Kamis, Maret 28, 2024

Sumpah Pemuda: Bahasa Indonesia di Tengah Gempuran Wicis-wicis

Freddy Nababan
Freddy Nababan
Pegiat literasi di Toba Writers Forum (TWF), dan mahasiswa Pascasarjana Nommensen, Medan.

Di tengah gempuran bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa dominan dunia, dan makin tergerusnya beragam bahasa daerah yang ada, bahasa apakah yang harus dipakai, dipertahankan, dan diperjuangkan pemakaiannya, tidak hanya dalam konteks  lokal dan nasional namun juga secara global terkait kondisi di Tanah Air? 

Untuk itu, harus ada konsensus yang dibuat terkait keresahan publik tentang makin tergerusnya beragam bahasa daerah dan potensi tereliminasinya bahasa Indonesia dari Bumi Pertiwi ini oleh serbuan wicis-wicis. Apakah setiap suku yang ada wajib menggunakan bahasa daerahnya masing-masing di berbagai tempat? Apakah kita sepakat hanya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dan identitas bangsa di muka umum, ataukah kita setuju memakai bahasa asing (Inggris) sebagai bahasa komunikasi resmi kita?

Sebagai salah satu daya tarik, keunikan, keragaman dan keunggulan komparatif bangsa Indonesia, fenomena makin pudarnya bahasa-bahasa daerah yang ada, yang ditandai dengan semakin menyusutnya penutur asli bahasa yang terancam punah tersebut, telah menimbulkan kekhawatiran di benak seluruh entitas bangsa.

Dilema Bahasa

Jamak kita ketahui bahwa beragamnya bahasa daerah yang ada adalah salah satu fondasi awal berdirinya bangsa dan tanah air Indonesia. Namun, seiring makin meningkatnya perekonomian suatu bangsa dan adanya penetrasi bahasa tertentu yang mendominasi perekonomian tersebut, mengakibatkan penutur asli bahasa daerah yang lain meninggalkan bahasanya demi memilih kemapanan ekonomi dan sosial. Ekonomi adalah salah satu faktor penghilang bahasa.

Salah seorang peneliti bahasa dari University of Cambridge, Tatsuya Amano, dalam studinya mengatakan bahwa 25% bahasa di dunia terancam punah disebabkan dominasi ekonomi bahasa tertentu. Orang-orang dipaksa  untuk mengadopsi bahasa dominan jika tidak ingin ketinggalan secara ekonomi. Dan umumnya hegemoni ekonomi ini berlanjut ke dominasi politik dan pendidikan. 

Studi tersebut juga menyimpulkan, bahasa-bahasa minoritas di bagian dunia paling maju, termasuk Amerika Utara, Eropa, dan Australia adalah yang paling terancam. Hal yang sama juga terjadi di wilayah tropis (Asia).

Karena itu, upaya pelestarian bahasa daerah dipandang perlu dan urgensinya mendesak, sebab bukan tidak mungkin banyak hal-hal yang positif berupa kearifan lokal dan pengetahuan-pengetahuan yang bisa digali dari bahasa-bahasa yang terancam punah tersebut. 

Tantangannya adalah, bagaimana memadukan upaya pelestarian bahasa daerah agar berkesinambungan dan pada saat yang bersamaan bisa seiring sejalan dengan pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dan jati diri bangsa, sekaligus beriringan dengan penguasaan bahasa asing (Inggris) sebagai bahasa global dunia. 

Salah satu solusi yang bisa saya tawarkan adalah tetap memuat bahasa daerah sebagai konten muatan lokal di sekolah-sekolah tiap daerah, menyelenggarakan kompetisi bahasa daerah secara teratur, memasyarakatkan penggunaan bahasa daerah di lingkungan keluarga dan komunitas dan penerapan undang-undang khusus mengenai bahasa daerah. 

Tentu harus ada koridor-koridor pembatas yang jelas, kapan dan di mana bahasa daerah tersebut dipergunakan agar tidak bercampur baur dengan bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris. Lebih jauh lagi adalah tidak menimbulkan diskriminasi atau keeksklusifan semata yang bersandarkan pada hegemoni ekonomi dan sosial.

