Menteri Agama yang dipilih Presiden Jokowi ternyata sosok yang berlatar belakang militer. Sah-sah saja. Apalagi yang memilih itu Presiden yang memang menjadi kewenangannya alias hak prerogratifnya. Bahkan kalau presiden memilih orang setengah sinting pun menduduki jabatan tertentu, ya sah-sah juga.
Bahkan lagi kalau calon presiden itu genderuwo dan kemudian ternyata terpilih, ya sah-sah juga. Sistem politik yang kita anut memang begitu. Suka atau tidak suka, ya begitu jalannya. Itulah demokrasi.
Tapi, kita ini masih sehat akal, sehat pikir, dan insya Allah sehat batin. Bahwa pilihan terhadap sesuatu pasti menandakan sesuatu. Ada simbol yang harus dibaca. Ada tanda yang harus dipahami maksudnya.
Bahwa kita pernah melihat ada calon presiden yang menggunakan pakaian putih, itu punya makna. Dan ada calon yang menggunakan pakaian kotak-kotak, itu pun isyarat yang disamapaikan untuk mendapatkan persepsi yang baik sesuai yang diinginkan.
Bahwa juga ada calon yang menunggang kuda, itu pesan, sebuah tanda untuk disampaikan dengan harapan mendapatkan persepsi yang baik, mengingat kuda melambangkan kekuatan. Ada juga calon atau tokoh yang menggunakan sepeda, itu pun perlambangan untuk dipahami maksudnya. Mungkin saja merakyat, tidak mewah.
Kalau ada orang miskin makan ikan asin di warteg, itu gampang saja memaknainya. Bahwa dia memang tidak sanggup membeli, alias miskin. Tetapi, kalau ada presiden makan ikan asin di warteg, itu beda maknanya.
Di politik, semuanya mengandung makna simbolik.
Misalnya penunjukan Fachrul Razi sebagai Menteri Agama, itu harus lebih banyak dilihat sebagai upaya Presiden Jokowi menekan radikalisme. Dan itu pun sudah disampaikan oleh Fachrul Razi sebagai salah satu mandat penempatan dirinya di Kementerian Agama. Tanpa disampaikan, pesannya pun pasti akan dipahami begitu oleh publik. Gampang sekali membacanya.
Maka, orang melihat–dengan sisi yang dangkal–itu adalah pilihan yang tepat. Radikalisme adalah musuh bangsa, yang berpotensi menghancurkan kehidupan harmonis di Indonesia yang beragam suku, etnis, dan agama. Penghancuran dan pemusnahannya adalah dengan cara kekerasan. Dan sah-sah saja cara itu. Tapi, tepatkan cara itu dalam membasmi radikalisme Islam di Indoensia?
Apalagi dalam kontestasi politik pemilihan presiden dan wakil presiden yang lalu, ketika isu agama mewarnai pertarungan sengit dua calon pasangan, maka pilihan terhadap sosok yang berlatar belakang militer di posisi Menteri Agama wajar dipertanyakan. Mengapa begitu?
Urusan ideologi atau keyakinan bukan hal yang mudah. Kalau mau dihilangkan secara cepat, jalannya adalah kekerasan. Ditekan tidak akan hilang. Selama manusianya hidup, keyakinan itu akan terus ada dan bisa berkembang melalui jalan sembunyi-sembunyi.
Siapa pun pasti punya cara. Ada seribu orang dengan disiplin dan latar belakang berbeda, mungkin saja akan ada seribu cara. Semua bisa yakin dengan caranya masing-masing, meski hasilnya bisa saja justru kontraproduktif.
Maka, menggantungkan urusan dalam menangani radikalisme kepada Menteri Agama yang baru adalah ketidakpedulian. Termasuk urusan-urusan yang selama ini menjadi perhatian publik terhadap kementerian itu, yakni soal korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi pernah menyebut Kementerian Agama sebagai lembaga terkorup.
Namun, cawe-cawe dalam urusan radikalisme pun bisa runyam. Dan tidak bisa juga pemerintah bilang bahwa masalah radikalisme adalah urusan seluruh bangsa ini. Tidak bisa di sini maksdunya adalah jangan sampai seperti yang sering terjadi, kalimat itu hanya menjadi excuse bagi pejabat yang punya otoritas.
Kalau semata itu, tulisan ini pun menjadi bagian dari kepedulian masyarakat, sebab saya sendiri adalah bagian dari masyarakat. Tetapi, bisa dipastikan, kepedulian seperti ini sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Dan tidak bisa disebut kontribusi. Namun, sekadar klaim dan ngotot-ngototan, tentu boleh dong.
