Dalam perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, standar hukum dinilai tidak lagi cukup untuk memperbaiki kondisi. Semakin hukum dibuat dalam rupa yang makin canggih, pelanggarannya pun berkembang melebihi daya jangkau hukum itu sendiri. Kondisi inilah kemudian yang mendasari para pemikir sosiologi hukum menjustifikasi bahwa hukum seakan tertatih-tatih mengejar ketertinggalan perkembangan masyarakat.
Oleh sebab itu, jika mengandalkan perbaikan keadaan hanya semata-mata kepada aspek hukum an sich, tentu akan berujung pada kekecewaan. Agar harapan pada hukum dapat dicitakan, hukum mesti dilengkapi dengan standar yang melampauinya, yaitu standar etika dan moral. Maka, tidak heran para filsuf mengatakan bahwa hukum dan etika bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Sependek pengetahuan yang saya pahami soal etika dan hukum, etika merupakan lahan tempat hukum ditemukan. Itu sebabnya, etika terletak satu level di atas kaidah dan norma. Dengan demikian, jantung dari etika itu sebetulnya sangatlah jauh di atas hukum. Bahkan para ahli pun sepakat mengatakan, tegaknya etika di suatu negara akan mempengaruhi tegaknya hukum yang berlaku di negara tersebut.
Implikasinya, ketika terjadi pelanggaran etika yang dinilai tidak patut oleh banyak kalangan, seharusnya dan hal yang wajar juga akan mendapatkan kritikan yang sama atau bahkan lebih dari pelanggaran hukum. Artinya, betapa penting dan tingginya muruah sebuah etika dan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik etika yang muncul dari warga negara maupun dari diri penyelenggara negara.
Bagi saya, untuk saat ini, salah satu subjek yang perlu dibangun etika dan moralnya adalah etika penyelenggara negara. Mengapa? Mayoritas masyarakat dan kita semua sudah menyaksikan betul betapa absurdnya etika dan moral penyelenggara negara kita akhir-akhir ini.
Pameo “trias koruptika” tampaknya akan semakin menjamur jika para penyelenggara negara tidak lagi mengedepankan prinsip etika dan moral dalam mewujudkan tujuan bernegara. Rakyat dibuat geram, seakan apa yang telah diperbuat dianggap benar, sementara apa yang orang lain lakukan untuk hal yang baik dianggap dan dipertentang salah.
Mengutip pendapat Plato, sudah tampak sedari awal ciri dari bentuk negara yang dianggap sebagai oligarki absolut: negara yang dipimpin oleh beberapa orang untuk mewujudkan kebahagiaan bagi sebagian kelompok saja. Akibatnya, kehendak dan suara rakyat diabaikan, tuntutan publik untuk perubahan ke arah yang lebih baik dikesampingkan.
Ini menunjukkan bahwa aspek hukum seakan dikangkangi sejak dalam pikiran dan etika pun juga akan ikut dilangkahi. Sebab, jika hukum dan etika sudah diobrak-abrik oleh penyelenggara negara, maka inilah puncak dari kehancuran sebuah negara.
Untuk mengantisipasi agar hal tersebut tidak terjadi lagi, sudah saatnya kita semua memikirkan persoalan etika bagi penyelenggara negara, baik pada unsur legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Memang, pada dasarnya etika dan moral itu berasal dari diri seseorang yang berkuasa, namun kadang keduanya yang tertanam di didalam diri seseorang yang berkuasa tersebut lepas dan luput dari kontrol yang sewajarnya.
Maka, terkait aspek etika dan moral, meski sudah tertanam dalam diri seseorang, secara filosofis juga perlu dikemas dalam sebuah instrumen hukum yang dikenal dengan istilah etika yang dinormakan. Secara yuridis, hampir seluruh lembaga, baik pejabat negara, aparatur sipil negara (ASN), dan pejabat profesi lainnya, sudah mempunyai regulasi yang termaktub dalam peraturan perundang-undangan.
Bahkan secara harfiah penormaaan etika penyelenggara negara tersebut telah didesain dengan baik dan ideal dari aturan tertinggi hingga terendah. Dengan begitu, setiap kebijakan yang dilakukan selaras dengan aspirasi masyarakat dan mendapatkan legitimasi yang kuat dari konstituen.
Dalam beberapa peraturan perundang-undangan bisa dilihat, misalnya, Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Ketentuan tersebut secara tegas menjelaskan bahwa warga negara dan penyelenggara negara harus mengedepankan etika dalam kehidupan berbangsa meliputi kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa dan penyelenggara negara.
Artinya, tidak hanya warga negara saja yang diatur persoalan etikanya, tetapi yang paling utama perlu mencerminkan etika itu ialah penyelenggara negara melalui etika politik dan pemerintahan. Sebab, merekalah yang dianggap orang yang dimajukan selangkah, ditinggikan seranting dalam rangka membawa perubahan ke arah yang lebih baik demi kemaslahatan masyarakat.
Di samping itu, pengaturan terkait etika yang dinormakan itu juga telah dimuat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Fungsi dan tugas yang telah diamanatkan oleh undang-undang memberikan peran penting kepada penyelenggara negara (eksektutif, legislatif, dan yudikatif) untuk melakukan penyelenggaraan negara dengan menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktik KKN serta perbuatan tercela lainnya.
Hal yang sama juga dimuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan aturan yang bersifat organik lainnya.
Artinya, selingkung tiga kekuasaan besar, termasuk kekuasaan lembaga independen, pun sudah mengatur sedemikian rupa perihal etika yang dinormakan bagi setiap penyelenggara negara. Hanya dalam tingkatan empiriknya kurang terimplementasi sebagaimana diharapkan. Meski demikian, untuk mengakomodasi seluruh pengaturan terkait etika penyelenggara ini, sudah sepatutnya juga pemerintah dan DPR untuk mengkaji dan membahas kembali Rancangan Undang-Undang tentang Etika Penyelenggara Negara.
Dengan demikian, ada indikator yang jelas kapan seorang penyelenggara negara melanggar etika dan bagaimana mekanisme sanksi yang harus dijatuhkan jika perbuatan tersebut terbukti.
Ironinya, pola tingkah dan etika beberapa penyelenggara negara akhir-akhir ini memang sangat jauh dari harapan konstituen dan menjadi tanda tanya besar di benak konstituen: apakah etika dan moral sudah jauh dari diri seorang penyelenggara negara dan perlahan mulai hilang hanya karena mementingkan kepentingan pribadi/kelompok sesaat?
Tuntutan dan harapan rakyat seolah tidak lagi didengarkan. Karena itu, marilah kita belajar laiknya ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Tidak arogan dalam berkuasa, namun mengayomi untuk sesama nan beretika.
Bacaan terkait
Reformasi Dikorupsi, Bergerak dan Melawan