Kamis, April 25, 2024

Stop Aborsi

Basrowi
Basrowi
Dr. Dr. Basrowi, M.Pd. M.E.sy. Pemerhati Kebijakan Publik, Alumni S3 Ilmu Sosial Unair Surabaya, alumni S3 MSDM UPI YAI Jakarta, dan alumi PPs Ekonomi Syariah UIN Raden Intan Lampung

Kondisi kejiwaan anak sekolah dan mahasiswa, termasuk remaja yang belum siap untuk berumah tangga, tetapi mereka mengalami “kecelakaan”, sangatlah menyedihkan. Mereka sangat gundah dengan kehamilan yang tidak dikehendaki itu.

Perasaan bersalah karena telah mengecewakan orang tua, malu dengan masyarakat karena hamil di luar nikah, dan ketakutan gagal dalam menyelesaikan sekolah atau kuliah, menyebabkan psikologi mereka sangat sedih.

Untuk mengatasi kesedihan yang mendalam itu, banyak di antara mereka yang mencari jalan pintas dengan cara menggugurkan kandungannya secara paksa, baik meminta pertolongan oknum bidan, oknum dokter, maupun oknum tenaga medis lain yang menerima jasa illegal tersebut.

Aborsi mereka anggap sebagai “jalan penyelamat” dari tiga dampak negatif di atas, meskipun sangat beresiko bagi pelaku. Pihak lelaki yang menjadi partner juga dianggap belum siap menerima realitas yang memalukan itu, karena dia masih sekolah, belum bekerja, dan belum mampu menjadi kepala keluarga.

Kondisi seperti itu juga menjadi penyebab kedua belah pihak termasuk pihak keluarga “menyetujui” untuk mencari jalan pintas tersebut. Muka malu dapat diselamatkan, cita-cita anak perempuan dan lelaki terselamatkan, kekecewaan orang tua akan keberhasilan pendidikan anak terselamatkan. Hanya saja yang tidak terselamatkan adalah, nyawa si jabang bayi yang tidak berdosa yang menjadi korban kebiadaban mereka.

Na’udzubillah min dzalik, kata orang muslim. Betapa dosa dua orang pezina yang sudah dengan sengaja melakukan hubungan suami istri di luar nikah hingga terjadi “kehamilan dini”. Betapa besar dosa kedua pelaku yang sepakat melakukan aborsi. Betapa besar dosa penerima jasa ‘aborsi’. Termasuk orang tua mereka yang mengetahui bahkan merestui untuk melakukan ‘pembunuhan berencana”.

Terungkapnya kasus aborsi yang menyeret nama ‘oknum mantan dokter’ yang telah memutus hak hidup janin yang tidak berdosa hampir mendekati angka seribu, merupakan puncak gunung es yang tampak di permukaan air, sementara besar gunung es yang terendam di dalam air tentu lebih besar dari itu.

Semoga saja, hipotesis itu salah prediksi. Tetapi yang jelas, maraknya kasus aborsi tidak hanya ramai saat ini, sejak tahun 1980 an pun, kasus yang melibatkan oknum dukum beranak telah menghibisi nyawa ratusan orok, hingga tulang belulangnya berserakan di dalam septic tang telah menghiasai berbagai media massa nasional.

Maraknya sex bebas dan sex di luar nikah yang dilakukan oleh pelajar, mahasiswa, dan remaja yang belum siap berkeluarga, telah menyumbangkan angka terbesar kasus aborsi. Komunikasi bebas melalui aplikasi media sosial, seperti WhatsApp, Michat, Instagram, Facebook, dan media sosial lainnya juga mempermudah terjadinya komunikasi kasih sayang yang nyaman tetapi belum semestinya dilakukan.

Komunikasi tersebut selanjutnya mengarah pada proses percintaan terlarang untuk bertemu dan memadu kasih, yang berakhir pada hubungan layaknya suami istri.

Banyaknya oknum pebisnis hotel melati yang menyediakan tempat ‘ngadem’ para remaja yang sedang berpacaran juga menyebakan angka kehamilan di luar nikah meningkat. Banyaknya tempat hiburan malam, rumah pijat plus-plus, tempat terapi plus-plus, tempat karaoke plus-plus, tempat dugem, dan salon plus-plus, juga menyumbang banyaknya sex bebas.

Maraknya penonton balapan liar yang melibatkan muda mudi saling berboncengan motor hingga larut malam bahkan hingga pagi hari, juga memberikan kontribusi bagi terjadinya sex bebas. Banyaknya kave-kave yang buka hingga dini hari juga memberi kesempatan bagi muda-mudi untuk saling bercumbu rayu hingga menyebabkan terjadinya hidup bebas. Banyaknya wanita yang menjajakan diri di pinggir-pinggir jalan hingga pagi hari tentu menyebabkan terjadinya kegiatan maksiat yang mampu mengarah terjadinya pergaulan sex bebas.