Maka, perlu dipikirkan serius jalannya agar pemerintah dalam menangani radikalisme di tubuh umat Islam ini tidak kembali mati gaya. Jika sampai dua kali, maka bisa mati daya. Itu bahaya besar. Pertama, pemerintah (baca: Kementerian Agama) harus menyadari sesadar-sadarnya bahwa politik itu bukan sedekah, apalagi sekadar transaksi untung rugi. Orang atau lembaga yang terlibat bersama dalam perjuangan politik untuk menang itu karena didorong ingin terlibat pada urusan menangani umat dan bangsa.
Mengurus itulah sedekah dan amalnya, yang output-nya adalah kebaikan bagi seluruh bangsa. Jika konteksnya Kementerian Agama, maka output-nya adalah hilangnya radikalisme. Jika tidak dipakai dalam mengurus, itu bisa diartikan dengan membohongi. Iya, kan? Atau bisa dibilang merasa bisa sendiri.
Kedua, seperti sudah saya singgung sedikit di atas, yang dihadapi Kementerian Agama dan dimandatkan oleh Presiden Jokowi, adalah masalah yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan alasan memilih Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, atau memilih Wishnutama Kusubandio sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Soal faham (isme) adalah masalah fundamental dan merupakan pondasi yang menentukan aktivitas dan kreasi lanjutan bisa berjalan di tanah air ini. Jika pondasi ini terganggu, maka kerja Nadiem Makarim dan Wishnutama di posisinya itu pun pasti terganggu.
Nadiem dipilih Presiden Jokowi dengan alasan di antaranya karena dia adalah seorang pebisnis yang bergerak di bidang masa depan. Wishnutama dipilih karena dia punya ide-ide kreatif untuk bisa menjual “pariwisata” di Indonesia.
Hal yang sesungguhnya bisa diperdebatkan. Di bidang penanganan radikalisme di tubuh umat Islam, sesungguhnya Nahdlatul Ulama punya kader-kader mumpuni yang, kalau dibandingkan dengan prestasi Fachrul Razi misalnya, bisa jauh lebih unggul dan hebat.
Mungkin karena dari NU dan itu adalah urusan radikalisme Islam (baca: agama), maka tidak dilihat sebagai prestasi. Sebut saja Profesor Nadirsyah Hosen alias Gus Nadir, yang selama ini aktif berdakwah di media sosial, seminar-seminar, dan kajian-kajian, baik di dalam maupun luar negeri. Bukunya, Islam Yes, Khilafah No (Jilid 1 dan 2), menjadi penguat bagi siapa pun, termasuk penyelenggara negara, dalam mengambil sikap terhadap radikalisme.
Dalam konteks itu, bisa jadi kontribusi Gus Nadir jika dikonversi bisa melebihi nilainya dari besaran anggaran yang selama ini digunakan untuk melawan radikalisme yang justru sebelumnya makin mengkhawatirkan.
Ada lagi Gus Baha, yang disebut-sebut sebagai “Qur’an berjalan”, karena saking kuatnya pemahaman ilmu tafsirnya, bahkan Prof Quraish Shihab dan Adi Hidayat pun mengaguminya. Ada juga Gus Muwafiq, dai dengan keilmuan yang sangat luas. Mereka ini menjadi semacam “security” bagi tumbuhnya radikalisme di tubuh umat Islam.
Apakah mereka hanya akan menjadi corong seperti selama ini? Mungkin juga mereka tidak mau, dan sepertinya sebagian mereka tidak mau. Tapi, mau tidak mau, pasti di kalangan mereka alias NU ada yang mau atau setidaknya bisa dipaksa untuk bekerja secara struktural menangani yang menjadi mandat Kementerian Agama.
Ketiga, faham harus dilawan dengan faham. Penyimpangan harus dilawan dengan dakwah dan tarbiyah. Bukan saya tidak percaya kepada Pak Fachrul Razi yang bekas militer. Sekarang banyak tentara yang juga santri. Tapi, ini perkara yang harus ditangani secara hati-hati dan penuh strategi khusus, dan harus dengan sosok yang tepat pula. Karenanya, Fachrul Razi yang sudah telanjur dipilih oleh Presiden Jokowi harus bisa “membagi” kuasanya kepada yang tepat.
Salah atau keliru sedikit saja, pemerintah bisa kehilangan daya. Kalau daya yang hilang, maka bisa merembet ke semua sendi. Masih untung jika hanya mati gaya!
Bacaan terkait
Siapa Kelompok Radikal Islam Itu? [Catatan untuk Menteri Agama yang Baru]
Pelajaran Deradikalisasi dari Poso
Apa Kabar Deradikalisasi Agama? Sudahkah Dirimu Selesai?
Negara antara “Syariatisasi Indonesia” dan “Indonesianisasi Syariah”