Berikutnya adalah eksistensi bahasa Indonesia dalam percaturan global dominasi bahasa-bahasa dunia. Sejujurnya bahasa Indonesia memiliki potensi besar menjadi salah satu bahasa global di dunia. 

Mari kita lihat dari segi pengguna. Berbicara tentang penggunanya, menurut ethnologue.com, diestimasikan bahwa bahasa Indonesia, yang berakar dari bahasa Melayu, digunakan oleh kurang lebih 259 juta penutur di seluruh dunia, dan secara global ada di peringkat 7.

Selain itu, sejak tahun 2007 bahasa Indonesia telah dinyatakan sebagai alat komunikasi utama kedua di Vietnam. Di Thailand, dari hari ke hari semakin banyak orang yang mempelajari bahasa Indonesia, dan tercatat ada sekitar 900.000 pengguna yang fasih menggunakannya.  Ini membuktikan bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dominan di Asia Tenggara di antara 565 juta populasi di kawasan. 

Di skala yang lebih luas, di Asia contohnya, bahasa Indonesia menempati posisi ketiga setelah bahasa Mandarin dan Jepang, dan terdokumentasikan di urutan 26 dari 200-an lebih bahasa yang paling banyak dipakai di dunia maya, sebagaimana tercatat di Wikipedia dan WordPress.

Lebih jauh lagi, dengan berbagai eminensi yang dimiliki bangsa Indonesia, bahasa Indonesia juga diproyeksikan sebagai ujaran baku di Asia Tenggara. Dan kesempatan ini sangat terbuka lebar untuk terealisasi. 

Namun, sayang, realisasi itu tereduksi oleh kebijakan pemerintah yang tidak mengharuskan pekerja asing dan calon pekerja asing untuk menguasai bahasa Indonesia sebagai persyaratan utama bekerja dan dalam berkomunikasi di Indonesia. 

Selain itu, penghalang lainnya adalah fenomena makin banyaknya anak-anak usia sekolah yang lahir dan besar di Indonesia, terutama yang lahir di kota-kota besar, yang tidak lagi mampu berbahasa Indonesia dengan lancar. Namun, sebaliknya, mereka sangat fasih berbahasa Inggris. Ini diungkapkan oleh Norimitsu Onishi dalam artikelnya, As English Spreads, Indonesians Fear for Their Language, The New York Times edisi 25 Juli 2010. 

Ditengarai, ada ketakutan bahwa warisan linguistik bahasa Indonesia akan lenyap seiring makin bertambahnya kalangan menengah ke atas yang lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah yang memakai medium bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar daripada bahasa Indonesia.

Namun perlu diingat, bukan bahasa Inggrisnya yang “bersalah”, akan tetapi alasan ekonomi bahasalah yang menjadi penentunya. Dan juga peranan orangtua yang minim dalam mempromosikan bahasa daerah dan Indonesia dalam interaksi keluarga sehari-hari.

Yang terakhir, bagaimana seharusnya memperlakukan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris di Indonesia. Apakah tetap sebagai EFL (English as Foreign Language), ESL (English as Second Language), atau sebagai bahasa utama/dominan dalam ekonomi, politik dan pendidikan sebagaimana diterapkan oleh negara-negara yang tergabung dalam commonwealth (bekas koloni Inggris) seperti Malaysia dan Singapura.

Permasalahan ini sedikit banyak berkorelasi dengan dilema yang kedua terkait eksistensi bahasa Indonesia sekarang ini. Banyak pihak meminta agar bahasa Inggris diterapkan sebagai ESL atau bahasa kedua, bukan sebagai bahasa asing (EFL). Sementara itu cukup banyak sekolah di kota-kota besar menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa utama di kelas. Ada semacam ambiguitas dalam kebijakan bahasa di negara ini.

Lantas, bahasa apakah yang kita pakai ke depannya? Bagaimanakah pengaturan yang ideal terkait pemakaian bahasa daerah, Indonesia, dan asing (Inggris) yang tepat di republik ini? Perlukah konsensus bersama kita buat?

Bacaan terkait

Menuju “Nasionalisasi” Bahasa Indonesia [Which is Kita Lebih Bangga Berbahasa Asing]

Freddy Nababan
Freddy Nababan
Pegiat literasi di Toba Writers Forum (TWF), dan mahasiswa Pascasarjana Nommensen, Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.