Perkenalkan bu. Nama saya Rachmawati. Tapi biasa dipanggil Iraa dengan doubel a di belakang. Sederhana karena saya suka matatahari. Di Yunani, masyarakatnya menyebutnya Raa. Saya fans berat Bu Susi, sayangnya saat Bu Susi datang ke Bangsring Under Water saya tidak bisa hadir. Ibu tahu, betapa kawan-kawan saya di Bangsring Under Water mengidolakan njenengan dan saya bisa membayangkan betapa bahagianya mereka bertemu dengan ibu sebagai junjungan mereka.
Ibu pasti heran mengapa saya menyebut para nelayan di Bangsring Under Water dengan sebutan ‘kawan-kawan’. Karena saya akrab betul dengan mereka, hampir 10 tahun terakhir saya memulai pertemanan dan persahabatan dengan mereka. Sampai hari ini, para nelayan di Bangsring adalah sahabat yang menempati ruang tersendiri dalam hati saya. Tentu dengan konflik yang mengikutinya. Sungguh. Ini bukan basa-basi tapi tulus dari hati saya yang paling dalam.
Seorang kawan mention akun saya di instagram ibu dengan kalimat “diimbau ibu tuh”. Saya melihat ibu sedang ngemong cucu yang menolak berenang di laut karena banyak sampah plastik di Pulau Tabuhan. Saya langsung tepuk jidat dan mbatin “endorse yang gagal”. Ibu bercerita duduk di antara berton-ton sampah sampah platik. Kalimat terakhir ibu di postingan intagram buat saya ‘nganu‘ sekali.
“Ayo anak anak muda Banyuwangi, pemuda pemudi. Datang ke Tabuhan. Pulau yang ada di depan. Pasirnya putih cantik tapi plastiknya luar biasa. Saya ingin mendengar pemuda pemudi Banyuwangi melakukan pembersihan massal. Ini semua di sepanjang pantai bersih. Saya datang untuk kembali melihat lagi,”
Kalimat penutup ibu yang membuat saya memberanikan diri untuk menulis surat ini.
Ibu Susi yang saya cintai. Saya mengenal Pulau Tabuhan sejak akhir 1980-an. Ibu saya seorang guru yang mengajar di Wongsorejo dan saat saya masih kecil belum kelas 3 SD, ibu mengajak saya ke Pulau Tabuhan. Saya ingat betul betapa cantiknya pantai itu. Sampah juga banyak, namun saat itu ya didominasi dengan kayu, bambu dan sejenisnya bukan sampah plastik seperti saat ini.
Saya sempat bertanya ke ibu saya mengapa banyak kayu-kayu besar di sepanjang pantai itu. Ibu saya menjawab angin barat yang membawanya dan mendamparkannya di satu sisi pulau Tabuhan. Sisi yang berhadapan langsung dengan Pulau Bali. Di sisi terbut angin kencang sekali, dan arus lebih deras dibandingkan sisi pulau lainnya. “Di sisi tempat kita mendarat relatif aman Raa. Banyak nelayan yang beristirahat di sini,” kata Ibu. Sejak saat itu saya merasa Pulau Tabuhan menjadi bagian terpenting dari diri saya.
Berbelas tahun kemudian, saya kembali pulang ke Banyuwangi dan menyeberang kembali ke Tabuhan dari Pantai Bangsring. Saat itu masih belum dikenal dengan nama Bangsring Under Water, baru sekitar 2009-an atau setelahnya nama itu ada. Saya mulai menasbih-kan diri menjadi relawan di sana. Belajar menanam karang, ikut berendam dan ikut melepas ribuan ikan di sana. Bersih-bersih sepanjang pantai Bangsring, Pulau tabuhan, ikut menanam cemara disekitar pantai.
