan asap rokok elektronik lewat alat-alat beraneka bentuk yang bisa dibeli di tiap pengkolan, soal isinya yang sudah beberapa kali diselipi narkotika, itu bukan masalah. Itu adalah harga yang harus dibayar untuk petualangan bangsa Indonesia. Itu adalah risiko kecil untuk dikenal sebagai bangsa pemberani.

Kesebelas, selain tidak punya nyali, Pemerintah Singapura juga jelas kejam pada rakyatnya. Siapa tak kenal pada kesukaan mereka memeras masyarakatnya? Singapura dikenal sebagai fine country. Lihatlah apa yang mereka lakukan dalam (lagi-lagi) soal harga rokok dan electronic road pricing (ERP).

Harga rokok di sini sekitar lima kali lipat harga di Indonesia, dan jadi yang termahal di seluruh Asia Tenggara. Alasannya, agar rokok sulit dibeli. Tapi, itu sesungguhnya cuma dalih agar bisa mendapatkan duit lebih banyak dari rakyatnya yang mulutnya terasa masam kalau tak terkena asap tembakau. Mau bukti lain? Kalau tertangkap merokok di kawasan yang dilarang (yang terbaru: sepanjang Orchard Road), dendanya antara SGD200 sampai 1.000. Apalagi coba ini kalau bukannya mau memeras rakyat?

Bandingkan dengan Indonesia yang harga rokoknya murah, bisa dibeli ketengan, dan tak pernah ada penegakan denda serius buat yang tertangkap, jelas Pemerintah Indonesia menunjukkan sikap yang toleran dan moderat. Santunan penuh bagi penderita sakit dari BPJS tanpa membeda-bedakan apakah sang pasien punya kebiasaan yang merisikokan kesehatan diri sendiri jelas juga menandakan pemerintahan yang tak diskriminatif, egaliter dan penuh welas asih. Jauhlah pokoknya dari sikap Pemerintah Singapura yang culas itu.

Soal ERP juga begitu. Silakan tanya apa pandangan orang Singapura soal ini. Mereka bisa cerita panjang lebar soal betapa hidup mereka sengsara bin nelangsa lantaran di banyak kelokan pemerintahnya memungut uang elektronik. Kalau deposit mereka tak cukup, denda menanti. Makanya, ERP sesungguhnya singkatan dari everyday rob people. Tiada hari tanpa perampokan uang rakyat lewat teknologi yang dalihnya itu untuk mempromosikan penggunaan transportasi massal.

Tak mengherankan bila di Jakarta ERP tak kunjung diterapkan. Itu lantaran pemprov-nya merasa kasihan pada rakyatnya. Bagaimana kalau rakyat jadi jatuh miskin lantaran membayar sejumlah uang setiap lewat jalan-jalan tertentu? Masak mau berkunjung ke rumah kerabat atau bersilaturahmi ke sahabat malah dibebani? Kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat tentu lebih utama dibandingkan pendapatan pemerintah, bukan?

Soal dampak kemacetan lantaran mobil dan motor pribadi begitu bebas masuk ke jalan, sesungguhnya jangan dibaca terbalik. Seharusnya itu disyukuri sebagai pertanda ekonomi yang kokoh. Sudah jelas kemacetan Jabodetabek itu menyumbangkan lebih dari Rp100 triliun per tahun kepada perusahaan-perusahaan penjual bensin dan solar serta industri sukucadang otomotif. Itu adalah ekonomi riil, janganlah dibaca sebagai pemborosan! GDP mencatatnya secara positif, kok. Lagipula, hanya negeri yang benar-benar tajir melintir saja yang penduduknya bisa membayar Rp100 triliun untuk sekadar sedikit lebih lama di jalan.

Tulisan ini belum selesai. Masih ada beberapa butir lagi yang mau saya sampaikan untuk membuktikan bahwa Indonesia itu jauh lebih sakti mandraguna dibandingkan tetangga mungilnya itu. Janji!

Baca juga

Ternyata Singapura Tak Ada Apa-apanya Dibandingkan Indonesia

Kota, Publik, dan Mobilitas

Parkir Syariah van Depok dan Agamaisasi Layanan Publik

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.