Minggu, April 28, 2024

Surat Pembaca untuk BEM Sumatera

Rino Warisman Putra
Rino Warisman Putra
Rino Warisman Putra lahir Jumat 8 Oktober 1999, di Desa kecil Ampalu Tinggi, Sumatera Barat, ia sesekali memotret dengan kalang kabut, mendukung penuh semua orang Indonesia menjadi kaya, dan dinar kembali menjadi mata uang. temui di Instagram @rinowarismn

BEM adalah organisasi yang menjadi konstetasi panas kroco-kroco kampus, dengan embel-embel penyambung lidah mahasiswa, rasanya terlalu hipokrit untuk menyebutnya sudah berjalan serupa yang didambakan.

Sekarang, BEM tak ubahnya seperti organisasi filantropi yang kalau berprestasi maka kucuran sertifikat mengalir setali tiga uang seperti dukungan Demokrat kepada Prabowo hari berganti.

Di negara berkembang macam Indonesia, yang orang-orangnya lebih gemar meminum ludahnya sendiri, mendapat amanah adalah ilusi yang harus jua dibangga-banggakan, bukannya, memenuhi tupoksi malah kian tertarik dan terulur oleh nina bobok jabatan.

Negara yang saban hari lebih banyak konflik antar aparat dan rakyat; Dago, Rempang, dan serangkaian tragedi HAM di seantero nusantara lainnya, kontestasi politik yang tak ayal mengaburkan mata pejabat, jika, amanat UUD adalah hal yang kian nihil dilaksanakan, soal keadilan, soal kemanusian, soal rakyat berdarai yang harus disejahterakan.

Kurang dari 130 hari lagi gendang ditabuh, pejabat-pejabat yang sekarang sedang menghinakan diri berbaur dengan masyarakat, dan hari-hari betikutnya, ketika terpilih kemudian berpolah lupa janji. Hal yang biasa, jika kita membicarakan politikus di negara berkembang Indonesia.

Kalaulah kita membicarakan BEM sebagai rumah awal pembentukan karakter demokrasi, maka, yang didapat adalah kerumitan berpikir, ketakutan akan pergerakan karena BEM hari ini, bukan digerakkan oleh semangat aktivisme, melainkan bergerak karena ingin ini-itu, bukan tanpa sebab, mungkin sahaja, tendensius kepada salah satu parpol adalah hal yang lumrah dikalangan politisi kroco-kroco kampus. Padahal tendensius yang paling dianjurkan adalah tendensius kepada rakyat.

Jika BEM mengatakan diri sebagai ‘penyambung lidah mahasiswa dan rakyat’ bukankah sebaiknya, mengkaji keberpihakan dahulu kepada mahasiswa? Lantas, sejauh mana BEM sudah menyambungkan lidahnya kepada penguasa (birokrat) kampus, sebagai rakyat berdarai di Kampus di Sumatera saya dan handai taulan mungkin paham bagaimana susah dan rapuhnya narasi yang dibangun BEM, nihilnya pergerakan merespon keluhan mahasiswa.

BEM di banyak kampus di Sumatera lebih ingin menarsiskan diri dengan mengulik-ulik isu nasional dibandingkan menyelesaikan keluhan mahasiswa di kampusnya sendiri bak kata pepatah “Gajah di pelupuk mata tidak tampak, semut di seberang lautan tampak.”

Empat tahun terakhir bahkan BEM di kampus saya di Sumatera pemilihnya tak lebih dari 30%, hal yang sungguh malang, sebuah konstetasi politik yang terbilang hambar, nihil gagasan, nihil kampanye, namun juga terkungkung oleh birokrat.

Kalaulah kita membicarakan sinkronisasi yang lebih luas dengan apa yang terjadi dengan perpolitikan di daerah, politik di daerah sangat syarat dengan politik identitas, kalau sudah ada H. dan gelar adat dibelakangnya itu akan lebih besar digaet lalu dipilih, pola-pola demikian memupuk nepotisme.

Bahkan tahun lalu, BEM di kampus saya di Sumatera hanya satu calon sahaja, ia menang melawan kotak kosong, yang memilih 30 persen mahasiswa, dan yang tidak peduli 70%, kalau ini terus berlanjut, BEM akan bertransformasi menjadi semacam Osis yang prokernya hanya memberi dialektika kepada siswa baru, sesekali juga menjual risol.

Kami dan handai taulan, mungkin paham, bahwa segala elemen yang melibatkan strata di negara berkembang Indonesia bahkan dunia, lebih serupa seperti roti lapis, dikungkung dari atas dan kalang kabut dengan keadaan internal.

Kepada BEM saya dan handai taulan berpesan, jika tidak ingin seperti organisasi filantropi, maka hendaknya tuan dan puan di BEM menyiapkan amunisi dengan kembali memupuk kepercayaan mahasiswa, birahi akan nepotisme di iklim demokrasi kampus harus dibuang jauh-jauh, menghindari luka lama pemilu 30 persen pemilih semua elemen harus berpikiran terbuka dan tidak menutup ruang kepada lawan yang dianggap tidak sejalan dengan identitas BEM di Sumatra yang di analogikan ‘agamis’, surat pembaca yang takkan ada artinya jika tidak dibaca sampai runut.

Rino Warisman Putra
Rino Warisman Putra
Rino Warisman Putra lahir Jumat 8 Oktober 1999, di Desa kecil Ampalu Tinggi, Sumatera Barat, ia sesekali memotret dengan kalang kabut, mendukung penuh semua orang Indonesia menjadi kaya, dan dinar kembali menjadi mata uang. temui di Instagram @rinowarismn
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.