Jumat, April 26, 2024

Sudah Tua Masih TK

Dedi Mahardi
Dedi Mahardi
Penulis, Inspirator dan motivator

Mungkin pembaca masih ingat ungkapan mantan presiden ke 4 negeri ini, almarhum Kyai Haji Abdurahman Wahid, sewaktu beliau menjabat presiden bahwa “DPR kayak taman kanak-kanak”.

Gus Dur, begitu panggilan cucu dari Kyai Hasyim Ashari pendiri organisasi Islam terbesar negeri ini Nahdatul Ulama atau disingkat NU. Tidak banyak yang berkomentar atau marah mendengar ungkapan pedas sang presiden, karena selama ini Gus Dur memang dikenal dengan sindiran dan kata-kata leluconnya yang membuat orang ketawa. Bahkan termasuk mereka yang duduk di gedung DPR Senayan waktu itu, sepertinya tidak banyak berkomentar atas sindiran sang presiden.

Nah, berangkat dari ungkapan almarhum Gus Dur tersebut penulis mencoba mengamati sikap dan perbuatan sebagian tokoh atau pejabat negeri, yang sepertinya jauh dari sikap negarawan atau sikap terhormat.

Seperti juga yang sering diungkapkan oleh Guru Bangsa Buya Syafii Maarif bahwa banyak politisi yang tidak mau atau tidak ingin naik kelas menjadi negarawan, dengan berpikir jangka panjang untuk kebaikan dan kemajuan bangsa ini.

Karena sebagian besar dari politisi hanya berpikir jangka pendek dan untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya saja, mereka lebih sibuk dan fokus berpikir dan bertindak untuk mendapatkan apa saja yang bisa didapat dari bumi pertiwi ini. Sehingga 22 tahun reformasi, korupsi kolusi dan nepotisme masih belum dapat diberantas secara siginifikan, bahkan mungkin KKN nya tersebut dibuatkan undang-undangnya sehingga menjadi legal secara hukum.

Seperti dibuatnya undang-udangan dan aturan untuk berbagai tunjungan dan fasilitas yang berlebihan untuk para pejabat Negara dan politisi negeri ini. Padahal kemiskinan dan pengangguran serta ketimpangan antara si miskin dan si kaya di negeri ini masih sangat jomblang, seperti hasil penelitian lembaga OXFAM bahwa kekayaan total empat orang terkaya di Indonesia ini setara dengan total kekayaan 100 juta penduduk miskin.

Judul sudah tua masih taman kanak-kanak diatas, penulis kaitkan dengan pola pikir dan pola tindak sebagian pejabat atau tokoh negeri ini. Apa saja pola pikir dan pola tindak anak taman kanak-kanak tersebut, penulis coba bagi tiga kelompok, yaitu :

  1. Tidak kebagian kue menangis.
  2. Filosofi permainan pelosotan.
  3. Filosofi permainan jungkit

Ciri-ciri pertama dari pola pikir anak taman kanak-kanak ini adalah jika tidak kebagian kue atau pernah kebagian kue kemudian tidak lagi diberi kue maka mereka akan menangis, kesal, uring-uringan dan sebagainya.

Terlihat jelas dari sikap dan reaksi dari beberapa orang yang diganti dari posisinya, ada yang langsung berbalik menjadi oposisi menyerang pemerintah secara membabi buta, tanpa data dan kajian langsung menyalahkan kebijakan dan program pemerintah. Padahal beberapa hari sebelum diganti, mereka adem ayem dan manut-manut saja, bahkan tak jarang malah ikut membela pemerintah dari serangan pihak oposisi.

Ada juga yang begitu diganti, mendadak menjadi ulama dan ustadz yang ceramah dari masjid ke masjid, mengutip ayat-ayat yang kira-kira sejalan dengan kekecewaannya, atau ada juga yang pamer ibadah khatam baca alquran dan ibadah lainnya di media sosial.

Ada juga yang mengekspresikan kekecewaan dengan menyebut jasa besar telah ikut membantu presiden sehingga bisa terpilih, seolah-olah tanpa jasa mereka presiden tidak akan terpilih. Sehingga seolah-olah mereka lupa bahwa semua yang terjadi di muka bumi ini hanya bisa terjadi atas izin Allah, bukan atas izin atau bantuan siapapun. Sikap mereka ini berbanding terbalik dengan tokoh-tokoh olah raga atau artis terkenal yang setelah pensiun lalu kembali ke arena.

