Minggu, November 24, 2024

Sensus dan Pembantaian 1965

Made Supriatma
Made Supriatma
Peneliti masalah sosial dan politik.
- Advertisement -

Satu lagi karya ilmiah telah terbit tentang Pembantaian 1965 di Jurnal Indonesia, “Glimpses of 1965 through the Lens of the Census: Migration and Refuge in East Java”. Topik ini sangat kontroversial untuk publik Indonesia. Mungkin sebagian besar orang Indonesia pada masa kini tidak percaya bahwa pembantaian itu pernah ada dan terjadi.

Setiap perbincangan tentang Pembantaian 1965 menimbulkan kesan pahit di mulut. Setiap perbantahan tentangnya tidak pernah menjadi diskusi yang bernalar. Seringkali ia berubah menjadi percekcokan dan penyebaran kebencian.

Narasi yang dibangun sejak tahun 1965 oleh pihak militer terus menerus diperkuat hingga saat ini. Jauh sebelum sistem politik Amerika jatuh ke dalam berita palsu (hoax) yang disebar oleh Rusia dan menaikkan Donald Trump menjadi presiden, Indonesia pun sesungguhnya sudah membangun ‘hoax’ tersebut dan menjadikannya institusi yang mapan. Institusi itu bernama Orde Baru dengan tentara sebagai tulang punggungnya. Tidak salah kalau ada dikatakan bahwa Orde Baru didirikan di atas sebuah hoax politik terbesar dalam sejarah modern.

Militer Indonesia sudah berhasil membentuk persepsi tentang 1965. Mereka berhasil menciptakan narasi hegemonik, yaitu narasi besar yang dianggap tidak perlu dibantah. Saya perlu menggarisbawahi kata ‘tidak perlu’ karena bukan berarti narasi ini tidak bisa dibantah. Narasi ini, sekalipun hegemonik, berdiri di atas pondasi yang rapuh. Orang dianjurkan untuk menerima penjelasan militer. Apa adanya. Itulah hasil utama dari totalitarianisme dalam pengontrolan pikiran.

Narasi milliter diperkuat oleh berbagai kepentingan, baik oleh militer sendiri dan oleh sipil. Kita tahu jenderal yang ingin mendapat kekuasaan politik menggunakan isu ini dengan sebaik-baiknya, dengan menebarkan isu kebangkitan PKI. Kelompok-kelompok agama dengan senang hati merangkul isu ini, menggabungkannya dengan elemen kesalehan dan mengaitkannya dengan kekufuran. Menjadi PKI sama dengan tidak bertuhan dan karena itu ganjaran di akhirat akan sangat fatal, yakni ceruk terdalam neraka.

Itulah. Namun, adakah yang menyadari akibatnya? Saya kira tidak banyak. Kalau pun ada, orang tidak mau membicarakannya secara terbuka. Politisi akan menghindar. Intelektual memilih berbicara hal-hal yang lebih seksi (Hello, budaya pop? Hello, kelas menengah? Hello, Ayat-Ayat Cinta Pramoedya? dll.)

Narasi besar 1965 yang diciptakan militer dan Orba itu memberikan platform politik sekaligus platform discursive bagi para elite—politik, intelektual, agama, seniman, budaya, dll—untuk TIDAK berbicara soal-soal sehari-hari yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Tidakkah Saudara sadari bahwa perbincangan publik kita sama sekali tidak menyentuh: ketimpangan pendapatan, ketimpangan akses terhadap modal, ketimpangan spasial (mengapa satu provinsi sangat makmur, dan lainnya sangat rendah? Mengapa provinsi yang memberikan banyak penghasilan tapi punya angka kemiskinan tinggi?); rendahnya mutu pendidikan (20 persen anggaran negara itu untuk apa?), ketidakmampuan menyediakan lapangan kerja sehingga jutaan tenaga produktif kita mencari kerja di luar negeri dan tidak mendapat perlindungan, dan masih banyak lagi.

Sebaliknya, Saudara disibukkan oleh tatacara beragama; saling mengkafirkan; mendirikan negara agama dengan janji-janji yang tidak jelas apa yang hendak diperjuangkan kecuali bahwa dalam negara itu Saudara akan hidup seperti di surga. Apakah politisi seperti Rizieq Shihab, Felix Siauw, Bachtiar Nasir, dan sejenisnya itu (bagi saya mereka adalah politisi) pernah bicara isu-isu tersebut di atas sekalipun dalam konteks keagamaan yang selalu mereka usung?

Narasi besar 1965 itu memungkinkan para politisi kita lepas dari tanggungjawabnya memerintah. Mereka lepas dari semua aspek akuntabilitas mengelola negara secara modern. Intelektual dan agamawan kita bisa melenggang bebas tanpa pernah berbicara hal-hal kongkret dalam hidup sehari-hari rakyat. Kalaupun bicara, mereka akan mengangkat hal yang abstrak dan besar: 40 persen tanah Indonesia dikuasai asing. Terus? Siapa yang asing? Siapa yang membolehkan mereka menguasai? Jangan harapkan perbincangan akan beranjak ke sana. Pernyataan besar dan kontroversial akan sejenak menjadi headline dan kempes pada jenak berikutnya.

- Advertisement -

Seperti yang saya katakan di atas, narasi besar 1965 yang dibangun oleh militer sesungguhnya tidak berdiri di atas pondasi yang kokoh. Hari ini saya membaca terjemahan dari artikel Prof. Siddart Chandra yang dengan tekun melihat data sensus untuk membuktikan ada pembantaian, “Sekilas tentang Pembantaian Massal Indonesia Tahun 1965 lewat Kacamata Sensus: Migrasi dan Pengungsi di Jawa Timur”. Akademisi (sebagian besar dari luar tetapi di dalam negeri juga mulai berkembang) mulai mengupas persoalan ini sedikit demi sedikit dan mencari data-data pendukungnya. Mereka menggunakan berbagai metode. Prof. Chandra setahu saya adalah seorang ekonom. Dia pernah menulis (bersama Prof. Douglas Kammen) tentang tren dalam “Tour of Duty” di dalam militer Indonesia.

Mungkin membaca karya-karya seperti ini seperti menelan pil pahit. Kita dipaksa untuk mempertanyakan apa yang menurut kita sudah menjadi keyakinan, sudah mapan (settled). Namun, tidak bisa tidak, obyektivitas tentang apa yang terjadi pada tahun 1965, sebelum dan sesudahnya, pelan-pelan pasti akan terbongkar.

Kalau tidak sekarang, sepuluh tahun lagi, lima puluh tahun ke depan, atau bahkan mungkin setelah Indonesia ini tidak lagi berbentuk seperti Indonesia yang sekarang kita kenal.

Made Supriatma
Made Supriatma
Peneliti masalah sosial dan politik.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.