Walaupuk agak telat karena saya tidak ikut pembentukan ZPB yang saat ini menjadi bagian tempat wisata Bangsring Under Water, tapi saya bangga sekali menjadi bagian kecil dari keluarga kelompok nelayan Bangsring Samudra Bakti. Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Mending terlambat tapi konsisten melakukannya selama bertahun-tahun.
Hingga akhirnya menyeburkan diri di Marina Education yaitu ikut sharing pendidikan bahari ke sekolah-sekolah dan anak-anak muda. Walaupun jujur saya hanya paham sedikit tentang karang dan fungsi pentingnya untuk lautan.
Tapi Bu Susi, ada hal yang penting yang njenengan harus tahu. Sudah ada ribuan orang yang difasilitasi oleh kawan-kawan nelayan Bangsring untuk membersihkan Pulau Tabuhan. Mengapa mereka dipinggirkan? Sejak dulu, setiap hari Jumat, nelayan Bangsring selalu mengosongkan waktu untuk membersihkan Pulau Tabuhan dari sampah plastik. Belum lagi komunitas-komunitas muda, wisatawan juga melakukan hal yang sama, bersolidaritas membersihkan pulau Tabuhan.
Saya pernah menemani sekitar ratusan orang untuk membersihkan sampah plastik yang ada dan itu beberapa kali. Sudah ada berapa ton sampah yang dibawa oleh kawan-kawan nelayan dari Pulau Tabuhan ke ‘darat’. Mereka yang bekerja dalam senyap. Sungguh bu. Banyak orang yang telah melakukan hal itu. Membersihkan Pulau Tabuhan dari kepungan sampah terutama saat musim angin barat. Tapi kadang apa yang dilakukan kawan-kawan jauh dari mata kamera. Ya walaupun ‘kerja bakti’ yang dilakukan kawan-kawan banyak terunggah di media sosial sih bu.
Bahkan, untuk menjaring anak-anak muda Banyuwangi agar mau membersihkan Pulau Tabuhan, kami membuat strategi yaitu membuat diskusi atau acara di Pulau Tabuhan. Atau kegiatan apapun di sana walaupun endingnya tetap bersih-bersih Pulau Tabuhan. Membebaskan biaya transportasi perahu atau membayar separuhnya agar mereka tidak terbebani dengan biaya agar bisa datang ke Pulau Tabuhan. Komunitas Literasi, IPPNU IPNU, Karang Taruna, BEM, Mahasiswa, komunitas apapun semuanya difasilitasi oleh kawan kawan nelayan untuk membantu membersihkan pulau berpasir putih itu.
Tapi betul bu. Ada yang pernah mengatakan apa yang kami lakukan yaitu bersih-bersih Pulau Tabuhan dianggap menggarami lautan. Melakukan hal yang sia-sia karena sampah akan datang lagi dan lagi. Sederhananya seperti ini. Jika ada sampah dan dibiarkan ya akan menumpuk. Lebih baik kalo ada sampah itu dibersihkan. Ada lagi sampah ya dibersihkan lagi. Seterusnya. Sampai kapan? mungkin bersih-bersih itu akan dilakukan sepanjang usia Tuhan.
Ada beberapa orang yang mengusulkan Festival Bersih-Bersih Pulau Tabuhan. Saya pikir tidak perlu. Mau ada seribu festival pun untuk membersihkan sampah di Pulau Tabuhan tidak akan maksimal. Karena musim angin barat ini abadi, dan harus kembali ke masalah utama. Penggunaan sampah plastik, Ini yang tidak bisa ditoleransi bu. Masalah sedotan belum selesai, lalu masalah puntung rokok belum lagi penggunaan pampers dan pembalut. Kadang saya lelah sendiri bu, hingga akhirnya memilih untuk melakukan perubahan untuk diri sendiri.
Mengurangi penggunaan plastik, tidak merokok dan menggunakan mens pad, pembalut cuci ulang sejak beberapa tahun terakhir. Mungkin setelah ini bergeser ke penggunaan menstrual cup agar lebih ramah lagi. Ini tentang gaya hidup bu. Mau tidak mau sampah di laut dipengaruhi dengan gaya hidup masyarakat yang semakin praktis dan modern.
