Beragama dengan murung. Melahirkan ke-tak-bahagia-an. Tuhan yang diingat adalah Tuhan yang penuh murka. ‘Tuhan’ yang ribet dengan banyak aturan yang menjerat.
Tuhan, agama, dan spiritualitas tiga hal mendasar yang terlihat berakar sama dan sukar dipilah, tapi jelas berbeda dalam ranah teknisnya. Sebab konsep Tuhan lebih merujuk pada ke-mutlak-an, agama merujuk pada hal-hal teknis, sedang spiritualitas pada yang profan.
Andrew Newberg seorang neuroscientist dan Mark Robert Waldman, therapist, belasan tahun meneliti apa yang terjadi pada pikiran orang beragama, dan spiritualis.
Di belahan bumi bagian barat, kekecewaan terhadap ajaran agama yang ribet, banyak aturan, selisih dan berebut benar di antara pemeluk agama yang sama melahirkan sikap skeptis dan mengantarkan mereka pada sikap spiritualitas tanpa syariat-agama. Sekaligus sinyal kuat bagi paham Salafi Wahabi yang kerap menjadi bahan olok kaum Kristiani karena kaku pada hal-hal teknis.
Sejak tahun 2012, lima negeri Skandinavia selalu nangkring di urut atas dalam daftar “World Happiness Report” (WHR) yang diterbitkan PBB tiap tahun. Mereka dikenal sangat bahagia, percaya sesama, toleran, peduli, suka membantu, menghormati orangtua, adil, berkata sangat ramah. Yang kemudian disebut sebagai ‘Islamicity Index’ oleh beberapa ulama dan cendekiawan muslim.
Report ini untuk mengukur negeri mana saja yang punya nilai tinggi dalam soal: GDP per capita, freedom to make life choices, life expectancy, generosity, perception of corruption, and social support (ada 6 yang diukur).
Warga di lima negeri Skandinavia ini kerap disurvei, karena penduduknya yang dikenal happy atau bahagia, salah satunya oleh Philip Joseph Zuckerman, seorang sosiologis, pada tahun 2008 tapi sayang dinyatakan kebanyakan warganya tidak peduli lagi (lupa) pada soal Tuhan meski sangat religius. Sebuah konsep baru religiositas tanpa Tuhan.
Tantangan besar bagi agama-agama old ‘konvesional’ semisal Islam, Kristen, Katolik, Budha dan lainnya. Betapapun kita jujur bahwa pemeluk agama-agama kian menyusut, tempat-tempat ibadat semisal masjid, gereja, vihara mulai sepi ditinggal pemeluknya.
‘Ala bi dzikrillah tathmainul qulub —‘ dipersepsi sebagai bentuk spiritualitas tertinggi untuk menggantikan konsep keberagamaan yang dicap ribet dan berbelit karena urusan teknis. Allah berfirman: ‘Aku sebagaimana prasangka hambaKu —janganlah kalian mati sebelum berprasangka baik kepada-Ku’. Sebagai tambahan energi untuk lebih mendekap pada jalan spiritualitas.
Gejala spiritualisme tanpa agama ini harus ditangkap secara serius, jujur dan lapang dada, mungkin kaum agamawan ada salah saji— agama telah tereduksi pikiran buruk karena nafsu ikut menafsir- sebagaimana diingatkan dalam firman Tuhan pada surat al Jatsiyah ketika pandangan pandangan pribadi ikut mereduksi agama, menentukan benar salah yang kemudian disebut kaum Dahriyun.
Yang disajikan tentang Tuhan dan agama adalah pandangan pribadi yang diberhalakan dan dipaksakan sebagai kebenaran. Dari sinilah agama menjadi rusak binasa. Wallahu taala alm