Tetapi untuk tujuan pertandingan amal membantu korban bencana dan lain sebagainya. Ada juga yang berkoar-koar menyalahkan semua kebijakan dan program pemerintah serta mengatakan bisa membuat bangsa ini lebih maju dan baik, tetapi koarnya saja tanpa konsep dan usulan solusi berupa makalah atau tulisan ilmiah yang dapat diperdebatkan atau diuji.

Yang pasti ketika penulis diundang sebagai tamu khusus debat capres konvensi rakyat yang digagas alm Kiyai Haji Solah atau adik kandung Gus Dur dan diberi kesempatan pertama yang bertanya kepada para kandidat calon presiden waktu itu penulis bertanya “Apakah bapak ibu kandidat capres sudah punya konsep atau blue print untuk membangun dan memperbaiki bangsa ini?”.

Belum satu kandidatpun yang sudah punya. Ciri-ciri kedua dari pola pikir anak taman kanak-kanak ini adalah seperti pola pikir filosofi permainan seluncuran. Seperti apa filosofi permainan seluncuran?

Anak-anak yang menaikan tangga ke puncak papan termotivasi atau tujuannya adalah untuk bersenang-senang atau menikmati seluncuran dan bersorak gembira ketika sampai diatas dan ketika berseluncur. Itu yang sebagian besar terjadi pada tokoh dan anak bangsa ini, mereka berusaha keras dengan mengorbankan apa saja bahkan dengan menghalalkan segala untuk tujuan menikmati fasilitas dan sebagai kemewahan serta kenyamanan.

Bukan berpikir dan berusaha memajukan atau membangun daerah atau organisasi yang mereka pimpin sehingga tidak heran jika anggaran untuk kunjungan ke luar negeri atau ke luar kota sangat domonan pada anggara opersional mereka.

Walaupun anggaran yang mereka dapat sebagian besar juga berasal dari pusat bukan anggaran dari hasil pendapatan daerah mereka karena daerah mereka minim hasil tambah atau pertanian serta pariwisata. Atau pejabat-pejabat yang banyak menggunakan waktu dan kesempatannya untuk menyalurkan hobi dan kesenangannya yang mungkin selama ini tidak sempat tersalurkan.

Tidak banyak pejabat atau tokoh negeri ini, yang fokus dan maksimal menggunakan waktu dan kemampuan yang dimilikinya untuk berpikir dan berbuat demi kemajuan dan kemaslahatan daerah yang dipimpinnya.

Ciri-ciri ke tiga dari pola pikir anak taman kanak-kanak ini adalah ibarat filosofi permainan papang jungkit, yaitu seseorang hanya akan bisa naik ke atas jika lawan yang di seberangnya diturunkan ke bawah.

Sebaliknya jika orang lain diseberangnya naik maka otomatis dia akan turun atau di bawah. Seseorang atau tokoh akan merasa lebih baik dan lebih hebat jika mampu menghina dan atau mampu merendahkan orang lain, sehingga tidak tokoh biasa saja yang mengeluarkan hinaan dan caci maki, bahkan sebagian tokoh-tokoh agama di berbagai media sosial juga suka menulis tulisan hinaan dan merendahkan orang lain.

Mereka lebih suka mencari-cari kekurangan orang lain atau ada juga yang menghasut kelompok tertentu untuk membenci atau bahkan menyerang kelompok yang tidak mereka sukai. Tokoh agama dan tokoh-tokoh bangsa yang seharusnya menjadi teladan dengan sikap dan perbuatan serta ucapannya, sebagian malah berperan sebagai pembuat atau penyebar fitnah dan ujaran kebencian yang sebagian besar ditujukan kepada pemerintah.

Memang oleh kelompok yang sama-sama tidak suka dengan pemerintah, orang-orang ini atau tokoh-tokoh ini sangat dipuja dan dihormati, karena dapat menyalurkan kebencian dan ketidaksukaan mereka kepada pemerintah atau kelompok lainnya. Padahal kehormatan dan kemulian hanya akan tumbuh dan terpancar dari sikap dan perbuatan baik serta mulia, ibarat menanam rumput tidak akan tumbuh padi.

Kehormatan dan kemulian tidak akan tumbuh dari harta berlimpah dan tahta yang tinggi, karena harta dan tahta tersebut adalah titipan sementara. Yang akan menjadi milik sejati adalah amal perbuatan baik dan amal ibadah kepada Illahi.

Demikian, pemikiran dan kegalauan kami sebagai anak bangsa mengamati perkembangan negeri ini akhir-akhir ini. Semoga bermanfaat dan menginspirasi.

Dedi Mahardi
Dedi Mahardi
Penulis, Inspirator dan motivator
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.