Pernah satu waktu saya ada dalam barisan aksi massa. Saat itu saya menjadi salah satu peserta aksi massa yang menolak kedatangan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB), yang melakukan Annual Meeting di Bali, pada tanggal 8-14 Oktober 2018 silam. Di tengah aksi, saya mendengar ada yang nyeletuk “ngapain si repot-repot ngurusin negara”. Saat itu saya tak ambil tindakan apa pun, tapi kesal dalam hati tentu ada.
Biasanya, kalimat-kalimat seperti itu lahir dari pemuda mahasiswa yang gak mau repot-repot protes kebijakan pemerintahan, gak mau mengawal kebijakan yang memiliki dampak terhadap hajat hidup orang banyak. Ironisnya lagi, kalimat tersebut juga lahir dari pemuda – mahasiswa yang katanya “organisatoris” alias anggota dari organisasi intrakampus.
Kalau kita lihat secara seksama, sejarah lahirnya organisasi intrakampus berawal dari didirikannya Dewan Mahasiswa atau Dema, yang kini biasa dikenal dengan sebutan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Dema mulai didirikan di kampus-kampus Indonesia pada tahun 1950-an. Pada masa itu Dema menjadi wadah untuk belajar berpolitik, karena berfungsi sebagai student government atau pengontrol kebijakan pemerintah.
Fungsi pengontrol dan mengritik pemerintahan dari Dema berjaya hingga awal pemerintahan Soeharto atau Orde Baru. Kritik utama mahasiswa ialah yang menyangkut kebijakan pembangunan yang timpang dan korupsi yang merajalela. Kemudian Soeharto mulai memberangus hak untuk mengritisi pemerintahan di lingkungan kampus. Pemberangusan suara tersebut diawali dengan lahirnya Malapetaka 15 Januari (Malari) dan Gerakan Mahasiswa 1977/1978 (Gema 77/78).
Gerakan tersebut memuncak dengan berlangsungnya ikrar para perwakilan Dema se-Indonesia yang dipublikasikan pada saat Sumpah Pemuda. Ikrar yang dilakukan tersebut membuka gerakan-gerakan protes sporadis di kampus Indonesia dan meluaskan tuntutan mundurnya Soeharto, serta melahirkan kebijakan pemerintah.
Kebijakan tersebut diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Surat Keputusan No. 0156/U/1978, yang lebih di kenal dengan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengembalikan fungsi mahasiswa sebagai kaum intelektual yang harus kembali pada lingkup dan tradisi keilmuan. Itu artinya, fungsi mahasiswa sebagai student government pun berakhir.
Sejak berlakunya NKK, jati diri mahasiswa pun seperti ditelanjangi. Kebijakan tersebut memaksa mahasiswa untuk sibuk dengan aktivitas perkuliahan, mengejar IPK setinggi mungkin, dan parahnya organisasi intrakampus tidak lagi mengurusi dunia perpolitikan. Asik sebagai agent of event organizer. Yang penting nilai tinggi, masuk organisasi, bikin acara, lalu acaranya sukses. Beres.
Seperti yang ramai diperbincangkan, ketika Annual Meeting berlangsung. Banyak mahasiswa yang menolak, kemudian melakukan aksi, namun tak kalah banyak juga yang dengan lapang dada menerima pertemuan tersebut, dan malah sibuk mencibir orang-orang yang sedang melakukan aksi.
Pasukan pencibir itu sibuk mengomentari kalau aksi para kaum pemrotes tak ada gunanya. Malah buat macet dan malu negara Indonesia, pasukan pencibir juga komentar kalau para kaum pemrotes ini tak banyak baca mengenai manfaat diadakan pertemuan tersebut.
Sadis. Tak tahu mereka kalau semakin banyak Indonesia mendapatkan pinjaman dari IMF-WB justru semakin mencekik rakyat melalui regulasi yang diatur dalam kesepakatan peminjaman dana.
Ah, sudahlah. Ngapain pusing-pusing mikirin negara dapat pinjaman dana dari mana, berapa besarannya, dan apa dampaknya. Lagian, apa guna zaman sekarang ngurusin permasalahan buruh dan tani, ngapain juga diskusi isu sosial dan politik. Sudah gak penting lagi turun basis dan mengorganisir massa rakyat – apalagi memberikan pendidikan kepada mereka, sudah bukan zamannya untuk demo, itu terlalu kuno. Dapet duit juga enggak, yang ada malah bikin capek aja.
Sekarang kan zamannya nyari eksistensi. Bikin acara hiburan yang megah, kerja sama dengan perusahaan biar dapet sponsor sebanyak-banyaknya. Kalau acaranya sukses, nanti masuk forum pemuda paling berpengaruh. Pemuda yang gak perlu repot-repot advokasi buruh, tani, juga rakyat miskin kota. Pemuda intelektual yang gak perlu tahu kalau ada pemuda lainnya di desa yang gak kerja. Pemuda yang gak perlu berjuang untuk anak kecil yang tak sekolah. Pemuda yang gak perlu bersusah payah berjuang untuk mempertahankan lahan para petani. Pemuda yang gak perlu tahu dan paham apa itu Marxisme-Leninisme, karena paham itu kan dilarang. Cukup tahu kalau di Indonesia; Komunis itu haram, Komunis itu PKI, Komunis itu Atheis, dan bentuk segitiga adalah lambang iluminati.
Pokoknya IPK tinggi, terus nanti kalau lulus kuliah, kerja sama dengan perusahaan besar, terus ikut merampas lahan rakyat. Gak penting slogan “Anti Imperialisme” atau “Anti Feodalisme”, yang penting nanti lulus, hidup kaya dan dapet jodoh. Tentram.
Sudahlah, tak perlu mengkawal kebijakan pemerintah. Toh, pertemuan IMF-WB membawa keuntungan besar untuk Indonesia, pembangunan infrastruktur jalan terus, investor masuk dengan leluasa, lahan pekerjaan semakin meluas; kan nanti jadi gampang dapat kerja kalau sudah lulus, gak akan ada kok lahan rakyat yang dirampas. Sudahlah, urusi saja IPK Anda.