Degradasi Moral

Degradasi moral mulai dari komunikasi bebas yang mengarah pada proses percintaan yang tidak terkendali, dilanjutkan dengan hubungan layaknya suami istri, hingga proses pengguguran kandungan, merupakan salah satu bentuk degradasi moral. Orang tua yang mengijinkan atau bahkan yang menyuruh anaknya untuk melakukan aborsi juga merupakan bentuk degradasi moral.

Oknum yang bersedia menerima jasa pengguguran paksa, juga  mengisyaratkan telah terjadinya degradasi moral. Intinya degradasi moral bukan hanya terjadi pada pelaku sex bebas dan pelaku aborsi, tetapi juga menyasar orang tua pemberi ijin, dan oknum penerima jasa aborsi, termasuk semua pihak yang mengiklankan dan membantu seluruh tahapan aborsi tersebut.

Maraknya penjual “obat telat datang bulan” melalui internet, media sosial, dan e-commerce juga telah memperbesar data gunung es aborsi yang ada di dalam air. Para penjual obat anti telat bulan yang dengan fulgar menjual “obat sakti” tersebut juga menunjukkan adanya degradasi moral yang sudah akut.

Penerimaan sosial yang sangat rendah terhadap perempuan yang mengandung di luar nikah, merupakan bentuk hukuman sosial yang harus dirasakan oleh perempuan tadi, lelaki pelaku, dan orang tua dari kedua belah pihak. Hal inilah yang akan dihindari dengan sekuat tenaga oleh mereka yang mengalami musibah ‘kecelakaan’ tadi, hingga memutuskan untuk melakukan pengguguran kandungan.

Dalam melakukan aksinya, semua pihak yang terlibat akan bergerak dengan sangat rahasia, rapih, dan hati-hati, karena mereka menyadari dengan sepenuh hati bahwa seluruh tindakannya melanggar hukum, norma, dan agama. Bahkan kalau sampai gagal, maka bukan hanya nyawa perempuan yang hamil yang dipertaruhkan, tetapi tuntutan hukum pun menjadi resiko terburuk yang harus mereka hadapi.

Itulah sebabnya, proses aborsi sampai kapan pun akan menjadi kasus yang sangat tertutup, karena semua pihak akan saling menutup, dengan harapan mereka bebas dari hukum di dunia, meskipun mereka sadar dengan sesadar sadarnya, bahwa tindakan mereka merupakan perbuatan yang berdosa besar.

Selalu perempuan yang menjadi korban

Mengapa dalam kasus aborsi, perempuan selalu yang menjadi korban? Perempuanlah yang akan dikeluarkan dari sekolah, terancam ditinggalkan oleh lelaki yang menghamili di luar nikah, dikucilkan dari keluarga, mendapat hukuman  sosial dari masyarakat, terancam nyawanya melayang bila proses aborsi gagal, atau mendapatkan anak dalam kondisi cacat bawaan karenan pengaruh obat telat bulan, dan mendapat ancaman pidana bila proses aborsi tersebut terbongkar oleh pihak berwajib.

Permintaan untuk melakukan aborsi dari masyarakat yang sangat banyak, bahkan kalau dibuat grafik selalu terjadi peningkatan yang sangat drastis menyebabkan praktik aborsi kian marak dilakukan oleh oknum-oknum yang ingin memperbanyak pendapatannya.

Dalam hal ini, hukum ekonomi berlaku, dimana setiap banyak permintaan, maka harga naik dan akan naik pula jumlah orang yang akan mendalami ‘bisnis illegal’ tersebut.  Pundi-pundi uang jasa yang sangat besar, menyebabkan para oknum gelap mata akan besarnya dosa yang ada di hadapan mereka.

Dosa besar yang diancamkan Tuhan YME menjadi terabaikan. Apalagi orang yang ‘ditolong’ siap membayar berapa pun biaya yang diminta, asalkan nama baik mereka, orang tua, keluarga besar, dan masa depan anak terselamatkan

Basrowi
Basrowi
Dr. Dr. Basrowi, M.Pd. M.E.sy. Pemerhati Kebijakan Publik, Alumni S3 Ilmu Sosial Unair Surabaya, alumni S3 MSDM UPI YAI Jakarta, dan alumi PPs Ekonomi Syariah UIN Raden Intan Lampung
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.