Kadang, saya dan kawan-kawan nelayan Bangsring berdiskusi tentang bagaimana caranya agar sampah tidak melewati rumah apung saat musim angin barat sehingga tidak mengganggu para wisatawan. Memasang jaring untuk sampah juga bukan menjadi solusi karena arus Selat Bali cukup kuat dan dalam waktu pendek akan jebol. Namun rasanya egois betul jika kita hanya memikirkan sampah agar wisatawan bersenang-senang karena bagi kawan kawan nelayan yang terpenting adalah konservasi.
Saya selalu berharap, jika wisatawan datang dan melihat sampah yang banyak di laut, mereka akan mengubah pikiran tentang bagaimana caranya agar tidak banyak sampah plastik di laut. Syukur-syukur mereka ikut andil dengan mengambil sampah lalu membuangnya di tempat yang telah disediakan.
Teman-teman nelayan, komunitas anak-anak muda Banyuwangi telah melakukan kerja senyap membersihkan Pulau Tabuhan selama bertahun-tahun dan saya meyakini mereka tetap akan melakukan hal sama sepanjang usia Tuhan.
Terimakasih Bu sudah singgah di Banyuwangi. Terimakasih sudah memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana cara sederhana mencintai laut. Menjadikan laut sebagai halaman rumah kita. Terimakasih sudah mewujudkan mimpi kawan-kawan nelayan Bangsring untuk bertemu ibu secara langsung karena mereka selalu bercerita betapa mereka mengagumi sosok seperti ibu.
Sehat-sehat Bu. Semoga datang lagi ke Pulau Tabuhan Banyuwangi dan berharap saat datang tidak bebarengan dengan musim angin barat. Agar ibu melihat keindahan Pulau Tabuhan yang sesungguhnya.
Oh ya ini saya sertakan foto tahun 2017. Saat itu, kawan kawan membentangkan kain merah putih sepanjang 72 meter di Pulau Tabuhan karena kami meyakini bahwa lautan kita adalah bagian dari NKRI yang harus dijaga. Setiap tahun kami selalu upacara di sana dengan kawan-kawan nelayan yang menjadi petugas upacaranya.
Sambung doa untuk ibu semoga tetap menjaga laut Indonesia. Percayalah saya secara pribadi selalu memberikan dukungan pada penuh pada ibu dan saya yakin kawan kawan nelayan juga melakukan hal yang sama. Melakukan perubahan memang sulit bu, tapi bukan berarti tidak mungkin.
Sebenarnya saya ingin mengajak kawan-kawan saya untuk mention njenengan di foto kegiatan bersih bersih pulau Tabuhan untuk membuktikan bahwa kami telah melakukan. Namun saya pikir hal tersebut tidak begitu penting. Kerja senyap. Itu kuncinya. Semacam jarum jam dinding. Dilihat atau tidak dilihat maka akan akan tetap bergerak. Karena melakukan sesuatu yang kecil akan lebih baik dari pada tidak melakukan apa-apa.
Saya bukan siapa siapa dibandingkan para nelayan Bangsring yang telah berbuat banyak dalam senyap. Saya hanya perempuan yang mencintai laut, suka makan ikan namun tak pandai berenang.
Terimakasih kepada kawan kawan baik. Mas Ikhwan dan kelompok nelayan. Kawan kawan komunitas yang sudah berbuat banyak. Kawan kawan relawan. Walaupun saya sudah undur diri, tetaplah berteman baik.
Terimakasih sudah menjadi guru terbaik untuk saya.
Kondisi alam selalu berubah, tapi cinta saya ini tidak akan pernah berubah. Mencintai laut. Mencintai Banyuwangi. Mencintai Indonesia dan semua yang ada di dalamnya
Salam hormat saya
Iraa.