Presidennya bilang gebuk. Mentrinya bilang pembunuh Theys Pahlawan. Mentrinya akan buldozer yang hambat sawit. Polisinya bilang melanggar HAM boleh. Terus pada kaget, prihatin, dan bingung kenapa anak STM jadi beringas.
Bahasa kekerasan digunakan oleh negara dalam percakapan sehari-hari kepada publik. Lantas saat publik, yang kerap direpresi melawan, dibilang normalisasi kekerasan, tindakan barbar, dan tidak beradab. Bilang aja, yang boleh menggunakan kekerasan itu negara. Rakyat kudu pasrah.
Lembaga-lembaga negara seperti KPI dan KPAI demikian gencar berkomentar tentang moral, mengkritik tayangan televisi, dan juga hiburan publik. Bicara soal ancaman keruntuhan moral karena tayangan seronok, tapi diam dan bungkam dengan kebijakan dan produk kekerasan yang dibuat negara. Berita penggusuran, berita konflik agraria, dan kekerasan di daerah konflik nyaris tak pernah jadi sikap utama.
Saat protes Kendeng bertahun lalu, Saya ingat ada video polisi yang bentrok dengan ibu-ibu petani. Para pendukung istana merendahkan perempuan itu, mereka bilang, perempuan kok diajak demo bukannya di rumah masak dan rawat anak. Merendahkan perempuan dan peran mereka dalam protes publik.
Kemarin anak-anak STM datang melakukan protes, kekerasan terjadi, mereka melawan, lalu dituduh mengglorifikasi? Beberapa dari mereka sadar isu, menjawab secara bernas poin protes, tapi yang disebar, wawancara “Aasa uda nikah ga boleh merkosa istri?” Sebenarnya apa maunya? Mereka dianggap goblok?
Usaha merendahkan anak sekolah ini juga menggelikan. “Anak STM ga tau apa apa. Kok dibiarin demo Soal RKUHP. Tar bikin statemen ngawur.” Lha Presiden Joko Widodo menolak hal yang tidak ada dalam draf revisi UU KPK, soal penyadapan wajib izin pengadilan.
Anak STM ini cuma mau bolos bilang ikut demonstrasi. Lha pengesahan revisi UU KPK hanya dihadiri 100an orang, padahal absen 200an. Apa yang hendak kalian sampaikan? Padahal di sisi lain anak-anak STM ini ada yang bisa menjawab dengan baik, protes poin RKUHP, tentang perempuan yang tak boleh pulang malam. Sikap ini yang tak disampaikan di publik.
Kita merendahkan anak-anak STM ini karena rusuh, tapi menolak mendengar dan mengejek sikap mereka. Seolah-olah pilihan untuk bergerak, melakukan protes, mesti didasari oleh sikap intelektual dan solidaritas. Mereka lupa dalam banyak kasus agraria, kekerasan digunakan tanpa mau mendengar pembelaan publik, argumentasi warga, atau bahkan putusan sidang yang memenangkan rakyat. Lalu kita bicara soal pemahaman dan intelektualisme?
Kalian menganggap Anak STM udah lama suka kekerasan karena gemar tawuran? Salah! Bukan cuma anak STM yang suka kekerasan, sekolah-sekolah kedinasan juga ada, bahkan berujung kematian. Ini bukan glorifikasi, ini penyakit sistemik. Ya gimana kasus pelanggaran HAM juga ngga diselesaikan, kita diajarkan negara tentang impunitas.
Jangan lupa, ada politisi yang demikian dipuji dan disanjung karena dianggap berintegritas. Tapi gemar menggunakan kekerasan dan mulut penggemarnya nyaris tak bersuara saat ia bilang “Kalau saya ditanya, ‘Apa HAM anda?’ Saya ingin 10 juta orang hidup, bila dua ribu orang menentang saya dan membahayakan 10 juta orang, (maka dua ribu orang itu) saya bunuh di depan anda,”
Saya tak pernah setuju kekerasan ya, Saya benci sekali kekerasan. Tapi Saya paham kenapa ada kekerasan. Ada foto di atas pesan dari protes Hong Kong, bising sekali, dan harusnya bikin kita mikir.